Rehabilitasi sosial dipahami sebagai pelayanan yang membawa/mengarahkan seseorang atau kelompok mencapai kondisi sejahtera secara utuh dalam kehidupan masyarakat (Warto dkk., 2009). Pengertian ini sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan Nomor 11 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Layanan Demi Tercapainya Kesejahteraan Sosial. Rehabilitasi sosial diselenggarakan dalam rangka perubahan positif atas kondisi sosial seseorang/kelompok.
Di Indonesia, rehabilitasi sosial bagi penyandang difabel telah diupayakan Departemen Sosial dengan menetapkan kebijakan standarisasi pelayanan sosial bagi penyandang difabel. Kebijakan ini direalisasikan Dinas Sosial pemerintah daerah dalam pendirian dan pengelolaan unit pelayanan terpadu (UPT) yang disebut panti sosial atau balai rehabilitasi, antara lain: Panti Sosial Bina Grahita di Ciungwanara, Panti Sosial Bina Daksa di Makassar, Balai Rehabilitasi Terpadu Penyandang Disabilitas di Yogyakarta, dan sebagainya. Data Diretorat Jenderal Rehabilitasi Sosial menunjukkan terdapat 38 UPT yang diantaranya menangani penyandang disabilitas melalui program rehabilitasi sosial, meliputi bimbingan medis, sosial, dan keterampilan. Â Â
Sayangnya, rehabilitasi sosial konvensional bagi penyandang difabel pun masih terbatas pada keahlian atau keterampilan praktis yang belum memberi peluang besar dalam meretas kebebasan finansial secara kolektif. Masih terbatas penyandang difabel yang bisa berkarya, mengembangkan kreatifitas, dan meraih kemandirian finansial. Hal ini diakibatkan rehabilitasi sosial belum bersifat holistik dan beradaptasi dengan kemajuan zaman.
Rehabilitasi sosial berbasis teknologi digital bagi penyandang difabel memang tidak akan semudah membalik telapak tangan. Edukator yang memiliki keahlian dalam rehabilitasi sosial berbasis teknologi digital cenderung masih terbatas. Tetapi, kendala yang akan menghadang kita dalam mewujudkannya, sebanding dengan hasil yang akan dicapai. Bahwa penyandang difabel mampu mengaktualisasikan diri di indutri kreatif dalam kancah global.
Teknologi digital merupakan kebutuhan bagi seluruh manusia, termasuk penyandang difabel, supaya bisa mengaktualisasikan diri. Bila penyandang difabel mampu mengoperasikan komputer atau laptop, ia bisa terjun dalam kancah industri kreatif berbasis teknologi digital. Langkah difabel dalam industri kreatif dapat kita teladani dari upaya Habibie Afsyah yang mampu meraih kesuksesan sebagai pengusaha online dengan menggunakan teknologi digital.
Habibie Afsyah menyandang difabel karena penyakit kelainan bawaan pada syaraf motorik. Implikasinya, pertumbuhan tubuhnya menjadi terhambat dan terdapat kerusakan saraf motorik. Namun, berkat optimisme dan dukungan penuh dari keluarga terutama orangtuanya (Endang Sutyanti dan Nasori Sugianto), Habibi Afsyah dapat mengatasi hambatan yang dideritanya terjun ke dunia industri kreatif. Ia berhasil mengembangkan bisnis online di rumahnya yang tergabung dengan salah satu situs bisnis Affiliate terbesar di dunia, yaitu Amazon.
Melalui bisnis berbasis teknologi digital, Habibi Afsyah bisa menghasilkan omset sekurang-kurangnya sepuluh juta rupiah setiap bulan. Selain itu, ia juga menjadi salah seorang pakar dan edukator internet marketing di berbagai perguruan tinggi. Kesuksesan yang diretasnya mendorongnya untuk berbagi dengan penyandang difabel lainnya dengan pendirian Yayasan Habibie Afsyah.
Penyandang difabel yang sukses dengan memanfaatkan teknologi digital sebagaimana Habibie Afsyah; memang masih relatif terbatas. Tetapi, keberadaan sosok penyandang difabel sukses yang segelintir itu, merupakan bukti bahwa semua penyandang difabel juga memiliki peluang yang sama untuk mengaktualisasikan diri dan meraih kesuksesan.
Melalui teknologi digital, peluang penyandang difabel untuk terus mengembangkan diri dan mewujudkan kebebasan finansial, menjadi jauh lebih luas. Penyandang difabel tidak hanya berpeluang untuk membangun bisnis di Tanah Air, tetapi juga merambah ke ranah internasional. Hal inilah yang menegaskan bahwa inovasi DCS sebaiknya tidak hanya terbatas pada akomodasi ruang publik semata, tetapi bisa dikombinasikan dengan upaya-upaya rehabilitasi sosial bagi penyandang difabel. Oleh karena itu, DCS perlu membangun jaringan dengan lembaga-lembaga terkait, seperti: Dinas Sosial pemerintah daerah, UPT rehabilitasi sosial bagi penyandang difabel, LSM, dan juga sosialisasi aktif untuk meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap penyandang difabel. Â