TAHUKAH ANDA? Indonesia merupakan salah satu negara darurat tindak kejahatan seksual. Sebagian besar korban kasus tindak kejahatan seksual tidak mendapatkan penangaan yang adil. Korban dan saksi memilih untuk bungkam atau dibungkam. Pelaku kekerasan seksual bisa terus melakukan tindakan yang sama atau memburu korban-korban berikutnya. Sinergi LPSK dan masyarakat merupakan jalan yang tepat untuk membebaskan bangsa Indonesia dari kejahatan seksual.
LPSKdan Kita
Sejak tahun 2008, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) resmi berdiri di Indonesia. Keberadaan LPSK memutuskan rantai peradilan yang birokratis dan miskin empati. LPSK mengakomodasi kebutuhan korban dan saksi untuk memperoleh keadilan hukum (legal justice) dengan sangat sistematis.Â
Saksi atau korban kejahatan bisa memperoleh perlindungan fisik, konseling, restitusi, pelayanan kesehatan, dana kompensasi, dan berbagai layanan lainnya. Bahkan, LPSK menyediakan 'rumah aman' dan 'identitas baru' bagi korban (saksi) yang terancam keselamatannya. Semua layanan LPSK dapat kita peroleh tanpa mengeluarkan biaya. Lebih lengkap mengenai dedikasi LPSK dapat Anda saksikan pada video berikut ini:
Berkat LPSK, peluang korban tindak kejahatan seksual untuk memperoleh keadilan hukum menjadi semakin besar. Langkah pertama untuk memperoleh layanan LPSK hanyalah melaporkan tindak kejahatan seksual. Melalui laporan inilah LPSK bisa memulai upaya-upaya untuk mewujudkan keadilan hukum bagi korban ataupun saksi. Selain itu, melaporkan tindak kejahatan merupakan kewajiban yang harus dipenuhi setiap warga negara Indonesia. Membiarkan tindak kejahatan terjadi merupakan sebuah tindakan kejahatan. Mengapa?
Sikap yang tidak melaporkan tindak kejahatan membuka peluang terjadinya tindakan kejahatan yang sama berulang kali. Kita atau orang-orang yang kita cintai pun berpotensi besar menjadi korban tindak kejahatan yang sama di kemudian hari. Jika kita merupakan korbankejahatan, sikap yang tidak melaporkan akan berpotensi besar memicu pelaku melakukan tindakan kejahatan yang sama pada diri kita. Bila kita berposisi sebagai saksikejahatan, sikap yang tidak melaporkan bukan hanya merugikan korban, tapi juga membahayakan diri kita dan orang-orang yang kita cintai.
Mengapa Korban (Saksi) Memilih Bungkam?
Meskipun LPSK telah hadir untuk melayani masyarakat untuk memperoleh keadilan hukum, sebagian kasus tindak kejahatan seksual belum menemukan titik terang. Berdasarkan survey yang dipublikasikan ketika pemerintah membangun pusat pengaduan korban pemerkosaan, lebih dari 90 persen kasus pemerkosaan tidak dilaporkan pada polisi dan terjadi pembiaran. Direktur Lentera Sintas, Dr. Sophia Hage, menyatakan bahwa: salah satu alasan kenapa mereka (korban) tidak mengungkapkannya adalah karena stigma sosial dan korban takut disalahkan. Mengapa korban atau saksi memilih bungkam?
Bila kita mencermati kasus pemerkosaan dengan pelaku Soni Sandra dan Sitok Srengenge, realitas mengenai penderitaan korban tindak kejahatan seksual yang memilih diam, semakin nyata dan menimbulkan bahaya.Â
Soni Sandra merupakan oknum pengusaha asal kediri. Tindakan kejahatan seksual yang dilakukannya baru terungkap setelah menelan 58 korban anak di bawah umur. Kita tentu bertanya-tanya. Mengapa korban pertama tidak melapor? Demikian pula dengan korban kedua, ketiga, dan berjejer korban lainnya. Di manakah saksi berada? Mengapa harus sampai 58 orang korban baru kasus terkuak?
Setelah menjalani proses peradilan, Soni Sandra dijatuhi hukuman penjara yang sangat ringan, yaitu: 9 tahun penjara dengan denda 250.0000.000. Padahal, Soni Sandra sudah menghancurkan masa depan (fisik dan jiwa) 58 orang anak perempuan. Sungguh tidak adil bila hanya dijatuhi hukuman yang sangat ringan. Memang, terdapat alasan kondisi kesehatan Soni Sandra yang sakit-sakitan, usia, dan status sosial yang baik. Sehingga Pengadilan Negeri Kediri menetapkan hukuman yang sangat ringan tersebut. Tetapi, kita sudah menyaksikan bahwa penyakit telah menjadi modus pelaku tindak kejahatan untuk memperoleh keringanan ataupun bebas dari hukuman.
Upaya untuk melaporkan tindak kejahatan, sering kali tidak semudah yang kita duga sebagaimana kasus pemerkosaan dengan pelaku Soni Sandra tersebut. Melihat latar belakang Soni Sandra sebagai penguasa, ia terindikasi kuat menggunakan kekuasaan yang dimiliki untuk melakukan tindak pidana pemerkosaan.Â
Agar korban dan keluarga korban tidak melaporkan tindak kejahatan tersebut, Soni Sandra melakukan intimidasi. Karena tidak adanya laporan, Soni Sandra semakin leluasa memperkosa perempuan di bawah umur sampai mancapai angka yang fantastis. Bahkan, ia terindikasi kuat menggunakan kekuatan uang untuk meringankan hukuman. Bahkan, setelah melapor pun, korban ada yang mencabut laporan, sebagaimana dokumentasi berikut ini.Â
Kini, predator seksual bernama Soni Sandra masih berpeluang untuk menekan hukuman dengan jalan pengajuan Peninjauan Kembali pada Mahkamah Agung Republik Indonesia, melalui Pengadilan Negeri (PN) Kota Kediri pada Kamis 19 Mei 2017. Mengingat posisi Soni Sandra sebagai pengusaha dan memiliki modal sosial, tidak menutup kemungkinan hukuman akan semakin ringan, serta berpeluang bebas dalam jangka tiga atau lima tahun ke depan. Bahkan, tidak menutup kemungkinan akan bebas dalam waktu lebih singkat.
Kebebasan Soni Sandra bukan sesuatu kemustahilan. Sebab, Sitok Srengenge yang terbukti bersalah melakukan tindak kejahatan seksual pada seorang mahasiswi Universitas Indonesia berinisia RW, hingga kini masih bebas dari jeratan hukum. Sebelum terbukti bersalah melakukan tindak pemerkosaan, Sitok Srengenge dikenal sebagai salah seorang sastrawan garda depan Indonesia. Bisa Anda bayangkan kekuasaan yang dimiliki Sitor Srengenge. Tidak hanya sekadar bebas, Sitok Srengenge juga masih aktif dalam kegiatan seni khususnya di Yogyakarta. Kebebasan Sitok Srengenge merupakan rapor merah dalam penegakan keadilan hukum tindak kejahatan seksual di Indonesia.Â
Kekuasaan pelaku memang sebuah momok yang menghambat korban dan saksi untuk melaporkan tindak kejahan seksual. Selain berpotensi besar bebas, pelaku juga tidak mendapatkan efek jera. Tidak adanya efek menimbulkan tindak kejahatan seksual tetap merajalela dan menebarkan ketakutan.Â
Selain itu, ketiadaan efek jera berpotensi menimbulkan ketidakberdayaan yang dipelajari (learned helplessness) bagi korban dan keluarganya. Korban berpotensi besar untuk mengalami tindak kejahatan yang sama dari pelaku. Pelaku yang merasa tindakannya 'bebas hukum' berpotensi untuk melakukan tindakan yang sama. Posisi pelaku sebagai tokoh masyarakat yang berpotensi besar sebagai teladan (rule models) berpotensi besar menciptakan proses belajar sosial (social learning process) ke arah negatif. Di mana individu-individu lain melakukan imitasi terhadap tindakan yang sama. Â
Mewujudkan Keadilan Hukum Bagi Korban Kejahatan Seksual
Pembentukan komunitas sadar hukum
Melaporkan tindak kejahatan memang tidak mudah khususnya melibatkan pelaku yang memiliki kekuasaan. Tetapi, sikap pembiaran jauh lebih berbahaya karena pelaku berpotensi untuk melakukan tindakan yang sama, seperti Soni Sandra. Karena itu, kita perlu membentuk komunitas-komunita sadar hukum khususnya di daerah yang sulit dijangkau LSM. Komunitas ini berfungsi untuk menjalin komunikasi antaranggota masyarakat dengan LSM ataupun lembaga-lembaga perlindungan yang relevan terutama LPSK.Â
Komunitas juga bertujuan untuk edukasi di bidang hukum, sehingga bisa meningkatkan kesadaran hukum. Selain mendukung untuk memperoleh keadilan hukum, komunitas juga memberi dukungan moral pada korban, dan memberi pendampingan semasa korban menjalani pemulihan pada trauma. Sehingga, stigma sosial terhadap korban menjadi berkurang dan korban bisa kembali ke lingkungan masyarakat. Di sisi lain, komunitas juga memberi dukungan pada anggota yang memiliki posisi sebagai saksi. Berkat dukungan komunitas, kita tentu akan lebih berani melaporkan tindak kejahatan pada LPSK dan menjalani proses peradilan.
Salah satu komunitas sadar hukum yang layak untuk kita teladani adalah komunitas yang terbentuk dalam kasus kejahatan seksual yang menimpa RW dengan pelaku Sitok Srengenge. Alih-alih disingkirkan, RW dirangkul oleh rekan-rekannya sesama mahasiswa untuk memperjuangkan keadilan hukum. Selain rekan-rekan mahasiswa, para akademisi Universitas Indonesia turut memberi dukungan moral dan perlindungan bagi RW.Â
Melalui media sosial, dosen juga meminta para mahasiswa lain memberikan lingkungan yang sehat bagi RW. Sehingga RW tetap bisa menjalankan studi meski dalam keadaan hamil akibat tindak kejahatan seksual yang dilakukan Sitok Srengenge. Meskipun Sitok Srengenge tetap bisa bebas berkeliaran, lembaga Universitas Indonesia mampu memberi hukuman sosial.Â
Meskipun dikenal sebagai seorang sastrawan garda depan Indonesia, Sitok Srengenge tidak diizinkan lagi berada di Universitas Indonesia. Selain itu, akademisi Universitas Indonesia dan sebagian sastrawan yang peduli, tetap mengawasi gerakan Sitok Srengenge. Hal ini dibuktikan dengan gagalnya Sitok Srengenge mewakili Indonesia dalam ajang Singapure Writers Festival pada 2015.
Optimalisasi Hukum Adat
Komunitas sadar hukum yang terbentuk di Universitas Indonesia dalam kasus RW layak untuk ditumbuhkan di seluruh pelosok Indonesia. Komunitas ini berperan dalam menciptakan kontekstualisasi hukum adat. Meskipun lolos dari keadilan hukum, Sitok Srengenge tidak lepas dari 'hukum adat' berupa 'pembuangan' yang dulu pernah berlaku dan diakui keberadaannya di Indonesia.Â
Sebagian daerah di Indonesia masih memberlakukan hukam adat seperti daerah-daerah tradisional di Bali. Masyarakat tradisional di Bali lebih takut pada hukum adat daripada hukum legal. Misalnya, bila seorang warga Bali melakukan tindakan melanggar hukum dengan status Pegawai Negeri Sipil, ia masih bisa bekerja sebagai pegawai swasta. Tetapi, bila ia melanggar adat, ia akan dibuang dari daerah pemukimannya dan dianggap 'mati'. LPSK dan masyarakat perlu menggali hukum adat di Indonesia. Bila hukum legal tidak bisa mewujudkan keadilan hukum, maka kita masih bisa mengandalkan hukum adat.
Optimalisasi media sosial
Komunitas-komunitas sadar hukum bisa menggunakan media sosial untuk menjalin komunikasi global. Media sosial bisa kita gunakan untuk memicu kelahiran komunitas-komunitas sadar hukum yang jauh lebih banyak. Bila kita sadar hukum memiliki massa yang banyak, kita dapat melakukan upaya hukum yang jauh lebih maksimal dan mendorong lembaga peradilan untuk melayani lebih maksimal.
Media sosial juga berfungsi untuk mengukuhkan hukum legal atau pemberian hukum sosial. Seandainya media sosial tidak ada, pelaku-pelaku kejahatan yang memiliki modal sosial dan kekuasaan seperti Sitok Srengenge, tentu tetap bisa bebas. Berkat media sosial, Sitok Srengenge tetap memperoleh hukuman atas tindakan kejahatan yang dilakukan. Dan, korban tetap bisa memperoleh keadilan hukum.
Optimalisasi media massa
Media massa cetak memiliki jangkauan yang sangat luas dalam mendistribusikan informasi. Selain menjalin kerjasama dengan LPSK, komunitas bisa menjalin kerja sama pula dengan media massa untuk menyebarkan kesadaran hukum, bisa berupa ruang tetap konsultasi hukum yang diasuh praktisi hukum.Â
Selain media cetak, kita juga bisa menyebarkan kesadaran hukum melalui media eletronik seperti televisi dan radio. Isu tindak kejahatan memang cenderung dihindari media massa karena dinilai tidak komersil, tetapi kita bisa mengemasnya lebih populis seperti menghadirkan figur publik, sehingga menarik animo masyarakat dan meningkatkan kesadaran hukum. Dengan demikian, budaya hukum (legal culture) akan semakin membaik dan menerbitkan titik terang bagi rasa aman yang masih langka di Indonesia.
Pemberdayaan tenaga pendidik
Tenaga pendidik merupakan figur yang dekat dengan masyarakat khususnya anak-anak dan remaja. Tenaga pendidik menjadi pusat perhatian orang banyak, sehingga bisa menjalin komunikasi lebih intens. Tindak kejahatan yang menyebar di mana-mana, semestinya mendorong tenaga pendidik atau lembaga pendidikan untuk beradaptasi. Apalagi lembaga pendidikan merupakan salah satu sarang tindak kejahatan.
Oleh karena itu, tenaga pendidik perlu memperoleh pemberdayaan menyangkut langkah-langkah untuk memproteksi anak didik dari kejahatan atau mengungkap kejahatan yang timbul di lingkungan sekolah. Tenaga pendidik perlu dibekali keahlian untuk mengenali tindak kejahatan yang dialami anak didik misalnya ilmu grafologi. Melalui grafologi, tenaga pendidik bisa mengenali anak didik yang menjadi korban kejahatan melalui tulisan.Â
Bermula dari tulisan, tenaga pendidik bisa menjalin komunikasi dengan anak didik yang terindikasi kuat menjadi korban tindak kejahatan. Bila terjadi indikasi korban kejahatan, tenaga pendidik bisa melaporkan pada LPSK. Untuk memperkuat solidartitas, tenaga pendidik dapat membentuk komunitas sadar hukum di lingkungan pendidikan.
Tenaga pendidik pun bisa menyediakan 'kotak laporan'. Agar anak didik yang menjadi korban kejahatan bisa menulis dan memberi tahu kondisi yang dialaminya. Bila tidak bisa ditangani sekolah, tenaga pendidik bisa menghubungi LPSK. Tenaga pendidik tidak perlu mencemaskan nama baik lembaga pendidikan akan tercemar bila kasus kejahatan di dalam lingkungan pendidikan terungkap. Justru, tenaga pendidik semestinya malu bila kelak diketahui bila secara sadar dan sengaja menyembunyikan tindak kejahatan. Karena menyembunyikan informasi tindak kejahatan berarti sama artinya melakukan tindakan kejahatan; karena membuka peluang tindak kejahatan yang sama untuk terulang lagi.
Selain itu, 'Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan' dan lembaga-lembaga pendidikan lainnya, bisa menetapkan informasi kesadaran hukum menjadi bagian dari kurikulum pendidikan khususnya kewarganegaraan. Agar anak didik yang akan menjadi agen perubahan memiliki bekal wawasan yang memadai untuk memperoleh keadilan hukum dan menyebarkan informasi tersebut di lingkungan masyarakat.
Sosialisasi sadar hukum di lembaga pendidikan
LPSK ataupun LSM yang berbasis kemanusiaan bisa melakukan sosialisasi ke lembaga-lembaga pendidikan khususnya sekolah dasar dan menengah, guna mendistribusikan informasi mengenai kesadaran hukum. Tenaga pendidik bisa berinteraksi langsung dengan LPSK atau LSM yang memiliki kompetensi dalam upaya-upaya untuk mewujudkan keadilan hukum. Sosialisasi harus dilakukan secara berkesinambungan atau paling sedikit sebulan sekali.Â
Agar budaya sadar hukum melekat dalam kesadaran kolektif generasi muda. Dengan adanya kesadaran hukum sejak dini, seseorang akan sulit untuk melakukan tindak kejahatan. Bila menjadi korban kejahatan, ia akan menyadari hak sasinya dan berjuang untuk memperoleh keadilan hukum.Â
Supremasi Hukum
Perlu adanya supremasi hukum di Indonesia. Literatur hukum dan aparatur hukum di Indonesia perlu dibenahi secara serius. Hukum Indonesia harus lepas landas dari ranah rechtstaat yang rentan dimanipulasi, menuju ranah legal justice. Bebasnya pelaku kejahatan seksual (Sitok Srengenge) atau hukuman yang sangat ringan bagi kejahatan seksual yang menjatuhkan korban 58 perempuan di bawah umur (Soni Sandra) semakin memperburuk penegakan hukum di Indonesia. Hal inilah yang membuat lembaga peradilan di Indonesia menempati peringkat yang cukup buruk dalam jejeran lembaga peradilan dunia.
Berdasarkan Rule of Law Index 2015 yang dirilis World Justice Project Rule of Law, lembaga peradilan Indonesia berada pada peringkat ke-52 dari 102 negara di dunia. Pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, kehidupan bangsa Indonesia membaik di berbagai sektor. Tetapi, apa gunanya kemajuan bila kejahatan masih merajalela? Tanpa supremasi hukum yang maksimal, kejahatan akan menghantui bangsa Indonesia bagai sosok Ibu dalam film Pengabdi Setan.
Dari kasus kejahatan seksual dengan pelaku Soni Sandra dan Sitok Srengenge, bisa kita tarik benang merah bahwa sikap korban (saksi) bungkam pada tindak kejahatan seksual adalah faktor kekuasaan yang dimiliki pelaku. Ketiadaan efek jera memicu tindak kejahatan seksual terus meningkat dan sulit untuk dihentikan. Sosok mereka sebagai tokoh masyarakat memicu timbulnya pelaku-pelaku yang tidak memiliki kekuasaan setara mereka, tetap melakukan tindak kejahatan yang sama. Karena itu, kita perlu membentuk komunitas yang menyebarkan kesadaran hukum. Melalui komunitas ini, kita bersinergi dengan LPSK untuk mewujudkan keadilan hukum.
Selain hukum dari lembaga peradilan, kita perlu menggali dan melestarikan hukum adat yang relevan dengan konteks zaman. Jika hukum yang berdasarkan UUD 1945 dan Pancasila tidak bisa difungsikan, maka hukum adat dapat kita gunakan untuk mewujudkan keadilan hukum.
Diam bukanlah pilihan. Di balik ketakutan, tersembunyi keberanian. Dalam penderitaan, tersimpan benih kemuliaan. Sesungguhnya kebahagiaan hanya dimiliki orang-orang yang setia memperjuangkannya.
Referensi:
DW
Kedirinusantara
Blog Aswandi Asyafa
Rappler
LPSK
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H