Pada Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2016, muncul kabar duka yang mengguncang dunia pendidikan Indonesia. Di lingkungan kampus sebuah perguruan tinggi Sumatera Utara, seorang dosen tewas di tangan mahasiswanya. Setelah membunuh dosennya, pelaku mengalami tindak kekerasan oleh mahasiswa lain di kampus tersebut. Bila aparat yang berwajib tidak datang tepat waktu, pelaku berpotensi besar akan tewas terbunuh pula!
Peristiwa pembunuhan dosen dengan pelaku mahasiswanya tersebut, hanya salah satu gunung es dalam polemik pendidikan di Indonesia dan terekspos media. Pada pihak polisi, pelaku mengaku motifnya membunuh karena sakit hati. Pelaku sering dimarahi dan dikeluarkan dari kelas karena tidak membawa buku dan memakai kaus ketika proses belajar-mengajar berlangsung. Bahkan, pelaku diancam tidak lulus. Terakhir, muncul pula testimoni bahwa pelaku diberi nilai buruk karena korban menyaksikan pelaku berpacaran di kamar mandi.
Bila kita renungkan, pemicu pembunuhan itu adalah kekerasan yang sering dianggap sebagai bentuk ‘disiplin’. Tidak membawa buku atau memakai berpakaian kurang pantas; telah menjadi sebuah bentuk kesalahan pelaku. Tapi, bagaimana pun, pelaku merupakan mahasiswa yang memiliki hak belajar. Tindakan korban untuk mengeluarkan mahasiswa dari kelas, mengancamnya tidak lulus, dan memberinya nilai buruk; sulit untuk dinilai benar. Bahkan, bila pelaku terbukti melakukan perbuatan yang bisa dinilai kurang berasusila tersebut, 'hukuman' yang diberikan korban sangat jauh dari esensi 'mendidik'.
Alangkah indahnya bila dosen tersebut meminjamkan kemeja untuknya untuk dipakai setiap jam kuliah yang diajarnya. Atau meminjamkan buku bagi pelaku ketika proses belajar-mengajar berlangsung. Agar pelaku tetap bisa menjalani proses belajar yang menjadi haknya. Diakui atau tidak, mengubah kebiasaan itu, luar biasa sulit, serta tidak bisa menggunakan paksaan ataupun ancaman. Bila ternyata sangat kompleks dan korban tidak sanggup menanganinya, semestinya berkoordinasi terlebih dahulu dengan organisasi lembaga pendidikan atau menjalin komunikasi dengan keluarga yang bersangkutan. Â
Peristiwa tersebut mengindikasikan bahwa praktik pendidikan (belajar-mengajar) di lembaga pendidikan formal telah menjauh dari ajaran luhur Ki Hajar Dewantara. Bila kita mengimplementasikan kembali ajaran Ki Hajar Dewantara, kabar duka pada Hari Pendidikan Nasional tahun tersebut, berpotensi tidak terjadi.
Dalam konsep pendidikan yang digagas Ki Hajar Dewantara, tenaga pendidik dan anak didik adalah mitra didik atau fasilitator. Pendidikan pun bersifat egaliter. Sehingga, perbedaan antara pendidik dan anak didik sangat tipis. Anak didik pun adalah ‘guru’ untuk melatih kesabaran bagi tenaga pendidikan (guru/dosen). Kompetensi tenaga pendidik tidak hanya diukur dari tuntutan kurikulum yang dipenuhi. Tapi, terciptanya suasana kasih-sayang dan persahabatan dalam proses belajar-mengajar. Dengan kata lain, mendidik bukan sekadar mengisi pemikiran atau kepala (head) dan upaya mendapatkan keahlian (skill), tapi juga mendidik akhlak atau hati (heart).
Bila kita cermati ajaran Ki Hajar Dewantara lebih jauh, tujuan pendidikan adalah pembangunan karakter pemimpin. Seorang pemimpin dalam ajaran Ki Hajar Dewantara, harus memiliki sifat: Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, dan Tut Wuri Handayani (pemimpin ialah seseorang yang berada di depan memberikan suri tauladan, di tengah menggerakan semangat dan egaliter serta membangun kehendak, dan di belakang ialah memotivasi atau memberi dorongan bagi orang yang dipimpinnya). Ketiga konsep ini tidak bisa direduksi dan saling mengukuhkan. Karena itu, ketiga konsep ini perlu dibumikan sebagai pilar utama dalam praktik pendidikan di Indonesia. Agar manusia Indonesia tumbuh menjadi pribadi yang bertanggung jawab, dinamis, inovatif, setia pada kebenaran, memiliki keahlian (keterampilan), dan turut berkontribusi dalam pembangunan sosial. Dengan demikian, tercapai pula pembentukan karakter Manusia Pancasila.
Untuk membumikan ketiga konsep kepemimpinan tersebut, kita tidak cukup menggunakan lembaga pendidikan formal (sekolah/universitas) saja. Dalam konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara, lembaga pendidikan formal hanya sebuah elemen yang tidak bisa direduksi keberadaannya dari konstelasi lembaga pendidikan. Jadi; keluarga, rumah-rumah ibadah, perpustakaan, media massa, lembaga swadaya masyarakat (LSM), pasar tradisional, hutan, lautan, alun-alun, perpustakaan, dan seluruh ruang publik; adalah bagian dari lembaga pendidikan yang tidak dapat direduksi. Dengan kata lain, lembaga pendidikan adalah seluruh relasi sosial di alam semesta. Karena itu, pendidikan yang efektif adalah pendidikan yang menjadi gerakan semesta. Bila diimplementasikan, konsep pendidikan sebagai gerakan semesta ini, membuka peluang untuk menciptakan inovasi-inovasi baru dalam pendidikan.
Upaya pelaksanaan untuk mencapai tujuan pendidikan dalam ranah gerakan semesta, dirumuskan Ki Hajar Dewantara dalam konsep Tri Sentra Pendidikan, yaitu: 1) Alam Keluarga, 2) Alam Keguruan, dan 3) Alam Pergerakan Pemuda/Pengabdian Masyarakat. Bila kita relevansikan Tri Sentra Pendidikan dengan perkembangan inovasi pendidikan, kita akan menemukan konsep pendidikan yang bersifat holistik, sebagai berikut:
1. Alam Keluarga
Pendidikan pertama yang diterima oleh seorang individu adalah di alam keluarga atau rumah. Orangtua adalah guru pertama bagi anak. Maka, sebelum menikah atau berumah tangga, seseorang harus menjalani pendidikan khusus mengenai keluarga dan berkeluarga. Mereka tidak hanya harus siap (sehat) secara fisik, tapi juga siap (sehat) secara mental. Anak yang sehat (fisik dan mental) dan tumbuh di alam keluarga dengan lingkungan yang sehat pula, memiliki rasa ingin tahu alamiah (takjub) dan memiliki potensi yang rendah untuk melakukan tindakan yang negatif. Sehingga, ia akan memiliki kecintaan belajar dan siap menuntut ilmu di lembaga pendidikan formal.
Selain itu, kesejahteraan juga sangat penting dalam untuk menciptakan keluarga yang sehat. Secanggih apapun norma, agama, dan segala bentuk aturan moral; bila sebuah keluarga masih miskin; kekerasan tetap akan berkembang biak. Orangtua (orang dewasa) dalam keluarga yang tidak sejahtera rentan mengalami depresi dan menularkan depresi pada anak.
Pemerintah perlu lebih serius dalam mengentaskan kemiskinan, sehingga terwujud kesejahteraan kolektif. Semua warga negara perlu dibekali keahlian praktis yang bisa digunakannya untuk mencari nafkah dan hidup layak. Keahlian tidak hanya dari pendidikan formal semata, tapi juga bisa didapatkan dari pelatihan-pelatihan atau pendidikan di lembaga informal. Karena itu, organisasi masyarakat dan aparat desa (RT/RW) perlu diaktifkan; tidak hanya mengurus administrasi; tapi juga mengupayakan setiap anggota masyarakat untuk mendapatkan keahlian (keterampilan), sehingga bisa memiliki pekerjaan layak dan hidup sejahtera.
2. Alam Keguruan
Alam Keguruan dapat diasumsikan sebagai zona tempat seseorang belajar dengan tuntunan guru atau lembaga pendidikan. Untuk mewujudkan Alam Keguruan yang kondusif, tenaga pendidik harus kompeten. Di lembaga pendidikan formal Indonesia, banyak tenaga pendidik yang tidak (kurang) kompeten.
Bukti kompetensi tenaga pendidik adalah karya nyata sesuai pengalaman empirisnya dan efektifitas dalam mengajarkan. Dengan demikian, tenaga pendidik tidak lagi ‘menuntut’ anak didik untuk mencapai sesuatu yang justru belum dicapainya, sebagaimana praktik pendidikan dewasa ini. Tapi, dengan keahlian yang mumpuni, tenaga pendidik berperan serta dalam ‘menuntun’ anak didik untuk mencapai tujuan pendidikan. Tenaga pendidik pun tidak lagi ‘memanjakan’ anak didik yang pintar karena lebih memudahkan pekerjaannya, tapi mampu membantu anak didik yang kesulitan dalam menguasai ilmu pengetahuan yang diajarkan dengan proses penuh kasih-sayang.
Untuk menciptakan Alam Keguruan yang berkualitas, pemerintah Finlandia memang memberi dukungan dan subsidi bagi peningkatan kompetensi tenaga pendidik. Tenaga pendidikan dasar (guru SD), memiliki kewajiban studi megister (S2) yang dibiyai negara. Tak mengherankan, tenaga pendidik memiliki kemampuan yang mumpuni dan dapat mendampingi proses pertumbuhan intelektualitas (bakat) anak didik.
Sedangkan untuk praktik subsidi pendidikan, generasi muda yang menjalani pendidikan setara SD sampai SMA, perlu dibebaskan dari biaya pendidikan, sebagaimana yang telah diterapkan Jepang. Agar keadilan dan kesetaraan pendidikan di bidang pendidikan formal terlaksana.Â
3. Alam Pergerakan Pemuda/Pengabdian Masyarakat
Keberhasilan sebuah pendidikan (proses belajar-mengajar) ditandai dengan terimplementasikannya ilmu pengetahuan dalam kehidupan sosial masyarakat. Karena itu, pendidikan harus sesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dan memiliki wawasan kearifan lokal.
Negara Jepang bisa makmur dan menjadi salah satu negara maju di dunia, sebab pendidikan di Jepang mengakomodasi kebutuhan masyarakat. Selain itu, Jepang juga mengadopsi kearifan lokal berupa Zen dan konsep diri Busidho (kode etik Samurai). Tidak mengherankan, bekerja (action) menjadi tradisi di Jepang. Pembangunannya pun sangat ramah lingkungan karena menggunakan konsep Zen. Sedangkan konsep diri Busidho membuat bangsa Jepang menjadikan nyawa-nya sebagai jaminan integritas. Tak mengherankan, orang Jepang memilih menjalani ritual bunuh diri (harakiri) bila terbukti tidak menjalankan tugasnya dengan baik.Â
Oleh karena itu, kearifan lokal perlu menjadi bagian dari materi pengajaran wajib di seluruh lembaga pendidikan formal Indonesia. Teori harus lebih banyak (seimbang) dengan praktik. Perlu juga peran serta tokoh-tokoh masyarakat dan pemangku adat dalam merumuskan materi pengajaran yang ideal. Sehingga, ilmu pengetahuan yang diperoleh generasi muda melalui lembaga pendidikan, bisa diimplementasikan dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dengan demikian, jumlah pengangguran bergelar sarjana dapat dihapuskan.
Dari uraian di atas, dapat kita simpulkan bahwa pendidikan bukanlah tanggung jawab lembaga pendidikan formal saja, melainkan tanggung jawab kolektif. Praktik pendidikan adalah proses belajar-mengajar dengan melibatkan seluruh relasi sosial (masyarakat) di muka bumi. Sehingga bisa disebut, pendidikan harus menjadi sebuah gerakan semesta. Ajaran Ki Hajar Dewantara sangat mengakomodasi gerakan semesta. Bila diimplementasikan sebagai pilar utama konsep pendidikan, kekerasan di lingkungan lembaga pendidikan atau dalam proses belajar-mengajar, bisa dihindari dan dihentikan.
Sebuah gerakan tidak cukup dengan rumusan konsep semata, melainkan perlu adanya langkah awal implementasi. Kemajuan teknologi informasi membuka peluang besar bagi kita untuk mewujudkan pendidikan sebagai gerakan semesta. Melalui internet, kita bisa menjalin hubungan antar lembaga-lembaga pendidikan, berbagi informasi, berbagi bahan ajar, dan saling meneguhkan. Dengan demikian, internet bisa dimanfaatkan sebagai jembatan menuju kemajuan peradaban Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H