Dewasa ini, DPD-RI memiliki citra negatif di mata sebagian rakyat. Sebagai wakil rakyat, DPD-RI sering dinilai belum bisa mengakomodasi hak-hak dan suara rakyat. Berbagai tindakan yang berseberangan dengan spektrum moral sudah lazim terjadi di kalangan DPD-RI. Hal ini dikukuhkan dengan menjamurnya oknum anggota (mantan anggota) DPD-RI yang menjadi terdakwa tindak pidana.
Solidaritas antaranggota DPD-RI pun cenderung tidak terjaga. Masing-masing kubu cenderung memperjuangkan kepentingan politik partainya masing-masing. Sudah hal lumrah masing-masing kubu (partai) saling serang. Gedung parlemen menjelma ladang perebutan otoritas politik. Upaya mengakomodasi hak-hak asasi rakyat sebagai visi tunggal mulai terabaikan. Tidak mengherankan, DPD-RI perlahan-lahan kehilangan rasa hormat dari rakyat. Berbagai kritik pedas dan hujatan dari netizen terhadap kinerja DPD-RI, membanjiri halaman-halaman media massa virtual dan jejaring sosial media. Bahkan, tidak sedikit netizen menyarankan agar DPD-RI dibubarkan.  Â
Bagaimana mungkin DPD-RI didengar jika rasa hormat rakyat telah memudar?
Citra negatif tersebut telah membuat rakyat rentan bersikap apatis, serta membenci DPD-RI dan politisi secara keseluruhan. Namun, kita tidak bisa berburuk sangka (prejudice) dengan menggeneralisir perbuatan yang berseberangan dengan spektrum moral tersebut sebagai perilaku atau tindakan anggota DPD-RI secara kolektif. Dari ratusan anggota DPD-RI, tetap akan ada anggota DPD-RI yang masih memegang hati nurani dan idealisme dalam berjuang untuk mengakomodasi hak-hak rakyat. Menjadi sebuah tantangan besar bagi anggota DPD-RI yang masih memiliki hati nurani ini untuk membuat rakyat jatuh cinta.
Â
Â
Untuk membuat rakyat jatuh cinta, politisi DPD-RI perlu belajar pada jejak langkah politisi ulung Indonesia: Bung Hatta. Cinta rakyat pada Bung Hatta membuat suara politisi ini abadi. Pemikiran dan cita-citanya tetap diperjuangkan. Bahkan, dalam kematian pun, Bung Hatta tetap harum dalam ingatan rakyat Indonesia. Berikut beberapa hal yang membuat suara Bung Hatta abadi:Â
1. Kedaulatan Rakyat
Perbedaan yang mendasar antara Bung Hatta dan mayoritas politisi dewasa ini adalah Bung Hatta sangat menghormati kedaulatan rakyat. Hal ini termaktub dalam pernyataan Bung Hatta dalam Daulat Ra’jat pada 20 September 1931 (dikutip dengan ejaan sekarang/EYD): [...] Bagi kita, rakyat itu yang utama, rakyat umum, yang mempunyai kedaulatan, kekuasaan (souvereiniteit). Karena rakyat itu jantung hati Bangsa. Dan rakyat itulah yang menjadi ukuran tinggi rendahnya derajat kita. Dengan rakyat itu kita akan naik dan dengan rakyat itu kita akan turun. Hidup matinya Indonesia Merdeka semuanya itu tergantung pada semangat rakyat. Penganjur-penganjur dan golongan kaum terpelajar baru ada berarti, kalau di belakangnya ada rakyat yang sadar dan insaf akan kedaulatan dirinya [...]. Tidak mengherankan, Bung Hatta selalu didengarkan rakyat.
Jika DPD-RI ingin didengar, maka para politisi DPD-RI juga harus menghormati kedaulatan rakyat; bukan bersikap arogan, pamer kekayaan, ataupun menganggap rakyat lebih rendah kedudukannya. DPD-RI harus menyadari bahwa kedaulatan di tangan rakyat. Dari rakyatlah DPD-RI berasal. Tanpa rakyat, DPD-RI tidak berharga. Bila rakyat tidak bersedia bekerjasama dengan pemerintah, kebijakan-kebijakan publik tidak akan terealisasi. Hal ini dibuktikan banyak pembangunan sosial yang menjadi agenda kebijakan publik yang terbengkalai seperti kemiskinan, kelaparan, angka kematian ibu, dan berbagai kebijakan publik lainnya.            Â
2. Politik Pedagogi
Suara DPD-RI sulit didengarkan rakyat karena para politisi DPD-RI cenderung menggunakan politik yang bercorak agitasi. Kebijakan-kebijakan publik yang ditetapkan DPD-RI pun cenderung hanya ‘otak-atik’ kebijakan publik dari rejim pemerintahan sebelumnya dan cenderung ‘selalu membutuhkan dana’ yang dikuras dari uang rakyat. Para politisi DPD-RI seolah tidak belajar dari kesalahan-kesalahan politis DPD-RI sebelumnya: bahwa semakin banyak dana yang dibutuhkan untuk program pembangunan sosial, maka semakin besar pula potensi korupsi. Kolusi dan nepotisme pun masih menjamur sampai sekarang di kalangan politisi.
Hal itu jauh berbeda dengan jalan politik yang ditempuh Bung Hatta seumur hidupnya. Bung Hatta adalah seorang ‘guru bangsa’. Pendidikan bagi rakyat merupakan panggilan jiwanya. Ketika masuk ke dalam kancah politik, Bung Hatta tidak ‘dihanyutkan’ arus politik dalam perebutan kekuasaan, melainkan tetap memegang integritasnya dalam pendidikan, sehingga peran Bung Hatta dalam sejarah Indonesia lazim disebut ‘politik pedagogi’. Politik pedagogi dapat dipahami sebagai sebuah seni dalam mendidik agar rakyat cerdas, bermartabat, memiliki harga diri, menyadari kedaulatannya, memiliki kemerdekaan psikologis, dan dapat bekerja sama dalam mewujudkan kemakmuran kolektif yang sesuai nilai-nilai luhur Pancasila dan UUD 1945.
Politik pedagogi merupakan langkah DPD-RI agar didengarkan rakyat. Di mana DPD-RI berperan sebagai ‘guru bangsa’ dalam mencerdaskan rakyat. Rakyat tidak hanya berperan sebagai penerima program-program pembangunan, melainkan dipersiapkan untuk memiliki intelektualitas dan mentalitas yang prima dalam menjalankan program-program tersebut. Sehingga, rakyat cerdas dalam kehidupannya; jiwa dan raga; sehingga rakyat bisa memperjuangkan hak asasi dan berpartisipasi aktif (berkerja sama dengan pemerintah) dalam pembangunan sosial untuk mewujudkan kemakmuran kolektif. Tanpa rakyat yang cerdas dan memiliki kesadaran untuk bekerja sama, cita-cita kemerdekaan dalam Pancasila dan UUS 1945 tidak akan pernah terwujud.
3. Jujur dan Sederhana
Di masa sekarang, rakyat banyak mendengar tuntutan politisi dalam menggunakan dana rakyat untuk kepentingan-kepentingan kalangan politisi: dari pengharum ruangan, sampai pembalut wanita. Terakhir, rakyat pun digegerkan usulan ‘dana aspirasi’. Para politisi bisa beralasan bahwa dana itu untuk ‘kelancaran’ kinerja mereka dalam mengabdi pada rakyat. Tapi, rakyat sudah semakin cerdas. Meskipun para politisi bisa memberikan penjelasan yang ‘logis’, rakyat bisa melihat kebijakan-kebijakan tersebut bertujuan untuk ‘kenyamanan’ bagi para politisi.
Di sisi lain, Bung Hatta pun tetap menjalankan tugasnya sebagai Wakil Presiden dan pendidik bangsa di tengah-tengah keterbatasan. Tidak akan terkikis dalam ingatan rakyat bahwa tahun 1950-an, Bung Hatta menyimpan halaman iklan sepatu Bally impiannya. Di masa itu, sepatu Bally merupakan merek sepatu terkenal dan cukup mahal. Beliau pun menabung hari demi hari agar bisa membeli sepatu impiannya itu. Sayangnya, uang tabungan itu selalu habis untuk kebutuhan rumah tangga atau membantu orang yang kesusahan, hingga sepatu Bally tidak kunjung terbeli. Halaman iklan sepatu Bally tersebut tetap tersimpan dan menjadi salah satu warisan setelah beliau wafat.
Lebih dekat lagi, Bung Hatta didengarkan rakyat karena beliau mampu menjadi representasi rakyat sesungguhnya: rakyat Indonesia banyak yang miskin, maka beliau pun bersedia hidup ‘miskin’. Penerimaan Bung Hatta pada kemiskinan pun sangat jelas ketika dirinya hidup di tanah-tanah buangan seperti di Digul dan Banda Neira. Di tanah buangan inipun, Bung Hatta tetap mendedikasikan hidupnya untuk kemerdekaan dan pendidikan bagi rakyat. Bahkan, ia pun sering cemas tidak bisa membayar rekening listrik dan air di rumahnya. Hal inipun semakin lengkap dengan wasiatnya untuk dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Tanah Kusir (bukan di Taman Makam Pahlawan Kalibata), bersatu dengan rakyat yang mencintai dan dicintainya. Bukanlah sesuatu yang mengherankan bila rakyat ‘seolah’ mendengarkan suara Bung Hatta sampai sekarang.
Â
Bila DPD-RI ingin didengarkan, maka anggota DPD-RI harus mendidik diri untuk hidup jujur dan sederhana, sebagaimana Bung Hatta, bukan malah menuntut kenyamanan di tengah-tengah kemiskinan dan penderitaan rakyat. Bila kebijakan-kebijakan DPD-RI masih ‘melulu dana’ untuk kenyamanan dan didukung gaya hidup hedonis, harapan DPD-RI untuk didengarkan rakyat sama saja mimpi di hari siang yang tidak akan tercapai dan leyap ketika terjaga. Sungguh sangat menyedihkan ketika rakyat menganggap politisi DPD-RI sebagai sekelompok orang yang berbicara dalam keadaan tertidur atau ‘mengigau’.
4. Integritas dan Etika
Bagi DPD-RI, salah satu alasan klasik yang sering dikeluhkan sebagai kendala mewujudkan ‘idealisme memperjuangkan hak-hak asasi rakyat’ adalah ‘sistem sosial politik’ yang tidak kondusif, korup, dan feodal. Tapi, di masa Bung Hatta, sistem sosial politik tidak jauh berbeda. Bahkan, kondisi sistem sosial politik di masa Bung Hatta, jauh lebih represif dan dengan potensi konflik multidimensi yang sangat besar. Sengketa di jajaran politik dan antarpolitisi pun bisa disebut brutal dan sangat kejam. Tidak sedikit politisi yang hilang atau tewas di tiang eksekusi. Sebagai negara yang masih muda dan baru merdeka, NKRI pun sangat rentan diserang dan dijajah kembali oleh militer kolonial. Di tengah kegamangan sistem sosial politik di awal terbentuknya NKRI, Bung Hatta relatif bersih dari kontroversi. Bahkan dicintai kawan dan lawan politiknya. Beliau tidak ubahnya pulau yang tidak bisa tenggelam. Sebab Bung Hatta memiliki integritas dan etika. Integritas dan etika ini pula yang tercermin dalam persahabatan beliau dengan Bung Karno. Meskipun berbeda haluan politik dan tersingkir dari jabatannya sebagai Wakil Presiden, hubungan silaturahmi Bung Hatta dan Bung Karno tidak terputus dan tetap hangat sampai maut memisahkan.Â
Â
5. Profesionalitas dan Kompetensi
Bung Hatta tidak hanya sekadar menyuarakan ‘ekonomi kerakyatan’, tapi beliau memiliki kompetensi di bidang ekonomi. Beliau sangat ‘memahami’ potensi lokal rakyat Indonesia dan telah menjalani pendidikan ekonomi yang mumpuni. Sejak kecil Bung Hatta telah menerima pendidikan ekonomi dalam keluarganya yang ulama-pedagang. Sepanjang hidupnya, Bung Hatta hidup sederhana dan rajin menabung. Tidak heran, suara Bung Hatta didengarkan rakyat. Sebab, pemikirannya tidak hanya ‘omong doang’ (lip service), tapi merupakan cerminan ‘realitas’ sikap hidup yang ditempuhnya.
Tersingkirnya Bung Hatta sebagai Wakil Presiden tidak membuat beliau kehilangan semangatnya dalam mendidik rakyat. Beliau tetap profesional dalam memperjuangkan visinya dalam membangun bangsa, yaitu sebagai dosen di berbagai perguruan tinggi, aktif pula berceramah tanpa memungut bayaran, dan produktif menulis karya-karya yang membuka cakrawala berpikir bangsa Indonesia.   Â
Profesionalitas dan kompetensi itulah yang masih langka di jajaran politisi. Hal ini disebabkan umumnya politisi cenderung belum memahami realitas antropologis rakyat Indonesia. Rakyat cenderung diasumsikan sebagai barisan angka-angka statistik yang tidak berjiwa, bukan manusia yang bernyawa dan berbudaya. Sehingga untuk mewujudkan kemakmuran, politisi cukup melakukan ‘bongkar-pasang’ kebijakan yang telah lapuk. Implikasinya, kebijakan publik yang ditetapkan semakin jauh dari sasaran. Ketika sasaran tidak tercapai, para politisi rentan saling menyalahkan.
Misalnya, belum lama ini, seorang anggota DPD-RI menuding Jokowi gagal dalam mewujudkan visi-misi Nawacita dalam memberantas kemiskinan. Artikel yang berisi pernyataannya itu tersebar di jejaring sosial dan menjadi bahan tertawaan netizen. Bagaimana tidak? Kemiskinan telah ada sejak berdirinya NKRI atau 60 tahun lebih usia kemerdekaan. Ke mana saja politisi itu selama ini? Bahkan, kendala dalam memberantas kemiskinan pun tidak lepas dari perilaku para oknum politisi DPD-RI yang melakukan tindak pidana korupsi atau habis untuk membiayai program yang tidak memperlihatkan kemajuan yang konstruktif seperti studi banding.       Â
6. Mendayagunakan Potensi Lokal
Meskipun menjalani pendidikan ekonomi di Belanda, upaya-upaya Bung Hatta untuk memajukan perekonomian Indonesia, sangat ramah lingkungan, tanpa represi ataupun eksploitasi. Pembangunan di sektor perekonomian yang diupayakan Bung Hatta adalah ekonomi kerakyatan. Bagi Bung Hatta, untuk menciptakan kemakmuran, rakyat harus dibekali ilmu pengetahuan agar bisa mengaktualisasikan diri dalam mengelola sumber daya alam dan mendistribusikannya sebagai barang ekonomis. Hal ini dikukuhkan dengan keberadaan koperasi sebagai wahana lalu-lintas perekonomian rakyat.
Sayangnya, impian Bung Hatta belum terwujud secara maksimal karena beliau tersingkir dari jabatan sebagai Wakil Presiden RI. Implikasinya, peluang Bung Hatta untuk menjadikan visi progresifnya sebagai kebijakan publik menjadi terkikis. Masuknya rejim Orde Baru yang membuka investasi asing sebesar-besarnya dan nyaris tanpa kendali, mengakibatkan sumberdaya kehidupan milik (hak) rakyat didominasi pihak asing. Meskipun demikian, cita-cita Bung Hatta tetap relevan dengan impian rakyat Indonesia masa kini dan masa yang akan datang. Sebab, pemikiran Bung Hatta mengakar kuat di bumi Indonesia, bukan konsepsi yang berada di awang-awang dan tanpa dasar epistemologi-antropologi. Hingga kini, buku-buku karya Bung Hatta terus dibaca dan pemikiran-pemikirannya terus dipelajari dan menjadi bahan diskusi.        Â
Di sisi lain, sebagian besar program-program pembangunan sosial yang disuarakan DPD-RI cenderung mengabaikan faktor antropologis masyarakat. Program pembangunan sosial ‘disama-ratakan’; strategi pembangun di Jawa dijadikan pula sebagai strategi pembangunan di Sumatera, Kalimantan, dan daerah-daerah lainnya. Alih-alih menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran, pembangunan justru mengikis alam dan budaya masyarakat. Terjadi eksploitasi besar-besaran terhadap hutan dan barang tambang dengan mengabaikan keseimbangan alam. Peran pemangku adat disingkirkan, sehingga rentan meletuskan konflik sosial. Karena itu, agar didengarkan rakyat, maka politisi DPD-RI harus mengenal substansi antropologis rakyat Indonesia, baik alam ataupun budayanya yang multikultur, sebagaimana yang telah diterapkan Bung Hatta.        Â
7. Cinta Sastra
Sebagaimana Bung Sjahrir dan Bung Karno, Bung Hatta dikenal sebagai pecinta karya sastra. Bahkan, beliau sempat menulis puisi-puisi patriotik semasa aktif sebagai penggerak Perhimpunan Indonesia dengan jurnalnya Indonesia Merdeka. Bung Hatta sangat menjaga tutur bahasanya. Sepanjang sejarah, bisa disebut, beliau tidak pernah menjelek-jelekkan lawan politik atau mengeluh (curhat) pada rakyat. Dalam berpidato pun Bung Hatta tidak menggunakan jasa juru tulis, melainkan spontan atau langsung dari hatinya. Bung Hatta pun teratur menulis di media dan buku-buku, sehingga gema suaranya lebih luas, melebihi bunyi yang mengalir dari getaran pita suara dan juga usianya.Â
Keahlian sastra merupakan kompetensi yang harus dimiliki politisi DPD-RI. Bahasa sastra-lah yang komunikatif dan bisa menjangkau hati rakyat, bukan ‘bahasa-bahasa akademis’ yang dicampur bahasa asing, sebagaimana Vicky Prasetyo yang terkenal dengan ‘kontroversi hati’, supaya terkesan cerdas. Tidak hanya berargumen dengan ‘cantik’, orang yang memiliki kemampuan di bidang sastra bisa ‘marah’ dengan bahasa yang indah.   Â
Selain itu, penguasaan pada ‘sastra daerah’ (seperti kemampuan berbahasa daerah, pantun, pepatah-petitih, dst) pun akan sangat meningkatkan kualitas komunikasi politisi DPD-RI dengan rakyat Indonesia. Karena sastra daerah merupakan sumber kearifan lokal yang membentuk dan menjaga harmoni masyarakat dalam sistem sosial budaya daerah-daerah Indonesia, jauh sebelum bendera merah-putih berkibar di Bumi Pertiwi.  Â
Dengan kecintaan pada sastra, politisi DPD-RI akan bisa menyampaikan pemikiran dengan komunikatif. Dan, tentunya, hal ini akan semakin lengkap dengan kemampuan DPD-RI dan menuliskan pemikirannya. Sehingga, gagasan pembangunan menjangkau masyarakat, melampaui suara yang bisa dihasilkan politisi DPD-RI.
Â
Â
Dapat kita simpulkan bahwa agar DPD-RI didengar rakyat, para politisi DPD-RI perlu mengikuti jejak Bung Hatta. Suara Bung Hatta adalah suara hatinya; kesetiaan antara kata dan perbuatan; pancaran nurani yang murni, intelektualitas, cinta pada rakyatnya, dan keluhuran budi pekerti. Karena itulah, rakyat terus mendengarkan suara Bung Hatta, mencintai Bung Hatta, bahkan jauh setelah kematiannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H