Mohon tunggu...
Sulfiza Ariska
Sulfiza Ariska Mohon Tunggu... Penulis - Halo, saudara-saudara sedunia. Apa kabarmu? Semoga kebaikan selalu menyertai KITA.

Penulis penuh waktu. Lahir di Sumatera Barat dan berkarya di Yogya. Emerging Writer "Ubud Writers and Readers Festival" ke-11. E-mail: sulfiza.ariska@gmail.com IG: @sulfiza_indonesia Twitter: Sulfiza_A

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kisah Cinta dalam Belenggu Tradisi Misoginis

7 Juni 2015   02:45 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:19 408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14325735801945023403

Budaya misoginis menuntut kepatuhan perempuan. Budaya ini rentan membuat perempuan rentan kehilangan hak otonom atas tubuh dan eksistensi sebagai pribadi yang memiliki hak azasi. Sifat perempuan dalam konstruksi budaya misoginis akan menyulitkan perempuan untuk mengaktualisasikan diri dalam lingkungan kerja yang paternalistik dan kompetitif. Budaya misoginis tidak hanya merugikan perempuan, melainkan menghambat kita dalam upaya penemuan cinta. Kita pun sudah sering menyaksikan dalam kehidupan nyata, betapa rapuhnya pernikahan (relasi/komitmen sejenisnya) dalam tatanan budaya misoginis.; selalu dibayang-bayangi perceraian, perselingkuhan, pertengkaran, kekerasan domestik, dan trauma. Hal ini disebabkan, konsepsi (pemahaman) pada cinta telah kehilangan esensi dan bercinta dinilai sebagai pelampiasan hasrat biologis, sehingga tereduksi dari kosmos. Akibatnya, obesesi pada cinta menimbulkan keraguan (ketidakpastian), hubungan seks sering kali menyisakan siksaan rasa hampa, dan pernikahan rentan dinilai merampas kebebasan perempuan. Tidak mengherankan, sebagian feminis radikal menuduh bahwa pernikahan merupakan perbudakan seksual (pelacuran) yang dilembagakan.

Novel 4 Musim Cinta menandai pergeseran kesadaran dalam memaknai cinta dari ranah misoginis menuju arah yang meneguhkan hak asasi. Tokoh Pring menghadirkan jawaban yang segar terhadap pertanyaan-pertanyaan tentang cinta dan pernikahan yang sering direduksi pengaruh misoginis. Bahkan, secara esensial, pandangan Pring identik dengan definisi klasik tentang cinta yang diutarakan Milan Kundera.

Dalam The Unbearable Lightness of Being, Milan Kundera mendefinisikan cinta yang universal dan esensial: Bercinta dengan seorang wanita dan tidur dengan seorang wanita merupakan nafsu yang terpisah, bukan hanya berbeda, namun bertolak belakang. Cinta tidak memberinya merasakan hasrat untuk melakukan suatu persetubuhan (suatu hasrat yang meluas pada jumlah wanita yang tiada terbatas) namun pada hasrat untuk berbagi tidur (suatu hasrat yang terbatas pada satu orang wanita.

Di sisi lain, dalam memahami cinta, Pring dipengaruhi pemikiran seorang temannya, bahwa; Jatuh cinta dan mencintai adalah dua hal yang berbeda. Sebagai lelaki kita bisa jatuh cinta berkali-kali kepada orang yang sama atau orang yang berbeda. Tapi, mencintai adalah keputusan. Sekali kita sudah memutuskan untuk mencintai, maka mencintailah selamanya. Nikmati prosesnya. Pahit atau manis (hal. 314).

Meskipun terdapat perbedaan bahasa, secara esensial cara Pring memandang cinta, identik dengan definisi cinta dalam pandangan Milan Kundera tersebut. Bahwa ‘hubungan cinta secara ideal’ adalah relasi monogami atau kesetiaan pada seorang belahan jiwa.

Peran Pring sebagai satu-satunya tokoh yang menikah dan memberi izin bagi istrinya (Indah) untuk mengaktualisasikan diri (melanjutkan studi S2); menandai pergeseran cinta dalam kuasa kesadaran misoginis menuju relasi yang memanusiakan. Dalam pandangan Pring, cinta bukanlah sekadar hasrat biologis; setelah hasrat itu tuntas dengan hubungan seks, cinta berakhir dan menyisakan hampa. Tujuan relasi cinta dilembagakan melalui pernikahan adalah untuk mengukuhkan kemanusiaan. Pernikahan mengukuhkan keberadaan cinta dalam sebuah sistem sosial budaya. Perempuan (istri) bukanlah perhiasan atau benda yang dikuasai pria (suami). Perempuan (istri) adalah mitra seperjalanan dan keberadaannya meneguhkan eksistensi pria.

Dalam relasi heteroseksual, pria tidak akan utuh tanpa kehadiran perempuan. Kemuliaan pria (suami) terletak pada kehormatan perempuan (istri). Pria (suami) tidak akan dihormati perempuan (istri) bila ia tidak menghormati impian-impian perempuan (istri) untuk meraih kemajuan. Niat Pring menamakan anak pertamanya Gayatri (teman perempuannya yang memiliki kemerdekaan psikologis) menunjukkan bahwa dirinya membuka diri untuk kemajuan perempuan.

Semuanya berubah, tanpa henti (Pantha Rei-Herakleitos). Demikian pula dengan esensi cinta. Novel 4 Musim Cinta menuntun pembaca untuk lebih memahami esensi cinta di zaman modern. Cinta yang berabad-abad dibelenggu kuasa misoginis, telah bertransformasi menuju arah yang lebih manusiawi. Bahwa, cinta bukan sekadar ketertarikan (ikatan) fisik dalam pengaruh hasrat seksual. Seksualitas merupakan berkah Ilahi dan energi kehidupan. Bila dimanfaatkan untuk tujuan yang mulia; cinta akan mengantarkan manusia menuju pencapaian-pencapaian spiritual dan melestarikan kemanusiaan. Hubungan seks yang didasari cinta melahirkan kasih sayang dan kekuatan. Cinta membuat kehidupan layak untuk diperjuangkan dan pernikahan membawa kebahagiaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun