Mohon tunggu...
Sulfiza Ariska
Sulfiza Ariska Mohon Tunggu... Penulis - Halo, saudara-saudara sedunia. Apa kabarmu? Semoga kebaikan selalu menyertai KITA.

Penulis penuh waktu. Lahir di Sumatera Barat dan berkarya di Yogya. Emerging Writer "Ubud Writers and Readers Festival" ke-11. E-mail: sulfiza.ariska@gmail.com IG: @sulfiza_indonesia Twitter: Sulfiza_A

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sinergi Ramadhan dan Revolusi Mental

26 Juli 2014   05:47 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:12 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14063030271017703229
14063030271017703229
Banjir pembeli pakaian menjelang Lebaran (24 Juli 2014) mengakibatkan parkir toko tidak bisa mengakomodasi kendaraan bermotor. Sehingga, kendaraan bermotor parkir di badan jalan raya dan mengakibatkan macet ( Foto. Dokumentasi Penulis).

Dalam tayangan edukasi ‘Peran Bank Indonesia dalam Menjaga Stabilitas Perekonomian’, saya hanya menemukan kebijakan-kebijakan perbankan yang didominasi sektor finansial dan belum menyentuh pengaruh sosial-budaya. Kerjasama bank belum melibatkan elemen-elemen (organisasi/lembaga/ahli/ilmuwan) sosial-budaya.

Padahal, perbankan merupakan sebuah lembaga yang lahir dari interaksi sosial-budaya. Iklim sosial-budaya membentuk pandangan hidup dan mengendalikan perilaku manusia sebagai makhluk ekonomi (homo oeconomicus). Misalnya, rakyat China dan masyarakat Indonesia etnis Tionghoa cenderung sangat meyakini shio dan feng sui. Pergantian tahun China memengaruhi motif ekonomi dan sektor finansial. Tahun 2013 yang dibawah pengaruh ‘ular air’ mendorong rakyat China (etnis Tionghoa) enggan berinvestasi. Sebab, tahun ular diyakini sebagai ‘tahun sial’ atau penuh dengan ketidakpastian, sehingga tidak menguntungkan secara ekonomi.

Pada konteks Ramadhan dewasa ini, umat Islam di Indonesia cenderung sangat meyakini berbelanja untuk kebutuhan puasa dan Hari Lebaran merupakan pahala. Sebab ada sunnah untuk memakai pakaian baru di hari Idul Fitri. Agaknya perlu ditegaskan, berbelanja untuk kebutuhan puasa bulan Ramadhan dan Idul Fitri bukan pembenaran perubahan gaya hidup yang mendekati sifat boros (konsumerisme). Di Yogyakarta, fenomena konsumerisme cukup kontras. Bulan Ramadhan akhir atau menjelang Idul Fitri) di Yogyakarta, toko-toko dan mall semakin ramai, sedangkan masjid semakin sepi. Penduduk berburu barang-barang diskon dan meninggalkan ibadah utama (solat taraweh).

Dari uraian di atas, dapat kita temukan akar penyebab inflansi yang paling esensial yang merujuk pada kondisi gegar budaya (culture shock): ‘mental’ mayoritas umat Islam yang ‘tidak sehat’ atau lazim disebut ‘konsumerisme’. Kebijakan-kebijakan yang ditempuh BI tanpa melibatkan peran masyarakat luas khususnya umat Islam dalam mengembalikan kesederhanaan sebagai konsep diri yang diajarkan Muhammad SAW, tidak akan efektif untuk mempertahankan harga barang (jasa) agar tetap stabil dan mematikan potensi inflansi pada bulan Ramadhan 1436 H (tahun 2015) dan tahun-tahun selanjutnya.

Siasat Menghadapi Inflansi

Mental konsumerisme ini tidak hanya menjajah umat Islam, melainkan memengaruhi kesadaran (awareness) rakyat Indonesia secara kolektif. Tanpa adanya peran serta masyarakat Indonesia secara kolektif untuk mengubah gaya hidup dari ‘konsumerisme’ kembali ke ‘kesederhanaan’, kenaikan inflansi akan terus terjadi pada hari-hari besar agama. Umat beragama yang semestinya mendapatkan ruang untuk beribadat dengan tenang guna meningkatkan religiositas dan kesadaran Pancasila, menjadi mangsa bagi pelaku bisnis untuk meningkatkan laba.

Dalam pidato kebudayaan Dewan Kesenian Jakarta, Karlina Supelli menuturkan. Bahwa, konsumerisme adalah proses kebudayaan dalam ideologi tata dunia baru yang kita sebut globalisasi. Melalui berbagai label yang menggiurkan ideologi itu mendesakkan gaya hidup mewah, prestise, status dan prinsip-prinsip kenikmatan ke dalam benak bawah-sadar konsumen. Gaya hidup ini telah mengakar di sendi-sendi kesadaran masyarakat Indonesia. Berdasarkan hasil penyigian beberapa bulan pertama tahun 2013 ternyata indeks kepercayaan konsumen Indonesia paling tinggi (124) di antara 58 negara-negara Asia Pasifik, Amerika Utara, Amerika Latin, Eropa dan Timur Tengah. Bahkan, kepercayaan diri orang Indonesia untuk berbelanja bahkan jauh lebih tinggi daripada masyarakat negara-negara makmur seperti Switzerland (98) dan Norwegia (98).

Maka, dapat kita simpulkan bahwa: kebijakan-kebijakan BI dalam mengendalikan inflansi yang cenderung didominasi aspek finansial, cenderung tidak akan efektif. Sebab, persoalan elementer terjadinya inflansi di bulan Ramadhan adalah konsumerisme yang telah menyatu dalam konsep diri (self-concept) sebagian umat Islam dan meracuni esensi bulan Ramadhan. Ramadhan yang ideal tidak akan mengubah peningkatan pengeluaran (belanja) yang signifikan dari kemampuan kita.

Ramadhan semestinya menuntun umat Islam menghayati dan menanamkan kesederhanaan yang diajarkan Muhammad SAW, bukan gaya hidup yang bisa diasumsikan ‘boros’. Terjadinya kenaikan inflansi di bulan Ramadhan menjadi fakta yang tidak bisa kita hindari bahwa Ramadhan memicu umat Muslim untuk boros. Gaya hidup boros di bulan Ramadhan menjadi peluang (modus) bagi pelaku bisnis untuk menggemukkan pundi-pundinya. Gaya hidup boros merupakan wujud nyata dari praktik konsumerisme. Gaya hidup boros sangat ditentang Islam. Allah telah memperingatkan, “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan”(QS.Al-Israa’ : 26-27).

Pilar Trisakti yang berupa “Indonesia yang berkepribadian secara sosial-budaya” merupakan pondasi revolusi mental yang dapat kita realisasikan guna mengatasi imbas konsumerisme di bulan Ramadhan. Adapun langkah-langkah yang dapat kita implementasikan, antara lain:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun