Mohon tunggu...
Sulfiza Ariska
Sulfiza Ariska Mohon Tunggu... Penulis - Halo, saudara-saudara sedunia. Apa kabarmu? Semoga kebaikan selalu menyertai KITA.

Penulis penuh waktu. Lahir di Sumatera Barat dan berkarya di Yogya. Emerging Writer "Ubud Writers and Readers Festival" ke-11. E-mail: sulfiza.ariska@gmail.com IG: @sulfiza_indonesia Twitter: Sulfiza_A

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sinergi Ramadhan dan Revolusi Mental

26 Juli 2014   05:47 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:12 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14063029721265770847
14063029721265770847

Saya berangkat dari Bandara Minangkabau tujuan Padang-Yogyakarta 19 Mei 2014
( Foto. Dokumentasi Penulis).

Selain terjadi kenaikan harga jasa transportasi, bulan suci ini diracuni nalar ekonomi. Dalam motif ekonomi: di mana terjadi permintaan (demand) di sana terjadi penawaran. Permintaan terhadap barang (jasa) yang meningkat di bulan Ramadhan berimplikasi meningkatnya penawaran. Peningkatan penawaran berimplikasi meningkat pula penyediaan (supply) barang (jasa) dan kenaikan harga yang menimbulkan inflansi.

Menurut hemat saya, respon kebijakan BI untuk mencegah laju inflansi yang tertera dalam ‘Antisipasi Ramadhan/Idul Fitri 2014, Potensi Risiko Inflansi 2014’ belum dapat dinilai ‘efektif’ dan bersifat tentatif. Langkah-langkah pengendalian inflansi dalam respon kebijakan masih klasik: pengendalian harga dan distribusi barang/jasa yang menekankan pada sektor finansial. Bahkan, “pemberian subsidi biaya distribusi beberapa komoditi (beras, gula pasir, minyak goreng, dan terigu) untuk didistribusikan ke seluruh kabupaten/kota di Jawa Timur” saya nilai sebagai pemborosan keuangan negara.

Akar dari kenaikan inflansi tidak terbatas pada materi (barang/jasa) di bulan Ramadhan, melainkan kegamangan kita dalam sosial-budaya. Kenaikan inflansi di bulan Ramadhan tiga tahun terakhir (2012, 2013, dan 2014) yang ditandai dengan kenaikan harga barang (jasa) mengindikasikan bangsa Indonesia mengalami gegar budaya yang bersifat kronik.

Kegamangan ini bersumber pada faktor ‘permintaan’ (demand). Bila tidak ada kenaikan ‘permintaan’, tidak akan terjadi perubahan yang signifikan pada faktor ‘penyediaan’ (supply) barang (jasa) yang digawangi pelaku bisnis. Peningkatan penawaran merupakan indikasi kuat adanya gejala konsumerisme yang berseberangan jauh dengan makna bulan Ramadhan.

Tergerusnya Kesederhanaan

Kewajiban umat Muslim untuk berpuasa di bulan Ramadhan merupakan ajaran Islam dalam kesederhanaan manusia dari seluruh lapisan sosial. Hal ini menegaskan bahwa ajaran Islam hadir untuk menghapus kasta dan feodalisme yang tidak berkeadilan. Semua manusia sederajat di hadapan Allah SWT. Di mana raja (presiden) dan rakyat jelata memiliki kewajiban yang sama. Lebih jauh lagi, puasa berfungsi untuk menghayati dan menanamkan perilaku Muhammad SAW sebagai konsep diri (self-concept): kesederhanaan.

Dari tahun ke tahun, pondasi kesederhanaan ini semakin tergerus. Alih-alih berperilaku ‘kesederhanaan’, bulan Ramadhan merupakan ajang untuk merayakan gaya hidup yang ‘konsumerisme’. Ramadhan menjadi momen untuk mengkonsumsi ‘makanan enak’ dan membeli ‘pakaian baru’. Khususnya untuk kelas sosial menengah ke atas, silaturahmi rentan sekali sebagai ajang untuk ‘pamer kemajuan’. Untuk merealisasikannya, kita bersedia membelanjakan ‘dana’ yang cenderung ‘berlebihan’ untuk menyelubungi tubuh dengan materi-materi yang dinilai sebagai ‘memperkuat’ harga diri (self-esteem).

Harga ‘baju koko’ yang membanjir di bulan Ramadhan bisa mencapai harga lima ratus ribu rupiah. Jauh lebih mahal daripada gaji Fidel Castro. Pemimpin Revolusi Kuba tahun 1959 hanya menerima gaji sebesar 900 peso (Peso Kuba tidak punya nilai di pasar internasional, tetapi nilai domestiknya setara kira-kira 36$ per bulan atau sekitar Rp 350 ribu). Dalam wawancaranya dengan Ignacio Ramonet, seperti ditulis di buku “Fidel Castro: My Life”, meskipun gajinya pas-pasan, Fidel Castro mengaku tidak pernah sekarat dalam kelaparan.

Di lain pihak, Ahmadinejad, yang pernah menjadi Walikota Teheran, Ibukota Iran, resmi menjadi Presiden tahun 2005. Saat itu, ia diminta mengumumkan kekayaannya. Ternyata, kekayaannya hanya satu rumah sederhana seluas 175 meter persegi dan mobil Peugeot putih keluaran 1977. Berbagai fotonya beredar di dunia maya memperlihatkan Ahmadinejad tertidur pulas di atas karpet biasa. Ahmadinejad pun menolak kursi V.I.P di pesawat Kepresidenan. Bandingkan dengan kebiasaan public figur di Indonesia yang direpresentasikan selebriti dan para pejabat (termasuk Presiden beberapa rejim pemerintahan terakhir) yang sangat konsumtif. Semoga Presiden Republik Indonesia yang baru, Jokowi, tidak meneruskan tradisi royal presiden sebelumnya.

Kebijakan-kebijakan perbankan yang konvensional tidak akan mampu mengendalikannya. Dalam ‘Antisipasi Ramadhan/Idul Fitri 2014, Potensi Risiko Inflansi 2014’ BI hanya bisa memantau (mengendalikan) kenaikan harga sebagian kecil produk pangan yang tidak bisa merepresentasikan substansi perekonomian yang memengaruhi kenaikan inflansi secara utuh. Hal inipun belum termasuk kenaikan harga jasa transportasi dan harga sandang (pakaian). Harga jasa transportasi dapat kita lihat dari pengalaman saya ketika memesan tiket pesawat Lion tujuan Yogyakarta-Padang di bulan Mei. Sedangkan harga sandang, pemandangan sebuah toko pakaian Muslim di Jalan C. Simanjuntak Yogyakarta sebagaimana yang saya foto di bawah ini, agaknya cukup merepresentasikan betapa tergila-gilanya umat Islam dalam menjadikan pakaian sebagai bagian dari harga diri (self-esteem) yang cenderung menjauh dari kesederhanaan yang diwariskan Muhammad SAW:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun