Mohon tunggu...
Sulfiza Ariska
Sulfiza Ariska Mohon Tunggu... Penulis - Halo, saudara-saudara sedunia. Apa kabarmu? Semoga kebaikan selalu menyertai KITA.

Penulis penuh waktu. Lahir di Sumatera Barat dan berkarya di Yogya. Emerging Writer "Ubud Writers and Readers Festival" ke-11. E-mail: sulfiza.ariska@gmail.com IG: @sulfiza_indonesia Twitter: Sulfiza_A

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Surat Terbuka untuk Warga dan Polda DIY

31 Agustus 2014   13:43 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:01 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_340307" align="alignnone" width="600" caption="http://jogjareview.net/wp-content/uploads/2014/08/FS-600x275.jpg"][/caption]

Yogyakarta, 31 Agustus 2014

Dengan hormat,
Yogyakarta yang selama ini dikenal sebagai ikon budaya dan sentral pendidikan digegerkan ‘pernyataan’ kontroversial Florence Sihombing yang rentan diasumsikan sebagai penghinaan. Meskipun medium virtual yang digunakan Florence Sihombing bersifat pribadi, kita akan mudah sepakat bahwa tindakannya keliru. Kita sadari atau tidak, media virtual terjalin dalam sistem komunikasi global village, di mana tidak ada batasan geografis dalam arus informasi. Tapi, sebagai orang awam, saya menandang bahwa penahanan Polda DIY terhadap Florence Sihombing merupakan sebuah kebijakan yang berseberangan dengan spektrum keadilan.

Anda bisa jadi sangat benar dan saya keliru. Menurut saya, kasus tersebut merupakan ‘peristiwa budaya’ karena medium yang digunakan adalah ‘bahasa’ dengan instrumen ‘media virtual’. Semestinya yang harus kita gelar adalah dialog, bukan tindakan-tindakan reaktif dan represif. Bila Florence Sihombing dinilai menghina dan ‘ditahan’ Polda DIY, maka ‘semua pihak-pihak’ yang melakukan tindakan ‘bully’ (menghujat dirinya melalui media virtual) terhadap dirinya semestinya ‘ditahan’ pula. Lebih dekat lagi, pihak-pihak yang mengedit foto Florence Sihombing harus ‘ditahan’ karena sudah mengarah pada pelecehan seksual. Ini harus dilakukan pihak Polda DIY untuk menegakkan keadilan hukum, bukan kepastian hukum (rechtstaat) yang rentan dimanipulasi.

Pada sabtu malam (30 Agustus 2014) saya menyaksikan liputan Florence Sihombing yang disiarkan KOMPAS TV. Florence Sihombing menyatakan bahwa dirinya bersedia menjalin dialog. Sebelumnya, melalui kuasa hukumnya, Florence Sihombing telah menyampaikan permohonan maaf. Tidak cukup dengan itu, Florence Sihombing telah menyampaikan permohonan maaf melalui media virtual (path). Lalu di mana tindakan yang tidak kooperatif tersebut? Saya bisa memaklumi Florence Sihombing tidak menghadiri jumpa pers karena pihak yang merasa terhina cenderung masih bersikap reaktif. Jika dinilai adanya upaya menghilangkan barang bukti, semestinya ‘barang bukti’ tidak ada lagi. Buktinya, ‘barang bukti’ tersebut masih ada, terjadi penggandaan yang luar biasa, dan bisa diakses publik yang berupa ‘kata-kata’ di akun ‘path’.

Saya menyayangkan sikap LSM yang melaporkan dan tampaknya begitu bersemangat untuk menyingkirkan (menahan) Florence Sihombing dari Yogyakarta. Sebagai orang awam, saya menilai tindakan ini tidak berada pada porsinya. Tampaknya kita lupa, sebagai Kota Budaya dalam sistem sosial budaya Yogyakarta, terdapat ‘hukum adat’. Salah satu hukum adat dapat kita tempuh melalui jalan musyawarah (kekeluargaan). Jika hukum adat tidak bisa menjadi solusi, maka baru dilanjutkan ke ranah hukum positif atau lembaga-lembaga pengadilan. Nah, tugas LSM adalah memfasilitasi atau mendukung adanya dialog, bukan langsung melaporkan (tindakan yang memiliki esensi represif atau reaktif) ke polisi sebelum adanya upaya-upaya musyawarah tersebut.

Bukankah kita tersinggung karena dinyatakan ‘tidak berbudaya’? Mengapa kita tidak menyelesaikan masalah dengan cara yang ‘berbudaya’ pula? Apakah ‘bully’ di media virtual, aksi demontrasi pengusiran, dan penahanan; adalah budaya warga Yogyakarta dalam menuntaskan masalah? Jika memang langkah-langkah ini dijadikan sebagai solusi; bukankah ini ‘peneguhan’ bahwa Yogyakarta layak disebut ‘Kota Diskriminasi’ karena menjadikan kekerasan sebagai solusi.

Saya pun melihat telah terjadi pergeseran yang sangat signifikan pada posisi Florence Sihombing. Di mana Florence Sihombing telah menjadi ‘korban’. Terutama media massa yang memuat posisinya sebagai seorang mahasiswa fakultas hukum sebuah PTN ternama di Yogyakarta. Pada konteks ini, tindakan Florence Sihombing tidak memiliki relevansi yang kuat dengan lembaga institusi pendidikan. Dirinya menulis ‘path’ tidak mengatasnamakan lembaga pendidikan dan tidak terjadi di kawasan institusi pendidikan. Jadi, semestinya tidak ada sangsi akademis. Korelasi pernyataannya yang dinilai menghina dan posisi sebagai mahasiswi adalah ‘ulah’ para pem-bully yang anonim dan wartawan yang ‘kepo’.

Pada 2010, saya bangga dengan warga Yogyakarta menyikapi ‘gugatan Presiden Susilo Bambang Yudoyono terhadap keistimewaan Yogyakarta’. Tidak ada tindakan yang sampai menahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono. Sikap penentangan tersebut sangat berbudaya. Di masa ini, muncul kirab budaya dan termasuk Hip Hop Foundation yang mengenalkan lagu ‘Jogja tetap Istimewa’ gubahan Marzuki Mohammad. Sewaktu Presiden Susilo Bambang Yudoyono berkunjung ke Yogyakarta ketika menghadiri pernikahan Putri Sri Sultan, Polda DIY tidak menahan dan tidak ada pula aksi pengusiran beliau. Padahal, tindakan beliau jauh lebih meresahkan karena menggugat eksistensi (tahta) Raja Yogyakarta. Apakah karena beliau ‘seorang presiden’ hukum atau sangsi sosial menjadi tidak berlaku? Apakah karena beliau ‘seorang presiden’ Polda DIY tidak menahannya? Jika penahanan ‘20 hari’ terhadap Florence Sihombing terus berjalan, hal ini akan membuktikan bahwa hukum Indonesia memang digunakan untuk menindas rakyat.

Lebih lanjut lagi. Kecenderungan kita mempersepsikan negatif karena kita melihat masyarakat sebagai “identitas tunggal”. Ketika disebut kata ‘Yogyakarta’, kata ‘Yogyakarta’ merengkuh keseluruhan individu (kolektif) yang memiliki ‘kesadaran’ bagian dari Yogyakarta. Tidak mengherankan, banyak awak virtual yang tersinggung, bahkan bukan warga Yogyakarta. Sehingga, Anda yang merasa ‘baik’ (bermoral) tidak terima dinilai ‘bangsat’. Demikian pula dengan Anda yang ‘cerdas’ tidak terima dinilai ‘tolol’. Atau Anda yang ‘kaya’ tidak terima disebut ‘miskin’.

Tapi, bukankah ada oknum warga Yogyakarta yang ‘bangsat’? Tidak semua warga Yogyakarta yang ‘malaikat’. Wahai, Polda DIY! Bila pernyataan Florence Sihombing menyatakan ‘bangsat’ tidak benar, maka penjara akan sepi dan damai laksana komplek pemakaman umum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun