Uang telah menjadi sulit dipisahkan dari diri kita. Nyaris setiap detak jantung kita terhubung pada uang. Seperti hantu, di saat kita tidak memegang uang pun, uang dengan mudah menyelinap dalam pikiran kita. Uang mempunyai ‘kekuatan’ untuk mengatur masyarakat, menciptakan berbagai tindakan, melahirkan ketakutan, dan faktor utama pemicu korupsi. Dalam Revolusi Mental yang dicanangkan masa pemerintahan Jokowi-JK, kita perlu mengembalikan fungsi uang sebagai ‘alat tukar’ yang mempermudah transaksi barang (jasa) dan menciptakan kesejahteraan secara kolektif. Dalam mewujudkannya, pemikiran Bung Hatta sangat menarik untuk kita implementasikan. Bank Indonesia (BI) sebagai salah satu pilar utama perekonomian di Tanah Air memiliki peluang besar menjadi pelopor (motivator) Revolusi Mental di bidang stabiltas sistem keuangan ini.
Stabilitas Sistem Keuangan di Indonesia
Stabilitas sistem keuangan dapat kita definisikan: sebuah kondisi perekonomian yang kondusif. Tidak terjadi dominasi, monopoli, atau kompetisi yang tidak sehat dalam pengelolaan sumber daya kehidupan. Roda perekonomian dapat berjalan dengan harmoni, produktif, dan berkesinambungan. Kestabilan sistem keuangan dibuktikan dengan tercipta kesejahteraan dan kemakmuran seluruh lapisan masyarakat. Dan, pada praktik upaya mencapai kestabilan sistem keuangan, negara berperan aktif dalam mengatur pengelolaan sumber daya kehidupan (ekonomi) dengan asas Pancasila dan UUD 1945. Segala aktivitas perekonomian difokuskan untuk mewujudkan kemakmuran yang adil dan merata bagi seluruh rakyat Indonesia (Pasal ke-5 Pancasila). Dengan demikian, sirkulasi keuangan akan mengalir lancar dan berkeadilan. Dengan demikian, tidak terjadi gangguan perekonomian (instabilitas sistem keuangan) yang harus dibayar pemerintah dengan menggunakan dana publik.
Di masa free fight liberalisem (pasar bebas), Indonesia merupakan salah satu negara yang sangat rentan mengalami instabilitas sistem keuangan. Bila menoleh pada jejak sejarah, krisis keuangan 1998 hanyalah sebuah puncak gunung es dalam roda perekonomian Indonesia. Realitasnya, krisis keuangan menjamur di seluruh rejim pemerintahan. Dalam rejim-rejim pemerintahan sebelum Kabinet Kerja, kas negara selalu mengalami pemborosan atau waste of social resources. Hal ini dibuktikan ‘hutang negara’ yang diwariskan rejim pemerintahan tersebut dan harus dipikul rakyat sipil.
[caption id="attachment_354918" align="aligncenter" width="512" caption="Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia (Foto dari: http://baranews.co/system/application/views/main-web/foto_news/ori/539419984-jokowi-jk-3.jpg)"][/caption]
Kenaikan BBM yang signifikan di awal pemerintahan Jokowi-JK merupakan bukti bahwa rejim pemerintahan sebelumnya telah gagal dalam mengelola sistem keuangan agar tetap stabil. Hal ini sangat disayangkan. Mengingat, dalam jejeran rejim pemerintahan sebelum Kabinet Kerja pimpinan Jokowi-JK, bertaburan ilmuwan ekonomi yang mumpuni dan memiliki reputasi global. Kegagalan-kegagalan ini menegaskan bahwa kita perlu menggunakan perpektif yang berbeda dalam mengatasi instabilitas sistem keuangan. Agar Kabinet Kerja dapat mengelola potensi ekonomi (penghasil devisa negara dan pendapatan rakyat) secara maksimal. Implikasinya, kas negara agar dapat dibelanjakan untuk mengakomodasi hak asasi warga negara Indonesia dengan berkeadilan. Sehingga, rejim pemerintahan Jokowi-JK bisa mengurangi hutang negara yang diwariskan rejim sebelumnya dan Kabinet Kerja tidak menambah jumlah hutang negara pada akhir masa tugas (tahun 2019).
[caption id="attachment_354923" align="aligncenter" width="300" caption="Antri BBM (Foto dari: http://www.nasionalisme.co/wp-content/uploads/2014/11/antri-610x343.jpg )"]
Instabilitas sistem keuangan terjadi karena roda ekonomi Indonesia dijalankan dengan cara yang cenderung tidak demokratis dan sesuai dengan kearifan lokal. Kearifan lokal Indonesia tersublim dalam Pancasila dan UUD 1945. Pada ranah empirik, upaya untuk menciptakan stabilitas sistem keuangan dapat diwujudkan dengan pendirian koperasi.
Tersingkirnya ahli ekonomi Indonesia, Bung Hatta, dari rejim pemerintahan Orde Lama mengawali instabilitas sistem keuangan. Di masa ini, demokrasi yang berjalan bukan lagi Demokrasi Pancasila melainkan Demokrasi Terpimpin. Dalam Demokrasi Terpimpin, interpretasi terhadap aturan-aturan negara dipegang sepenuhnya oleh pihak pemilik otoritas tertinggi (Presiden). Dengan demikian, secara esensial Demokrasi Terpimpin bukanlah ‘Demokrasi Pancasila’ melainkan authoritarian yang lazim digunakan dalam sistem pemerintahan aristokrat (feodalisme). Tanpa adanya Demokrasi Pancasila, koperasi yang menjadi basis ketahanan ekonomi negara yang dicita-citakan Bung Hatta, tidak dapat diwujudkan.
[caption id="attachment_354919" align="aligncenter" width="500" caption="Bung Hatta (Foto dari: http://hidupmahasiswaindonesia.com/wp-content/uploads/2014/09/BAlC7fcCIAAuW_f.jpg)"]
Dalam Pidato pada Dies Natalis ke-9 Universitas Syiah Kuala Darussalam (Banda Aceh, 2 September 1970), Bung Hatta menyatakan “bahwa rakyat Inggris, Denmark, Swedia, Norwegia dan lainnya di dunia Barat sanggup mengangkat dirinya dari miskin menjadi makmur dengan jalan koperasi” [1]. Sayangnya, impian Bung Hatta ini tampaknya belum membenihkan rejim-rejim pemerintahan di Indonesia untuk menjadikan koperasi sebagai jalan memperkokoh stabilitas sistem keuangan. Jauh berbeda dengan cita-cita Bung Hatta, koperasi di masa sekarang cenderung tidak dikelola dengan manajemen organisasi yang ideal. Alih-alih membantu petani mendistribusikan hasil panen, tidak sedikit koperasi yang mendistibusikan produk industri milik pemodal besar (kapitalis).