Mohon tunggu...
Asep Suleman
Asep Suleman Mohon Tunggu... -

Badai Pasti Berlalu

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Layanan Kesehatan BPJS belum Maksimal

23 April 2015   15:54 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:45 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sebenarnya dilandasi semangat luhur. Melalui BPJS pemerintah berupaya memenuhi hak-hak warga negara atas kehidupan yang layak. Sayangnya, pelaksanaan program BPJS seperti Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) masih amburadul.  Antara lain, pelayanan yang seadanya dan penolakan beberapa rumah sakit.

Sebelum terbentuk BPJS jaminan pemerintah atas kesehatan warganya diselenggarakan oleh empat BUMN. Mereka adalah PT Jamsostek, PT Askes, PT Asabri dan PT Taspen. Keempat BUMN punya program jaminan kesehatan seperti Akses, JPK, dan Jamkesmas. Pada 2014, keempat BUMN tersebut ditranformasikan menjadi BPJS dan semua program asuransi tersebut dilebur menjadi JKN.

Yang menarik bagi penulis adalah latar belakang transformasi dari PT Jamsostek, PT Askes, PT Asabri dan PT Taspen ke BPJS. Melalui BPJS pemerintah berupaya membenahi jaminan kesehatan; dari semula soal keuntungan (BUMN) ke perlindungan. Ini merupakan semangat UUD 1945.

Penyelenggaraan program jaminan sosial oleh BUMN dianggap tidak sesuai dengan filosofi penyelenggaraan program jaminan sosial pasca amandemen UUD NRI 1945.  Pendirian BUMN Persero antara lain bertujuan untuk memberikan sumbangan pada perekonomian nasional dan pendapatan negara serta untuk mengejar keuntungan guna meningkatkan nilai perusahaan.  Tujuan pendirian BUMN jelas bertentangan dengan tujuan penyelenggaraan sistem jaminan sosial nasional (SJSN).

Jadi melalui BPJS negara mau benar-benar hadir dan bertanggung jawab untuk memenuhi hak-hak warga negara sebagaimana diamanatkan UUD 1945. Di sini ada perubahan paradigma. Jika sebelumnya jaminan kesehatan itu merupakan soal bisnis (asuransi kesehatan), setelah BPJS negara melihat kesehatan sebagai hak  warga negara yang harus dipenuhi.

Tapi apakah perubahan paradigma dan penyelenggara asuransi itu punya implikasi lebih baik pada warga negara. Apakah perlindungan kesehatan melalui BPJS dengan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)nya itu lebih baik dalam melayani kesehatan warga negara?

Sebelum menjawab soal di atas kita lihat dulu bagaimana cara kerja BJPS dalam upaya melindungi kesehatan warganya. Program Jaminan Sosial Nasional yang diselenggarakan BPJS didasarkan pada prinsip gotong royong. "Yang sehat menyumbang yang sakit, yang kaya menyumbang yang miskin."

Prinsip itu diterjemahkan dalam bentuk kepesertaan JKN. Peserta atau orang yang mendapat jaminan JKN terbagi dua: Peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan Peserta Non Penerima Bantuan Iuran (Non PBI).

Secara ringkas, peserta Non PBI adalah mereka yang bisa membayar iuran JKN. Sementara PBI adalah yang tidak mampu; fakir miskin. Jadi melalui JKN, kesehatan semua warga negara (kaya dan miskin) akan sama-sama mendapat jaminan dari negara.

Jika dilihat dari prinsip pengelolaan dan cara kerja di atas, kiranya jaminan kesehatan yang diselenggarakan BPJS sangat baik. Jika program JKN itu berjalan baik, maka cerita orang tidak mampu ke dokter tidak akan ada lagi.

Sayangnya, hingga lebih setahun penyelenggaraan JKN berbagai masalah masih banyak ditemui.Salah satunya, dan paling mencolok, penolakan oleh rumah sakit.Penolakan rumah sakit terhadap pasien BPJS tentu sangat memprihatinkan. Tapi jika ditelusuri, kesalahan tidak sepenuhnya berasal dari pihak rumah sakit (artinya rumah sakit bisa juga bersalah).

Penolakan rumah sakit, salah satunya. karena biaya yang harus dikeluarkan rumah sakit lebih besar daripada yang ditanggung oleh BPJS. Misalnya, biaya pasien yang ditanggung BPJS hanyalah 500 ribu, sementara untuk mengobati pasien tersebut rumah sakit harus mengeluarkan 1 juta.

Meski terkesan tidak manusiawi, alasan rumah sakit dapat diterima. Jika rumah sakit menanggung biaya kelebihan pengobatan, maka rumah sakit bisa merugi.  Dan jika kerugian itu terjadi terus menerus bisa-bisa rumah sakit tersebut tidak bisa beroperasi.

Sola lain, banyak rumah sakit enggan menerima pasein BPJS karena proses gati-biaya oleh pemerintah yang lama. Seperti diketahui, pihak rumah sakit harus terlebih dahulu menanggung biaya pengobatan peserta BPJS. Baru setelah itu rumah sakit mengajukan klaim ke pemerintah (BPJS).

Ini salah satu soal yang dipikirkan BPJS sebagai badan wakil negara yang bertanggung-jawab memenuhi hak warga negara untuk hidup sehat dan layak. Bukankah jaminan tersebut merupakan landasan pendirian BPJS?

Sumber:

http://www.jamsosindonesia.com/cetak/printout/387

http://www.tnp2k.go.id/id/tanya-jawab/klaster-i/program-jaminan-kesehatan-nasional-jkn/

http://lifestyle.okezone.com/read/2015/01/16/481/1093288/dpr-sesalkan-pasien-bpjs-ditelantarkan-rumah-sakit

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun