Mohon tunggu...
Sulasmi Kisman
Sulasmi Kisman Mohon Tunggu... Administrasi - Warga Ternate, Maluku Utara

http://sulasmikisman.blogspot.co.id/ email: sulasmi.kisman@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Mengunjungi Masjid Empat Muazin

30 April 2020   21:42 Diperbarui: 30 April 2020   21:59 1237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Masjid Sultan Ternate (dokpri)

Cerita dari Penjaga Masjid

Perjalanan dimulai dari Benteng Orange. Pagi itu, setelah saya menjemput Prof Sedarnawati dan suaminya di bandara Sultan Babullah kami menyempatkan makan nasi kuning di rumah makan Hikmah. Setelahnya plesiran ke benteng orange. Kemudian menuju ke arah utara mengunjungi masjid Sultan Ternate.

Sekira pukul 09.30 WIT kami tiba di masjid yang letaknya tak jauh dari Kedaton kesultanan. Prof. Sedarnawati dan suami terlihat sangat antusias pun juga saya. Sejujurnya meski hampir  21 tahun tinggal di Ternate, saya baru pertama kali masuk ke pelataran masjid ini. Sayangnya tidak ada aktivitas saat kita berkunjung ke sana. Karena sebenarnya juga belum masuk waktu salat.

Hanya ada penjaga masjid, namanya saya lupa tetapi beliau bilang tinggal di Kulaba. Kelurahan Kulaba letaknya jauh di utara dekat bandara, disana ada wisata batu Angus juga. Konon batu-batu hangus berukuran raksasa yang terhampar di sepanjang jalan menuju perkampungan merupakan hasil erupsi gunung Gamalama beberapa puluh tahun silam.

Saya yang kekenyangan karena menyantap sarapan dengan porsi besar ditambah sepiring pecal pisang memilih duduk di gerbang pintu masuk masjid. Sementara Prof Sedarnawati dan suami sibuk mengambil foto dari berbagai angle. Tak lama, beliau berdua diajak masuk melihat sisi kanan  masjid, tapi tidak sampai ke dalam hanya di pelataran saja.

Setelah  berfoto ria, bapak penjaga masjid yang kira-kira berumur 50 tahun itu angkat bicara. "Masjid ini sudah lama sekali. Ini sunyi. Tapi kalau bulan puasa rame" ungkap beliau. Kemudian beliau bercerita sekilas mengenai kondisi masjid kesultanan dan hal-hal unik lainnya. Yang menarik dan mencuri perhatian adalah tentang empat Muazin.

Masjid Sultan Ternate [Sumber; FB Fuad At, 2020]
Masjid Sultan Ternate [Sumber; FB Fuad At, 2020]
Masjid kesultanan Ternate memiliki keunikan jika dibandingkan masjid-masijd tetua lainnya di Indonesia. Jumlah Muazin atau petugas yang mengumandangkan azan ada empat orang. Adapun menurut penjelasan bahwasanya keempat Muazin ini melantunkan azan secara bersamaan. Panjang-pendek lafal azan kompak dilantunkan bak paduan suara.

Hal ini menjadi daya tarik bagi pengunjung, terutama yang datang dari jauh. Begitulah kekayaan ragam adat bersendi agama yang ada di daerah yang kerjaaan Islam nya berjaya dahulu kala. Selanjutnya dijelaskan bahwa salat dengan empat Muazin hanya dapat kita temui pada salat Jum'at, salat tarawih malam qunut dan Lailatul Qadar.

Melihat Sejarah Masjid Sultan Ternate

Masjid Sultan ini diperkirakan telah dirintis sejak masa Sultan Zainal Abidin, namun ada juga yang beranggapan bahwa pendirian Masjid Sultan baru dilakukan awal abad ke-17, yaitu sekitar tahun 1606 saat berkuasanya Sultan Saidi Barakati. Hingga sekarang, belum ditemukan angka valid sejak kapan sebetulnya Masjid Sultan Ternate didirikan. Akan tetapi, melihat kenyataan sejarah, sebelum Sultan Saidi Barakati naik tahta.

Kesultanan Ternate telah mengalami kemajuan yang sangat pesat, baik di bidang keagamaan, ekonomi, maupun angkatan perang. Perjuangan Sultan Khairun (1534-1570) yang dilanjutkan oleh penerusnya, yaitu Sultan Baabullah (1570-1583) untuk mengusir pasukan Portugis, misalnya, menjadi salah satu fase kegemilangan Kesultanan Ternate Sekitar setengah abad sebelum berkuasanya Sultan Saidi Barakati. Sehingga, perkiraan bahwa Masjid Sultan Ternate baru dibangun pada awal abad ke-17 tidak memiliki alasan yang cukup kuat.

Bangunan Samping Masjid Sultan [dokpri, 2019]
Bangunan Samping Masjid Sultan [dokpri, 2019]
Sebagaimana Kesultanan Islam lainnya di Nusantara, Masjid Sultan Ternate dibangun di dekat Kedaton Sultan Ternate, tepatnya sekitar 100 meter sebelah tenggara kedaton. Posisi masjid ini tentu saja berkaitan dengan peran penting masjid dalam kehidupan beragama di Kesultanan Ternate. Tradisi atau ritual-ritual keagamaan yang diselenggarakan kesultanan selalu berpusat di masjid ini.

Masjid Sultan Ternate dibangun dengan komposisi bahan yang terbuat dari susunan batu dengan bahan perekat dari campuran kulit kayu pohon kalumpang. Sementara arsitekturnya mengambil bentuk segi empat dengan atap berbentuk tumpang limas, di mana tiap tumpang dipenuhi dengan terali-terali berukir. Arsitektur ini tampaknya merupakan gaya arsitektur khas masjid-masjid awal di Nusantara, seperti halnya masjid-masjid pertama di tanah Jawa di mana atapnya tidak berbentuk kubah, melainkan limasan. (*)

Akhir cerita di saat Kunjungan

Sedari tadi penjelasan penjaga masjid pelan-pelan coba saya rekam dalam memori. Kali ini sambil diajak berjalan ke arah  kiri masjid. Di tengah-tengah cerita bapak orang Kulaba ini, saya menanyakan kolam yang ada diperuntukkan untuk apa? Bapak jawab, "sekarang kolam saja". "Tapi kalau dulu biasanya airnya dipakai untuk wudhu. Jernih dibandingkan sekarang, sambungnya".

Kolam di Pelataran Masjid Sultan Ternate [dokpri, 2019]
Kolam di Pelataran Masjid Sultan Ternate [dokpri, 2019]
Kembali ke Muazin. Empat Muazin ini ada sejak dulu. Saat itu jemaah dari tiga masjid adat lainnya (Sigi Heku, Jemaah Cim dan Langgar Koloncucu) semuanya salat di Sigi Lamo. Untuk mengakomodir eksistensi dari empat masjid adat lainnya maka kemudian ketika azan, dikumandangkan oleh empat Muazin. Keempat Muazin ini menggunakan jubah berwarna putih dengan peci lengkap.

Sigi Lamo ini sebutan bagi masjid kesultanan. Letaknya yang tak jauh dari Kedaton, kurang lebih 600 meter merupakan lokasi wisata yang menarik bagi wisatawan baik lokal maupun mancanegara.

Meski tidak melihat dan mendengar secara langsung kumandang azan oleh empat Muazin, saya begitu terpesona dengan cerita yang sedari tadi dijabarkan. Setiap penggalan cerita seraya mengajak masuk ke lorong waktu melihat keindahan di masa lalu.

Sigi Lamo dan keunikan empat Muazinnya menjadi pengalaman yang menarik bagi saya, terkait masjid-masjid yang pernah saya kunjungi. Terlebih ini, karena disini adalah tanah dimana saya dibesarkan, tempat tumbuh dan berkembang.

Cerita tentang ini harus diteruskan pada siapa saja, kepada generasi-generasi kita. Karena adat matori agama yaitu kearifan lokal bersendi agama, patut dijaga oleh kita.

Seperti benar-benar masuk ke waktu yang lalu sampai-sampai kaget ketika pundak di tepuk. Prof Sedarnawati dan suami hendak makan durian khas disini (Ternate).  Maka kita segera beranjak pergi. Tancap gas menuju selatan ke arah Fora Madiahi. "Disana, durian enak sekali baru murah lagi apalagi pas musim begini" demikian saya menjelaskan. Perut juga sudah berbunyi pertanda lapar lagi. Wajar saja sudah siang hari tepatnya pukul 12 lebih beberapa menit. 

Catatan:

Sumber : Foto Masjid Sultan 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun