Cerita dari Penjaga Masjid
Perjalanan dimulai dari Benteng Orange. Pagi itu, setelah saya menjemput Prof Sedarnawati dan suaminya di bandara Sultan Babullah kami menyempatkan makan nasi kuning di rumah makan Hikmah. Setelahnya plesiran ke benteng orange. Kemudian menuju ke arah utara mengunjungi masjid Sultan Ternate.
Sekira pukul 09.30 WIT kami tiba di masjid yang letaknya tak jauh dari Kedaton kesultanan. Prof. Sedarnawati dan suami terlihat sangat antusias pun juga saya. Sejujurnya meski hampir  21 tahun tinggal di Ternate, saya baru pertama kali masuk ke pelataran masjid ini. Sayangnya tidak ada aktivitas saat kita berkunjung ke sana. Karena sebenarnya juga belum masuk waktu salat.
Hanya ada penjaga masjid, namanya saya lupa tetapi beliau bilang tinggal di Kulaba. Kelurahan Kulaba letaknya jauh di utara dekat bandara, disana ada wisata batu Angus juga. Konon batu-batu hangus berukuran raksasa yang terhampar di sepanjang jalan menuju perkampungan merupakan hasil erupsi gunung Gamalama beberapa puluh tahun silam.
Saya yang kekenyangan karena menyantap sarapan dengan porsi besar ditambah sepiring pecal pisang memilih duduk di gerbang pintu masuk masjid. Sementara Prof Sedarnawati dan suami sibuk mengambil foto dari berbagai angle. Tak lama, beliau berdua diajak masuk melihat sisi kanan  masjid, tapi tidak sampai ke dalam hanya di pelataran saja.
Setelah  berfoto ria, bapak penjaga masjid yang kira-kira berumur 50 tahun itu angkat bicara. "Masjid ini sudah lama sekali. Ini sunyi. Tapi kalau bulan puasa rame" ungkap beliau. Kemudian beliau bercerita sekilas mengenai kondisi masjid kesultanan dan hal-hal unik lainnya. Yang menarik dan mencuri perhatian adalah tentang empat Muazin.
Hal ini menjadi daya tarik bagi pengunjung, terutama yang datang dari jauh. Begitulah kekayaan ragam adat bersendi agama yang ada di daerah yang kerjaaan Islam nya berjaya dahulu kala. Selanjutnya dijelaskan bahwa salat dengan empat Muazin hanya dapat kita temui pada salat Jum'at, salat tarawih malam qunut dan Lailatul Qadar.
Melihat Sejarah Masjid Sultan Ternate
Masjid Sultan ini diperkirakan telah dirintis sejak masa Sultan Zainal Abidin, namun ada juga yang beranggapan bahwa pendirian Masjid Sultan baru dilakukan awal abad ke-17, yaitu sekitar tahun 1606 saat berkuasanya Sultan Saidi Barakati. Hingga sekarang, belum ditemukan angka valid sejak kapan sebetulnya Masjid Sultan Ternate didirikan. Akan tetapi, melihat kenyataan sejarah, sebelum Sultan Saidi Barakati naik tahta.
Kesultanan Ternate telah mengalami kemajuan yang sangat pesat, baik di bidang keagamaan, ekonomi, maupun angkatan perang. Perjuangan Sultan Khairun (1534-1570) yang dilanjutkan oleh penerusnya, yaitu Sultan Baabullah (1570-1583) untuk mengusir pasukan Portugis, misalnya, menjadi salah satu fase kegemilangan Kesultanan Ternate Sekitar setengah abad sebelum berkuasanya Sultan Saidi Barakati. Sehingga, perkiraan bahwa Masjid Sultan Ternate baru dibangun pada awal abad ke-17 tidak memiliki alasan yang cukup kuat.
Masjid Sultan Ternate dibangun dengan komposisi bahan yang terbuat dari susunan batu dengan bahan perekat dari campuran kulit kayu pohon kalumpang. Sementara arsitekturnya mengambil bentuk segi empat dengan atap berbentuk tumpang limas, di mana tiap tumpang dipenuhi dengan terali-terali berukir. Arsitektur ini tampaknya merupakan gaya arsitektur khas masjid-masjid awal di Nusantara, seperti halnya masjid-masjid pertama di tanah Jawa di mana atapnya tidak berbentuk kubah, melainkan limasan. (*)
Akhir cerita di saat Kunjungan
Sedari tadi penjelasan penjaga masjid pelan-pelan coba saya rekam dalam memori. Kali ini sambil diajak berjalan ke arah  kiri masjid. Di tengah-tengah cerita bapak orang Kulaba ini, saya menanyakan kolam yang ada diperuntukkan untuk apa? Bapak jawab, "sekarang kolam saja". "Tapi kalau dulu biasanya airnya dipakai untuk wudhu. Jernih dibandingkan sekarang, sambungnya".
Sigi Lamo ini sebutan bagi masjid kesultanan. Letaknya yang tak jauh dari Kedaton, kurang lebih 600 meter merupakan lokasi wisata yang menarik bagi wisatawan baik lokal maupun mancanegara.
Meski tidak melihat dan mendengar secara langsung kumandang azan oleh empat Muazin, saya begitu terpesona dengan cerita yang sedari tadi dijabarkan. Setiap penggalan cerita seraya mengajak masuk ke lorong waktu melihat keindahan di masa lalu.
Sigi Lamo dan keunikan empat Muazinnya menjadi pengalaman yang menarik bagi saya, terkait masjid-masjid yang pernah saya kunjungi. Terlebih ini, karena disini adalah tanah dimana saya dibesarkan, tempat tumbuh dan berkembang.
Cerita tentang ini harus diteruskan pada siapa saja, kepada generasi-generasi kita. Karena adat matori agama yaitu kearifan lokal bersendi agama, patut dijaga oleh kita.
Seperti benar-benar masuk ke waktu yang lalu sampai-sampai kaget ketika pundak di tepuk. Prof Sedarnawati dan suami hendak makan durian khas disini (Ternate). Â Maka kita segera beranjak pergi. Tancap gas menuju selatan ke arah Fora Madiahi. "Disana, durian enak sekali baru murah lagi apalagi pas musim begini" demikian saya menjelaskan. Perut juga sudah berbunyi pertanda lapar lagi. Wajar saja sudah siang hari tepatnya pukul 12 lebih beberapa menit.Â
Catatan:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H