Sudah enam bulan menjadi fasilitator desa tetapi kenyamanan dan cheimistry belum didapatkan disini. Purwanti masih sering galau--susah move on. Mbak Pur masih sempat menitihkan air mata ketika malam tiba.
Sebenarnya semua berawal seusai rapat kemarin. Rapat belum diakhiri dengan salam penutup, tetiba di luar forum ada teriakan dari bu Darsih "Sudah cukup, fasilitator seperti mba Purwanti ini tidak sepatutnya dipercaya. Dia hanya mengada-ada. Mana mungkin sampai tanggal begini uang upah kerja belum juga kami terima" ocehan bu Darsih menggelegar, sontak mengagetkan semua peserta rapat yang hening sedari tadi.
Bu Darsih tersulut kobaran kebencian. Berita hoaks yang muncul dari dusun tetangga tak bisa dibendungnya. Kabar burung berbicara, katanya mbak Purwanti  memiliki  beragam jurus untuk megelabui masyarakat dusun Cempakabuleud. Dia juga diklaim sebagai pelakor. Padahal sebenarnya hanya tampilan fisiknya saja yang mudah mengundang sejuta mata. Tapi jauh di dasar batin dia adalah perempuan baik-baik.
"Lihatlah penampilannya! Setiap hari dengan rok mini. Apakah kalian semua masih bisa percaya bahwa dia adalah kiriman Tuhan dari langit untuk menjaga jagad raya dan memperkaya desa kita yang tercinta?" bu Darsih menjelaskan dengan bahasa sastranya dengan nada tinggi.
Di sudut berbeda, terlihat air muka mbak Purwanti berubah dari biasa menjadi merah. Tentunya ini bukan merah merona karena tersipu malu. Tetapi mungkin karena malu yang tak bisa dibendungnya. Pak Camat juga Kepala Dusun memandangi bu Darsih dengan tatapan kebingungan.
*
Banyak sekali permasalahan yang dialami oleh ibu-ibu di dusun ini, mulai dari harga bapok (bahan pokok) yang kian meninggi hingga bermuara pada hutang di koperasi dengan pilihan setoran lima sampai 10 ribu rupiah perhari. Belum lagi jika musim paceklik tiba: mengarit, mengangon sapi hingga berjualan roti harus dilakukan sampai berdarah-darah.
Ada beberapa tawaran solutif yang disampaikan oleh mbak Purwanti di balai dusun. Tetapi semuanya seperti isapan jempol, tak ada satupun ibu-ibu yang menanggapi dengan baik. Mereka sudah tersulut emosi. Kabar burung tentang penyelewengan dana dusun menyebabkan kepercayaan terhadap Purwanti hilang begitu saja. Sebenarnya Purwanti mengetahui siapa biang kerok dibalik kejadian yang menimpanya ini. Tapi karena tak ingin terlihat tidak dewasa dan sok benar, Purwanti hanya bisa diam dan memaklumi.Â
*
Saban hari dia mengharapkan ada perubahan dari ibu-ibu dusun Cempakabulet. Tetapi harap berpeluh harap bagaikan pucuk merindukan bulan. Kesemuanya hanya menjadi angan-angan.
Sementara, ibu-ibu dusun sebelah sampai saat ini masih beranggapan bahwa Purwanti adalah perempuan yang agai--kasihan sekali! Baginya hidup adalah soal memahami. Mungkin ibu-ibu itu belum mengenal siapa sebenarnya Purwanti. Atau mungkin, berlaku petuah ini 'karena tak kenal maka kita tak sayang'?