Peumulia jamee (memuliakan tamu) dalam kehidupan masyarakat Aceh selalu dipraktekkan sejak zaman dahulu sampai sekarang. Tamu sangat dihormati dan diperlakukan dengan baik. Setiap kedatangan tamu akan disambut dengan sopan, santun dan keramahan. Dengan senang hati dan ikhlas akan dijamu. Jangankan nasi, bibit padipun boleh dimakan. Tamu adalah raja, memuliakan tamu merupakan kewajiban.
Peumuliajamee memiliki dimensi hubungan kemanusian dan keagamaan,hukôm ngon adat lagee zat ngon sifeut, syih han jeut meupisah dua(hukum dengan adat seperti zat dengan sifat, tidak dapat dipisahkan). Di Aceh, agama dan adat merupakan dua aspek penting dalam penataan sosial: “Adat bak Po Teumeureuhom, hukom bak Syiah Kuala” (Sufi &Wibowo, 2004: 88). Menurut Abdullah (2007: 2-3) adat tata kelakuan masyarakat Aceh identik dengan nilai-nilai Islam. Peumulia jamee merupakan tatakrama hubungan sosial yang dilandasi nilai agama yaitu tidaklah beriman seseorang kamu sebelum mencintai saudaramu sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri, termasuk ajaran bahwa umat harus bersatu, tidak bercerai berai.
Satu pepatah mengatakan: Mulia wareh ranub lampuan. Mulia rakan mameh suara. Adat tajunjong hukom peutimang. Kanun ngon reusam wajeb tajaga (memuliakan keluarga kita beri sirih dalam talam, memuliakan kawan dengan suara yang manis. Adat kita junjung hukum kita pertimbangkan. Peraturan dan kebiasaan wajib kita jaga).
Superorganic
Cultural-determinism versi Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski menyatakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki masyarakat tersebut. Kebudayaan merupakan sesuatu yang turun-temurun dari satu generasi ke generasi atau disebut superorganic.
Peumulia jamee merupakan cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama masyarakat dan diwariskan turun-temurun. Ada menyebut, peumulia jamee telah diwariskan secara genetis, sejak anak dilahirkan. Dalam keluarga, masyarakat dan ruang kehidupan, praktek peumulia jamee ditanamkan untuk membentukpola perilaku setiap anak oleh orang tua, keluarga, guru dan masyarakat. Budaya peumulia jamee tidak dipelajari tekstual, tapi sebagai praktek kehidupan yang dikembangkan dan dirasakan setiap orang di Aceh, sehingga telah menjadi pola hidup kolektif, bahkan dianggap sebagai ciri dan ukuran martabat seseorang.
Penanaman nilai-nilai moral dan budaya kepada anak seperti sopan santun (an yua’ddabahu ta’diban hasanan)ketika menerima tamu menjadi bagian yang senantiasa dilakukan. Orang tua atau orang dewasa mempraktekkan perilaku tersebut. Anak-anak diberitahukan cara-cara melakukan kebaikan (moral behaviour) kepada setiap tamu dan menasehati anak jika perilakunya dianggap kurang baik.
Penyalahgunaan kekuasaan
Praktek keliru dalam konteks peumulia jamee, harus diakui terjadi secara sembarang dan berulang yang dilakukan oleh guru ketika team PKPA yang dianggap jemee(tamu) datang ke sekolah untuk melakukan dukungan psikososial kepada anak-anak pasca gempa bumi di Kabupaten Pidie Jaya, Aceh. Guru kelas yang menganggap diri berkuasa mencubit pinggang atau pundak anak-anak yang dianggap tidak tertib sambil berkata: bek sampe malee ikeue jamee(jangan buat malu kepada tamu).
Ekspresi kekerasan fisik dan verbal untuk menertibkan secara mudah dan cepat merupakan tindakan agresi dan penyerangan terhadap kebebasan atau martabat anak, karena anak yang dicubit menangis menahan rasa sakit dan kemudian duduk terpisah dari teman-temannya. Kejadian tersebut diperhatikan anak didik lain dan beberapa orang berusaha menenangkan anak didik yang dicubit, disamping ada anak didik lain melakukan bullying, dengan mengatakan si anak yang dicubit memang batat; bandel, nakal dan sulit diatur.
Setelah kegiatan, terjadi bully-victims, anak yang merasa dibully menjadi pelaku bullying, membalas dengan menendang dan lari. Perilaku saling membully di kalangan anak tersebut, yang dimulai dari praktek guru melakukan kekerasan terhadap anak di hadapan temannya, menyebabkan suasana emosi anak di lingkungan pendidikan kurang kondusif. Anak memiliki persepsi negatif terhadap guru. Mereka menyebut guru tukang cubit. Hal kurang baik dalam pola relasi dan kohesi pendidik-anak didik.
Praktek penyalahgunaan kewenangan dan budaya, bukan di satu sekolah dan pada level sekolah dasar saja. Karakteristik anak beragam dalam satu kelas atau sekolah sering diredam dengan tindakan kekerasan fisik dan psikis. Anak-anak tersebut berasal dari daerah pantai, dari kampung atau dari keluarga kurang terdidik dijadikan justifikasi sahih melegalkan kekerasan sebagai cara ampuh untuk menghormati orang lain. Kekerasan terhadap anak dianggap wajar untuk mendisiplinkan anak. Terjadi pengalpaan bahwa guru adalah pihak yang bertanggung jawab terhadap perlindungan, keselamatan, kelangsungan hidup dan memaksimalkan tumbuh kembang anak.
Kesewenangan tanpa memperhatikan keabsahan penggunaan nilai hakiki budaya peumulia jamee.Dalam rumusan kekerasan terhadap anak hal ini dikategorikan pedopath, seseorang yang merasa perlu melakukan kekerasan terhadap anak. W.W. Charters: 197, menyebut sebagai corporal punishment,tindak kekerasan yang dilakukan orang tertentu pada orang lain atas nama pendisiplinan anak dengan menggunakan hukuman fisik, meskipun sebenarnya hukuman/kekerasan fisik tersebut tidak diperlukan.
Pencubitan dalam rangka menertibkan secara cepat dan mudah merupakan tindakan kekerasan. Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menyatakan: anak dalam lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik dan/atau pihak lain.
Dalam konteks kekerasan terhadap anak, motif suatu perilaku tidak selalu bersumber dari penerapan keliru suatu budaya, ada kalanya hal tersebut copy-paste pola asuh. Tidak semua guru atau orang dewasa melakukan tindakan tersebut. Bisa saja, perilaku tersebut perwujudan punishment yang pernah dialaminya. Sigmund Freud mengatakan, anak akan memperlakukan orang lain di masa dewasa seperti ketika ia diperlakukan orang lain pada masa anak-anak.
Sekolah sebagai tempat nyaman
Anak-anak di sekolah, tidak selalu menjadi korban kekerasan, mereka ada juga menjadi pelaku. Riset di lima negara Asia (Vietnam, Kamboja, Nepal, Pakistan dan Indonesia) yang dilakukan Plan International dan International Center for Research on Women (ICRW) menemukan 84 persen anak di Indonesia mengalami kekerasan di sekolah. Jumlah lebih tinggi dari tren di kawasan Asia, 70 persen. Survei KPAI (2015) di 33 provinsi di Indonesia terhadap responden 800 keluarga menemukan 52 persen ibu sangat khawatir anaknya menjadi korban kekerasan di sekolah.
Sekolah dalam beberapa analisis memang belum sepenuhnya menjadi tempat menyenangkan bagi anak. Manajemen sekolah, mindset pendidik, kultur sekolah, kultur masyarakat dan lingkungan sekitar termasuk beban pendidik saling pengaruh-mempengaruhi. Bangunan sistem pendidikan belum utuh melindungi anak. Kekerasan sering dibiarkan, dibiasakan atau dipahami sebagai bagian proses pembelajaran. Sikap permisif terhadap bullying sesama anak, menjadi petaka dalam proses belajar-mengajar di sekolah.
Peserta didik adalah anak yang sedang tumbuh kembang. Mereka bukan miniatur orang dewasa. Secara fisik dan mental anak belum matang. Sekolah yang nyaman akan membantu anak tumbuh-kembang sesuai budaya dan kebudayaan, dimana anak dan guru akan dipacu memperoleh prestasi terbaik. Kohesi sosial yang positif di sekolah akan membantu keterampilan inteligensi emosional anak dan guru yang produktif.
Peraturan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2015 Nomor 82 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan sesungguhnya menjadi dasar penanggulangan kekerasan di sekolah melibatkan pendidik dan tenaga kependidikan, siswa, orang tua/wali serta kepala sekolah.
Permendikbud ini menyebut standar sekolah aman seperti bebas dari intimidasi dan tindak kekerasan (bullying) baik berasal dari dalam lingkungan maupun luar lingkungan sekolah, bebas dari pelecehan seksual baik dari dalam maupun dari luar sekolah, bebas dari pemerasan baik yang berasal dari dalam lingkungan sekolah maupun luar sekolah, bebas dari rasa khawatir kehilangan sesuatu benda atau barang yang dibawa ke sekolah, aman dari praktik vandalisme dan kekerasan visual, memiliki aturan sekolah yang disepakati secara bersama-sama dan dapat ditegakkan dengan baik, memiliki petugas keamanan yang dapat melaksanakan tugas dengan baik serta memiliki hubungan yang baik dengan kepolisian, TNI, tokoh masyarakat, dan tokoh agama, lembaga lain yang mendukung program keamanan sekolah. Penulis bekerja di Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H