Mohon tunggu...
SULAIMAN ZUHDI MANIK
SULAIMAN ZUHDI MANIK Mohon Tunggu... -

saat di bekerja di PKPA Aceh

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Budaya dan Kekerasan terhadap Anak di Sekolah

18 April 2017   10:14 Diperbarui: 18 April 2017   10:33 653
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Praktek penyalahgunaan kewenangan dan budaya, bukan di satu sekolah dan pada level sekolah dasar saja. Karakteristik anak beragam dalam satu kelas atau sekolah sering diredam dengan tindakan kekerasan fisik dan psikis. Anak-anak tersebut berasal dari daerah pantai, dari kampung atau dari keluarga kurang terdidik dijadikan justifikasi sahih melegalkan kekerasan sebagai cara ampuh untuk menghormati orang lain. Kekerasan terhadap anak dianggap wajar untuk mendisiplinkan anak. Terjadi pengalpaan bahwa guru adalah pihak yang bertanggung jawab terhadap perlindungan, keselamatan, kelangsungan hidup dan memaksimalkan tumbuh kembang anak.

Kesewenangan tanpa memperhatikan keabsahan penggunaan nilai hakiki budaya peumulia jamee.Dalam rumusan kekerasan terhadap anak hal ini dikategorikan pedopath, seseorang yang merasa perlu melakukan kekerasan terhadap anak. W.W. Charters: 197, menyebut sebagai corporal punishment,tindak kekerasan yang dilakukan orang tertentu pada orang lain atas nama pendisiplinan anak dengan menggunakan hukuman fisik, meskipun sebenarnya hukuman/kekerasan fisik tersebut tidak diperlukan.

Pencubitan dalam rangka menertibkan secara cepat dan mudah merupakan tindakan kekerasan. Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menyatakan: anak dalam lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik dan/atau pihak lain.

Dalam konteks kekerasan terhadap anak, motif suatu perilaku tidak selalu bersumber dari penerapan keliru suatu budaya, ada kalanya hal tersebut copy-paste pola asuh. Tidak semua guru atau orang dewasa melakukan tindakan tersebut. Bisa saja, perilaku tersebut perwujudan punishment yang pernah dialaminya. Sigmund Freud mengatakan, anak akan memperlakukan orang lain di masa dewasa seperti ketika ia diperlakukan orang lain pada masa anak-anak.

Sekolah sebagai tempat nyaman

Anak-anak di sekolah, tidak selalu menjadi korban kekerasan, mereka ada juga menjadi pelaku. Riset di lima negara Asia (Vietnam, Kamboja, Nepal, Pakistan dan Indonesia) yang dilakukan Plan International dan International Center for Research on Women (ICRW) menemukan 84 persen anak di Indonesia mengalami kekerasan di sekolah. Jumlah lebih tinggi dari tren di kawasan Asia, 70 persen. Survei KPAI (2015) di 33 provinsi di Indonesia terhadap responden 800 keluarga menemukan 52 persen ibu sangat khawatir anaknya menjadi korban kekerasan di sekolah.

Sekolah dalam beberapa analisis memang belum sepenuhnya menjadi tempat menyenangkan bagi anak. Manajemen sekolah, mindset pendidik, kultur sekolah, kultur masyarakat dan lingkungan sekitar termasuk beban pendidik saling pengaruh-mempengaruhi. Bangunan sistem pendidikan belum utuh melindungi anak. Kekerasan sering dibiarkan, dibiasakan atau dipahami sebagai bagian proses pembelajaran. Sikap permisif terhadap bullying sesama anak, menjadi petaka dalam proses belajar-mengajar di sekolah.

Peserta didik adalah anak yang sedang tumbuh kembang. Mereka bukan miniatur orang dewasa. Secara fisik dan mental anak belum matang. Sekolah yang nyaman akan membantu anak tumbuh-kembang sesuai budaya dan kebudayaan, dimana anak dan guru akan dipacu memperoleh prestasi terbaik. Kohesi sosial yang positif di sekolah akan membantu keterampilan inteligensi emosional anak dan guru yang produktif.

Peraturan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2015 Nomor 82 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan sesungguhnya menjadi dasar penanggulangan kekerasan di sekolah melibatkan pendidik dan tenaga kependidikan, siswa, orang tua/wali serta kepala sekolah.

Permendikbud ini menyebut standar sekolah aman seperti bebas dari intimidasi dan tindak kekerasan (bullying) baik berasal dari dalam lingkungan maupun luar lingkungan sekolah, bebas dari pelecehan seksual baik dari dalam maupun dari luar sekolah, bebas dari pemerasan baik yang berasal dari dalam lingkungan sekolah maupun luar sekolah, bebas dari rasa khawatir kehilangan sesuatu benda atau barang yang dibawa ke sekolah, aman dari praktik vandalisme dan kekerasan visual, memiliki aturan sekolah yang disepakati secara bersama-sama dan dapat ditegakkan dengan baik, memiliki petugas keamanan yang dapat melaksanakan tugas dengan baik serta memiliki hubungan yang baik dengan kepolisian, TNI, tokoh masyarakat, dan tokoh agama, lembaga lain yang mendukung program keamanan sekolah. Penulis bekerja di Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun