Secara umum kondisi lembaga pendidikan Islam Indonesia masih ditandai oleh berbagai kelemahan. Pertama, kelemahan sumber daya manusia (SDM), manajemen maupun dana. Sementara itu, kita mengetahui bahwa jika suatu lembaga pendidikan ingin tetap eksis secara fungsional di tengah-tengah arus kehidupan yang makin kompetitif seperti sekarang ini, dan ini harus didukung oleh tiga hal, yaitu: SDM, manajemen dan dana. Kedua, kita menyadari bahwa hingga saat ini lembaga lembaga pendidikan tinggi Islam masih belum mampu mengupayakan secara optimal mewujudkan Islam sesuai dengan cita-cita Idealnya. Sementara masyarakat masih memposisikan lembaga pendidikan Islam sebagai pilar utama yang menyangga kelangsungan Islam dalam mewujudkan cita-citanya sebagai Rahmatan lil Alamin. Lembaga pendidikan tinggi Islam masih belum mampu mentransformasikan nilai-nilai ajaran Islam secara kontekstual dengan berbagai masalah yang dihadapi masyarakat. Ketiga, kita masih lihat lembaga pendidikan tinggi Islam belum mampu mewujudkan Islam secara transformatif. Kita masih melihat bahwa masyarakat Islam dalam mengamalkan ajaran agamanya telah berhenti pada dataran simbol dan formalistik.
Kalau kita menengok sejarah, bahwa aspirasi umat Islam dalam pengembangan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) pada mulanya didorong oleh beberapa tujuan, yaitu: (1)Untuk melaksanakan pengkajian dan pengembangan ilmu-ilmu agama Islam pada tingkat yang lebih tinggi secara lebih sistematis dan terarah; (2)Untuk melaksanakan pengembangkan dan peningkatan dakwah Islam; dan (3)Untuk melakukan reproduksi dan kaderisasi ulama dan fungsionaris keagamaan, baik pada kalangan birokrasi negara maupun sektor swasta, serta lembaga-lembaga sosial, dakwah, pendidikan dan sebagainya.
Pada perkembangan selanjutnya terdapat kecendrungan-kecendrungan baru untuk merespon berbagai tuntutan dan tantangan yang berkembang di masyarakat. Beberapa kecendrungan tersebut antara lain menyangkut: Pertama, tuntutan akan studi keislaman yang mengarah pada pendekatan non-mazhabi, sehingga menghasilkan pemudaran sektarianisme. Adanya perkuliahan perbandingan mazhab, masa’il fiqhiyah, pemikiran dalam Islam (Ilmu kalam, Filsafat Islam, Tasawuf) dan lain-lain, merupakan upaya pengembangan wawasan terhadap khazanah pemikiran ulama-ulama terdahulu dan kontemporer untuk merespon berbagai problem, tuntutan dan tantangan perkembangan zaman, dan sekaligus sebagai upaya melakukan pemudaran sektarianisme tersebut. Kecendrungan semacam ini sangat relevan dalam rangka mengantisipasi pluralisme serta pandangan bangsa Indonesia yang berBhinneka Tunggal Ika. Kedua, menyangkut pergeseran dari studi keislaman yang bersifat normatif kearah yang lebih historis, sosiologis dan empiris. Upaya ini diwujudkan antara lain dalam bentuk perpaduan antara empirik dan sumber wahyu yang saling mengontrol, dalam arti wahyu mengontrol untuk menghasilkan teori yang kridibel dan bermanfaat, dan dalam waktu yang sama hasil empirik akan mengontrol proses memahami wahyu. Ketiga, menyangkut orientasi keilmuan yang lebih luas.
Memang pendidikan tinggi di Indonesia dilihat dari berbagai indikator menempati rangking yang paling bawah dalam lingkungan pendidikan tinggi di Asia. Memasuki milenium ketiga yang penuh dengan persaingan, keadaan pendidikan tinggi yang demikian tentunya perlu dengan segera diubah dan ditingkatkan mutunya. Paradigma baru perlu dirumuskan diikuti dengan penjabaran visi misi serta program-program peningkatan mutunya. Salah satu upaya meningkatkan mutu pendidikan tinggi kita memasuki milenium ketiga adalah merajut kerja sama atau networking, baik dengan pendidikan di dalam maupun di luar negeri, juga dengan berbagai lembaga penelitian terbaik.
Berbicara mengenai pendidikan tinggi di era globalisasi terdapat dua dimensi yang berkaitan erat yaitu: lokalisme dan globalisme. Tidak mungkin kita membangun lembaga pendidikan tinggi memasuki kehidupan global tanpa memperbaiki mutu dan kelembagaan dari pendidikan dalam negeri kita. Oleh sebab itu, dalam membicarakan misi pendidikan tinggi tidak terlepas dari analisis mengenai dimensi lokal dan kemudian sejalan dengan itu mengembangkan dimensi globalnya.
Menurut HAR Tilaar, dimensi lokal visi pendidikan tinggi kita mempunyai unsur-unsur sebagai berikut: akuntabilitas, relevansi, kualitas, otonomi kelembagaan, dan jaringan kerja sama. Pada dimensi global visi tersebut mempunyai tiga aspek yaitu: kompetitif, kualitas, dan jaringan kerja sama.
Untuk mewujudkan visi misi perguruan tinggi bukan tanpa hambatan, dalam mewujudkan akuntabilitas, hambatan yang dihadapi adalah masih renadahnya partisipasi masyarakat. Selain itu orientasi ke pemerintah pusat akibat system yang sentralistik masih sangat dominan. Langkah-langkah untuk mengantisipasi kesulitan tersebut antara lain ialah mengembangkan konsepLand-grand college sesuai dengan pelaksanaan desentralisasi mamajemen pendidikan nasional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H