Mohon tunggu...
Suksma Ratri
Suksma Ratri Mohon Tunggu... Lainnya - Senior Communication Officer and Gender Focal Point - Solidaridad Network Indonesia

Solidaridad Indonesia adalah sebuah lembaga nirlaba yang memfokuskan diri untuk pemberdayaan petani mandiri dan adaptasi terhadap perubahan iklim di Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Wahau dan Kongbeng di Kutai Timur: Potensi yang Terabaikan

31 Mei 2024   14:41 Diperbarui: 31 Mei 2024   15:11 1075
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: Solidaridad Indonesia

Muara Wahau dan Kongbeng adalah dua kecamatan yang berada di Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Kabupaten Kutai Timur, atau Kutim, merupakan kabupaten hasil pemekaran wilayah berdasarkan UU No. 47 Tahun 1999, tentang Pemekaran Wilayah Provinsi dan Kabupaten. Diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 28 Oktober 1999, Kutim memiliki luas wilayah kurang lebih 35.747,50 km. Kabupaten ini berkontribusi terhadap 17% luas provinsi Kalimantan Timur dengan jumlah penduduk 425,613 jiwa (tercatat pada semester 1 tahun 2022). Terdapat 18 kecamatan, 139 desa definitif, 11 desa persiapan, dan 2 kelurahan. Saat ini Kutim memang masih mengandalkan pemasukan dari Anggaran Pembelanjaan Daerah (APBD) dari sektor pertambangan serta komoditas miyak bumi dan gas alam (migas). Kendati demikian, sumber daya alam tak terbarukan ini bukan terus menjadi andalan Kutim dalam pelaksanaan pembangunan dan pemasukan daerah. Salah satu unggulan lain yang dimiliki Kutim adalah perkebunan kelapa sawit yang tersebar di 18 kecamatan. Pada tahun 2002 lalu sentra perkebunan kelapa sawit hanya terdapat di dua kecamatan saja, yaitu Muara Wahau dan Kongbeng, namun kini sudah tersebar hingga hampir ke seluruh kecamatan. Bahkan karena kemajuan itu, Wahau dipisah menjadi dua kecamatan, yaitu Muara Wahau dan Kongbeng, yang kemudian dipecah lagi hingga melahirkan kecamatan Telen.

Kegiatan untuk mendorong penerapan praktik budidaya berkelanjutan dalam skema sertifikasi keberlanjutan pertama kali dilakukan pada tahun 2019 melalui sebuah proyek yang dilaksanakan di wilayah Wahau dan Kongbeng. Saat ini sudah ada 9 koperasi yang mengantongi sertifikat keberlanjutan. Di dalamnya ada 1,885 petani, dan 238 diantaranya adalah petani perempuan. Bahkan beberapa dari petani perempuan yang terlibat dalam proses sertifikasi tersebut saat ini menduduki jabatan sebagai ketua sistem kendali internal (SKI) di koperasinya, seperti Sulastri Rahmawati di Koperasi Jasa Mutiara Kongbeng, Im Fatul Hasanah di Koperasi Makarti Desa Sidomulyo, dan ada pula  Maria Ferawati Sihotang yang menjabat sebagai bendahara di Koperasi Sumber Rejeki di Desa Karya Bakti, kecamatan Wahau. 

Setelah hampir sebagian besar petani dan koperasi petani kelapa sawit yang ada di Wahau dan Kongbeng memiliki sertifikat keberlanjutan, pertanyaan yang muncul berikutnya adalah, "Apakah sertifikasi merupakan tujuan akhir bagi sebuah kelompok petani atau koperasi kelapa sawit?" dan "Apakah petani sawit yang telah memiliki SERTIFIKAT KEBERLANJUTAN hidupnya sudah SEJAHTERA?". Pertanyaan ini muncul di benak para petani dan pengurus koperasi yang ada. Sementara lembaga pendamping, yang dulu setiap saat hadir di sela-sela kesibukan mereka, saat ini sudah tidak ada lagi. Yang tersisa dalah para mantan staff mereka yang telah dilatih untuk mendampingi mereka menuju sertifikasi melalui kegiatan Training of Trainer (ToT). Ada 16 orang yang mengorganisir diri menjadi lembaga lokal bernama SEBUMI dan PESAT. Para petani dan pengurus koperasi masih terus berjuang dalam penerapan prinsip-prinsip praktik keberlanjutan mereka. Dan setiap tahunnya mereka harus melewati dan harus lolos uji pengawasan yang dilakukan oleh tim penyedia sertifikat keberlanjutan beserta para auditornya. Proses yang memakan biaya cukup besar ini harus didanai secara mandiri oleh para petani dan pengurus koperasi. Saat ini, para petani dan pengurus koperasi juga harus secara mendiri mendanai kegiatan mereka dalam penerapan praktik keberlanjutan di kebun masing-masing. Selain itu mereka juga harus mendanai sendiri proses pendampingan dari 16 orang staff dari SEBUMI dan PESAT, guna memastikan praktik-praktik pengelolaan yang dilaksanakan di koperasi dan kebun anggota sudah sesuai dengan standar keberlanjutan.

Proses pemberdayaan masyarakat merupakan proses yang panjang. Untuk mengubah perilaku menjadi kebiasaan yang mengacu pada prinsip keberlanjutan di kalangan petani sawit dan tidak hanya berhenti pada pencapaian sertifikasi, bukanlah hal mudah. Petani dan pengurus koperasi masih harus berjuang untuk memastikan keberadaan mereka memberikan manfaat bagi rumah tangga petani dan lingkungan masyarakat di mana koperasi tersebut berada.

Sebagai bagian dari masyarakat, seharusnya upaya koperasi bisa berkontribusi terhadap pembangunan dan kesejahteraan bagi petani dan keluarganya serta komunitas yang ada di sekitarnya, sekaligus bersinergi dengan pemerintah desa. Hal ini penting agar semua yang bertujuan sebagai kontribusi bagi pembangunan ekonomi dan lingkungan di rumah tangga tani dan masyarakat desa pada umumnya dapat selaras, dan saling mendukung satu sama lain. Tidak hanya dalam hal pelaksanaan program, namun juga untuk pendanaan, termasuk dengan pihak lain di luar pemerintah desa, seperti pihak swasta dan organisasi masyarakat sipil lainnya yang memiliki ketertarikan secara program untuk hal tersebut. Sejauh ini, koperasi dan pengurusnya menyatakan bahwa mereka tidak mendapatkan dukungan lagi dari pihak luar. Berbagai peluang dan potensi kolaborasi yang ada juga tidak terbaca oleh mereka.

Sebagai gambaran, di tahun 2024 Kutim sebagai kabupaten berhasil mendapatkan alokasi dana desa sebesar Rp. 30,953,496,600 yang bisa digunakan oleh 139 desa di 18 kecamatan yang ada. Merujuk pada Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 13 tahun 2020, tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2021, penggunaan dana desa diprioritaskan untuk program kegiatan percepatan pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) atau tujuan pembangunan desa sebagaimana telah diamanatkan dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Salah satunya adalah untuk pemulihan ekonomi nasional sesuai kewenangan desa. Selain itu juga, melalui Dana Bagi Hasil (DBH) bagi daerah penghasil kelapa sawit. Pada awal November 2023 lalu, dari 351 daerah penghasil sawit di Indonesia, sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 91/2023 tentang Pengelolaan DBH Perkebunan Sawit, diketahui Kutim menerima DBH sebesar Rp. 37.4 miliar. Belum lagi dari potensi penerimaan dana karbon untuk pemerintah provinsi Kalimantan Timur, yang di tahun 2023 lalu menerima transfer dana karbon senilai Rp. 69.15 miliar sebagai pembayaran uang muka dari pembagian senilai USD 20.9 juta (setara dengan Rp. 320 miliar) dari total USD 110 juta. Hal itu semua merupakan potensi pendanaan bagi kegiatan yang direncanakan di desa.

Kepala Desa Karya Bakti, yang ditemui oleh tim Solidaridad pada saat kunjungan ke Kutim, menyatakan kepada warga yang hadir dalam pertemuan, "Tahun ini, pemerintah desa mengalokasikan dana sebesar Rp. 180 juta dari dana desa untuk pengembangan ekonomi produktif bagi warga yang berminat untuk mengembangkan usaha produktif di luar komoditas sawit. Meskipun sawit memang menjadi tumpuan ekonomi masyarakat di desa ini, namun masyarakat harus merencanakan usaha lain untuk persiapan masa tanam ulang yang akan terjadi kurang lebih dalam dua tahun mendatang," Saat ini pihak desa sudah menyalurkan dana desa untuk kegiatan pengembangan ayam petelur bagi 200 warga yang kurang mampu. 

Kehadiran pihak ketiga di Wahau and Kongbeng sendiri disambut baik oleh para pengurus koperasi yang ada di Wahau dan Kongbeng, serta oleh pemerintah desa setempat. Mengingat potensi kelompok sasaran proyek ini, yaitu kaum perempuan, dan juga kelompok pemuda yang jumlahnya cukup banyak, dan rata-rata memiliki tingkat pendidikan setara sarjana. Saat ini saja, sebagai contoh, di Desa Karya Bakti, ada 150 orang sarjana lulusan universitas negeri dan swasta di Samarinda dan Yogyakarta yang belum memiliki kegiatan produktif. Jikapun mereka melamar kerja di perusahaan minyak kelapa sawit dan pertambangan yang ada, mereka hanya bisa masuk dengan menggunakan ijazah SMA. Hal ini disebabkan karena otoritas penerimaan karyawan setingkat S1, hanya ada di kantor pusat mereka di Jakarta, bukan di daerah. Selain itu, Ketua Koperasi Jasa Mutiara Kongbeng yang ditemui saat kunjungan lapangan, Ade Akbar, yang juga merupakan pengurus FORTASBI, memiliki mimpi melihat seluruh petani yang ada di kecamatan Muara Wahau, Kongbeng, dan Telen, berhasil mengantongi sertifikat keberlanjutan. Hal ini, menurutnya, akan sangat ideal sebab bisa menjadi percontohan sertifikasi lintas kecamatan di Kabupaten Kutai Timur. 

***

Narasumber tulisan: Edy Dwi Hartono - Head of Programme Development, Solidaridad Indonesia

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun