Beberapa tahun belakangan ini kita sering mendengar istilah diversity dan inclusivity. Keberagaman dan inklusivitas. Kedua hal ini seolah menjadi tren pembicaraan baru di berbagai kalangan, dari mulai tingkat lembaga swadaya masyarakat, hingga ke korporasi dan tingkat kementerian. Tak hanya di Indonesia, tapi juga di banyak negara lainnya. Tapi tak perlu lah kita bicara tentang negara lain, mari bicara tentang negara sendiri saja.Â
Diversity, atau yang bisa diterjemahkan secara bebas menjadi keberagaman, adalah prinsip kebhinnekaan yang melekat pada semboyan negara kita: bhinneka tunggal ika. Secara definisi, diversity atau keberagaman adalah keadaan di mana terdapat banyak elemen variatif. Hal ini bisa diterapkan pada berbagai aspek dalam kehidupan, mulai dari lingkungan tempat tinggal hingga sebuah negara.Â
Indonesia termasuk negara yang memiliki banyak keberagaman berupa suku, budaya, bahasa daerah, tradisi, pakaian adat, hingga makanan khas. dalam konteks pekerjaan atau tim, keberagaman bisa diartikan sebagai keadaan di mana sebuah tim beranggotakan orang-orang yang berasal dari suku, dan daerah asal yang berbeda; memiliki keahlian dan pengalaman masing-masing yang variatif; terdiri dari orang-orang dengan rentang umur yang cukup lebar serta berasal dari berbagai latar belakang pendidikan.Â
Ketika kita membentuk sebuah tim yang menjunjung nilai-nilai keberagaman, sejatinya keberagaman itu tidak lah hanya dipandang dari hal-hal kasat mata seperti suku, agama, dan ras; tetapi juga mempertimbangkan keunikan individu seperti karakter, kemampuan kognitif, soft skills, introvert atau ekstrovert, serta bahkan pandangan dan opini politik masing-masing.
Inclusivity, atau yang diterjemahkan sebagai inklusivitas, adalah praktik atau kebijakan yang tidak bersifat eksklusif, atau bisa dianggap mengikutsertakan dan melibatkan orang-orang yang notabene biasanya terpinggirkan atau termarjinalkan. Orang-orang yang masuk ke kelompok populasi kunci seperti LGBTQ, buruh migran, eks warga binaan, pekerja seks, pecandu, kelompok difabel, orang yang hidup dengan HIV dan AIDS, dan orang-orang berkebutuhan khusus adalah yang biasa dianggap sebagai kelompok yang termarjinalkan.Â
Jadi, ketika kita bicara tentang keinginan untuk mengadopsi prinsip inklusivitas di lingkungan kerja, kita juga patut menelaah sejauh mana tempat kerja kita mampu membuka diri terhadap prinsip inklusivitas tersebut. Jika proses penerimaan pekerja baru masih memberikan batasan terhadap salah satu dari anggota kelompok termarjinalkan, atau jika ketika keahlian dan pengalaman seseorang dikalahkan oleh kondisinya yang terkait dengan kelompok termarjinal, maka itu tandanya prinsip inklusivitas belum dipahami dan diterapkan secara penuh.Â
Kita sebaiknya tidak menilai suatu tim atau lembaga dari seberapa beragamnya, tapi lebih kepada seberapa inklusif anggota tim tersebut atau atau orang-orang di lembaga tersebut. Keberagaman biasanya lebih banyak tentang hal-hal yang bersifat kasat mata, tetapi inklusivitas adalah cara pandang dan cara berpikir. Sebuah tim yang memiliki anggota beragam, namun tak satupun memiliki cara berpikir inklusif, akan sangat berpotensi menelurkan lingkungan kerja yang tidak sehat, diskriminatif terhadap kelompok tertentu, bahkan mungkin juga akan menyebabkan terjadinya power harassments, dan stigmatisasi.
Lalu, bisakah kita memilih antara keberagaman dan inklusivitas?
Jika harus memilih, mana yang harus didahulukan, keberagaman atau inklusivitas, tidak mudah untuk mendapatkan jawabannya. Idealnya, keduanya harus berjalan seiring dan selaras, karena keberagaman tanpa cara berpikir inklusif tidak akan membuahkan hasil yang optimal. Namun jika dipikir secara logika, maka pembentukan cara berpikir yang inklusif memiliki keutamaan.Â
Inklusivitas akan otomatis membuahkan keberagaman, sementara jika sebaliknya, belum tentu. Namun kita juga tidak boleh terjebak dalam keberagaman semu tanpa inklusivitas yang hakiki, di mana kita merekrut orang-orang dari kelompok termarjinalkan hanya semata-mata untuk kebutuhan administratif lembaga atau untuk memenuhi kuota tanpa mempertimbangkan aspek-aspek keahlian dan pengalaman mereka, sehingga hal tersebut menjadi kontraproduktif. Hal seperti ini akan menjerumuskan tim atau lembaga kita ke dalam tokenisme.Â