Mohon tunggu...
Suksma Ratri
Suksma Ratri Mohon Tunggu... Lainnya - Senior Communication Officer and Gender Focal Point - Solidaridad Network Indonesia

Solidaridad Indonesia adalah sebuah lembaga nirlaba yang memfokuskan diri untuk pemberdayaan petani mandiri dan adaptasi terhadap perubahan iklim di Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tantangan Pendampingan bagi Korban KDRT

17 Oktober 2022   11:31 Diperbarui: 17 Oktober 2022   13:48 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: dokumentasi koleksi Solidaridad Indonesia

Belum lama ini jagad maya dihebohkan dengan kasus KDRT yang menimpa salah seorang pesohor muda. Dukungan bertubi-tubi pun dilontarkan kepada si perempuan, sementara hujatan dilemparkan kepada si lelaki. 

Bentuk dukungan pun ada berbagai bentuk, dari mulai pemecatan si lelaki dari sebuah stasiun TV, hingga boikot pekerjaan. Si perempuan melayangkan laporan kepada pihak berwajib dan si lelaki pun menerima panggilan untuk pemeriksaan tindak kejahatan penganiayaan.

Setelah proses tarik-ulur yang lumayan alot, tiba-tiba si perempuan dikabarkan mencabut laporannya, bahkan kemudian disinyalir juga dipecat dari sebuah program TV yang selama ini telah membesarkan namanya. 

Alasannya adalah, dengan dicabutnya laporan tersebut, si perempuan dianggap bisa melanggengkan tindakan KDRT dan ditakutkan akan membuat para pelaku KDRT semakin bebas sementara para korban semakin ragu ketika hendak melakukan pelaporan. 

Dukungan terhadap si perempuan pun berbalik arah menjadi pernyataan-pernyataan yang beraroma kekecewaan. Si perempuan yang sebelumnya dianggap pemberani, kini dihujat dan disebut "labil". Publik yang tadinya mengelu-elukan si perempuan atas keberanian tindakannya, kini kesal dan kecewa serta menganggapnya lemah hati terhadap si lelaki yang berwajah ganteng tersebut. 

Kasus ini adalah contoh klasik bagaimana rumitnya proses pendampingan untuk korban KDRT. Banyak tantangan yang harus dihadapi oleh para pendamping kasus KDRT ketika korban berubah pikiran. 

Mungkin memang sedikit mengecewakan, namun kita tidak pernah benar-benar tahu, bagaimana proses negosiasi yang dijalani oleh pihak perempuan hingga akhirnya membuahkan keputusan untuk rujuk dan mencabut laporannya. Bisa saja mereka rujuk dengan sederet syarat dan ketentuan yang diberikan oleh pihak perempuan, yang kemudian akan menempatkan si perempuan pada posisi tawar yang jauh lebih baik. 

Atau bisa juga memang si perempuan menganggap kejadian pelaporan dan segala sesuatu yang mengikutinya telah dirasa cukup memberikan efek kejut bagi si lelaki. Teori lainnya adalah untuk menyelamatkan unit bisnis mereka, di mana keduanya telah menerima banyak perjanjian endorsement yang cukup mengikat dan jika dilanggar akan merugikan mereka.

Di banyak kasus, korban KDRT sulit melepaskan diri dari cengkeraman pelaku karena tidak memiliki kemandirian finansial sehingga merasa takut hidup sendiri, dan memilih tetap berada dalam lingkaran kekerasan demi jaminan ekonomi. 

Namun, pada kasus pesohor ini aspek tersebut tidak berlaku mengingat di perempuan memiliki penghasilan yang lebih dari cukup untuk menghidupi dirinya sendiri. Justru si lelaki lah yang disinyalir lebih takut kehilangan sandaran ekonominya. Kesulitan para korban tanpa kemandirian finansial untuk melepaskan diri dari pelaku KDRT merupakan tantangan klasik yang dihadapi para pendamping. 

Di mana keinginan untuk bebas sudah ada, namun korban tidak memiliki keberanian. Untuk kasus si pesohor ini, tantangan yang dihadapi pendamping sudah tentu berbeda karena aspek ekonomi bagi si perempuan tidak ada. 

Tidak hanya pada kasus si pesohor ini, namun realitanya, cukup banyak perempuan yang terlihat berdaya dan sudah memiliki segalanya namun masih tetap terjebak dalam lingkaran kekerasan. Jika kendala dan tantangannya bukan pada aspek ekonomi, bisa jadi aspek psikologis lah yang memegang kendali. 

Ketakutan akan menyandang status janda yang masih sering dianggap sebagai aib, harus membesarkan anak sendirian, dilanda kesepian, hidup sendiri, dan tidak punya sosok yang bisa dianggap sebagai pelindung adalah faktor-faktor yang paling sering ditemukan menjadi penyebab bertahannya seorang perempuan berdaya dalam lingkaran kekerasan.

Kasus KDRT bukan semata-mata perkara dominasi, namun juga adalah ketidakseimbangan relasi kuasa dalam sebuah hubungan. Tidak selalu korbannya adalah orang yang tidak memiliki sumberdaya. 

Mereka yang memiliki sumberdaya sekalipun bisa menjadi korban kekerasan jika relasi kuasa yang ada tidak seimbang. Banyak orang berpendapat bahwa jika perempuan sudah memiliki segalanya, maka dia akan menjadi dominan dan berpotensi menginjak-injak pasangannya. Tapi dari banyak kasus yang terjadi, seorang perempuan kaya bisa menjadi korban kekerasan dan dianggap tidak lebih dari sekedar mesin ATM bagi pasangannya. 

Aset, harta, dan sumberdaya yang dimiliki tidak serta merta membuatnya memiliki posisi tawar yang lebih tinggi, karena secara psikologis dirinya telah masuk dalam "penjara dan dominasi" pasangannya. Akhirnya, meskipun sebenarnya bisa mandiri secara finansial dan ekonomi, korban tetap terpenjara dalam lingkaran kekerasan karena tidak sanggup lepas dari pasangannya (pelaku). 

Pendamping korban KDRT seperti ini perlu kerja ekstra untuk membangun kepercayaan diri si korban. Mendorong kemandirian finansial dan ekonomi seorang korban KDRT jauh lebih sederhana ketimbang mendorong munculnya kepercayaan diri seseorang. Korban KDRT yang selama bertahun-tahun mengalami kekerasan psikologis dan verbal biasanya memiliki tantangan besar untuk dapat mempercayai kemampuan yang dimilikinya. 

Ini seperti pisau bermata dua yang selalu menimbulkan pertanyaan, mana dahulu? Tumbuh rasa percaya diri dulu, atau lepas dari pelaku dulu yang harus dilakukan? Jika masih ada dalam bayang-bayang pelaku, rasa percaya diri akan sulit tumbuh. Tapi sebelum punya rasa percaya diri, tidak akan berani melepaskan diri dari cengkeraman pelaku. 

Kasus cabut laporan ini memang agak menggemaskan banyak pihak, terutama para pendamping korban kekerasan. Tak jarang para petugas pendamping merasa sia-sia kerjanya ketika korban akhirnya memilih untuk mencabut laporannya dan kembali ke pelukan si pelaku. Potensi terulangnya insiden kekerasan memang dirasa cukup signifikan, meskipun dalam beberapa kasus terbukti bisa berhenti dan terjadi perubahan drastis.

Beberapa hal yang bisa dilakukan oleh pendamping yang menghadapi situasi seperti ini adalah mengusahakan terbentuknya pemahaman tentang kesetaraan dan keadilan gender bagi korban, serta terus membantu membangun rasa percaya diri korban agar di kemudian hari memiliki posisi tawar yang baik, mampu berdiri sendiri dan bisa membela hak-haknya ketika dilanggar lagi. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun