PADA tahun 2007, seorang guru menulis saya, berbagi wawasan seputar konvergensi media cetak dan online bersama kawan-kawan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) UIN Bandung. Ikhtiar ini (konvergensi) penting dilakukan perusahaan media cetak seperti Koran, tabloid, dan majalah untuk menjaring pembaca agar tak lari tunggang langgang. Saat itu, saya masih blank dan tidak begitu percaya bahwa pembaca dapat beralih ke media baru. Kini, ketika empat tahun lamanya bergelut di dunia online: saya memercayainya. Bahwa media konvensional mesti melakukan konvergensi cetak-online agar para pembaca memiliki kedekatan emosional.
Utamanya, agar media mainstream tidak “gulung tikar”. Apalagi dengan gerakan massif pengguna internet di negeri kita, yang terus menanjak. Menjadi keniscayaan setiap media mainstream untuk menghimpun blogger yang terserak di mayantara ke dalam sebuah komunitas. Dengan demikian, akan terjalin kerja sama interaktif antara blogger dengan media mainstream. Mereka menjadi embrio penguatan media mainstream sebagai salah satu media pengontrol masyarakat. Seorang wartawan senior HU Kompas, penggagas www.kompasiana.com, menyebut media ini sebagai “blog keroyokan”.
Merancang media dengan layanan open source, tidak semahal dikira. Berbeda dengan biaya pembuatan media konvensional seperti buletin, koran, tabloid atau majalah. Diperlukan modal yang tidak main-main. Ketika modal produksi tidak berbanding dengan keuntungan: siap-siaplah gulung tikar. Hal itu tidak terjadi dengan media online dikarenakan modal produksi yang relatif lebih murah. Apalagi, tren kejurnalistikan kini tengah mengarah pada “setiap netizen ialah pengabar”. Tinggal ada kemauan (political will) dari pihak media, mereka dapat dilatih secara berkala hingga memiliki pengetahuan ihwal kewartawanan. Selain membangun jaringan emosional, konten media online pun lantas tidak akan mati atau padam, karena dapat dibagikan siapa saja.
Ada beberapa manfaat yang bisa diperoleh ketika membangun situs “blog keroyokan”. Pertama, selain memperkaya informasi, media ini dapat juga dijadikan ajang pembelajaran warga yang menyenangi dunia tulis-menulis. Ketiadaan sensor yang ketat juga akan menciptakan iklim demokrasi di lingkungan masyarakat. Kebiasaan berdiskusi via kolom komentar, misalnya, akan mengasah pengunjung dan pengguna untuk terus menambah wawasan seputar yang dia baca atau dipublikasikan.
Kedua, membangun jejaring seperti filosofi Laba-Laba; semakin lebar jejaringnya, semakin besar makan siangnya. Media mainstream yang memilik media keroyokan tentu saja akan memeroleh filosofi ini. Maka, Laba-laba berarti laba (untung) di sini; Laba (untung) di sana. Apa yang dipesankan guru menulis saya ini memang betul, tanpa berjejaring; media mainstream tak akan mampu mendulang keuntungan dari “kue basah” mayantara. Berjejaring laiknya “silaturahim digital”yang mutlak dilakukan siapa saja saat ini. Baik oleh netizen, media mainstream, maupun komunitas blogger.
Tahun 2007 jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 20 juta jiwa. Bahkan, tahun 2008-2011 disinyalir semakin bertambah dengan pertumbuhan sekira 40 persen. Negara Indonesia dengan penduduk yang mencapai 250 juta jiwa lebih ternyata menyimpan potensi bagi pasar teknologi informasi dan komunikasi dunia. Lokalitas di era internet dapat dinikmati siapa saja. Masyarakat lokal yang memanfaatkan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi juga, dapat berbagi tanpa terganjal ruang dan waktu.
Media hyper-local ialah salah satu contohnya. Di mana media-media online berusaha merancang media dengan basis konten dari daerah-daerah lokal. Misalnya, detik.com, menghadirkan berita-berita seputar Bandung di sub laman bandung.detik.com, kemudian menyediakan fasilitas blog gratis blogdetik.com. Hal itu dilakukan untuk menarik sisi emosi personal, lokalitas, dan minat netizen sehingga loyalitas terbangun. Maka, seiring dengan pertumbuhan media keroyokan berbasis minat, hoby, daerah, dan konten lokal; ini merupakan tantangan bagi media mainstream untuk mencoba merancang media yang dapat memfasilitasi mereka.
Apalagi dari kalangan generasi muda yang notabene melek internet. Mereka dengan kemampuan mengelola blog bisa menciptakan media bagi sendiri. Tanpa campur tangan editor seperti di surat kabar, mereka bebas mempublikasikan ide dan informasi secara cepat. “In a world economy now widely envisioned as a system of networked communicative, informational, and economic exchange, it should be sobering that massive poverty, limited social accessibility and mobility, and class domination remain stark and unrelenting features of all societies, including the leading “information societies.” (Gerald Sussman, dalam The Globalization of Corporate Media Hegemony, 2003: 33).
Sederhananya, menurut Gerald Sussman, dalam ekonomi global kini meniscayakan suatu sistem pertukaran komunikatif, informasi, dan jaringan ekonomi. Dan, hal itu terletak pada eksistensi masyarakat informasi. Sehingga tak heran apabila setiap perusahaan di era 2.0 ini berpacu memburu berbagai media hyperlocal, karena lebih jelas pangsa pasarnya. Ke depan, semakin spesifik dan melokal sebuah new media, maka akan semakin mendatangkan jejaring ekonomi yang luas. Sebab, data dan latarbelakang pengunjung serta pengguna dapat dipetakan secara lebih jelas. Hahahahaha
My Network
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H