Hari ini saya kesal pada diri sendiri. Hingga semenit tadi berlalu, aku masih kesal. Kok, kesal di hati ini tidak mau hilang ya? Soal apa yang saya kesali? Ooo..itu juga aku tak tahu. Entah ada orang yang benci padaku tapi di hadapan ia belagak sok akrab. Ah, paling juga aku kesal karena saya tak mungkin jadi Menteri atau Presiden.
Coba engkau bayangkan jika aku jadi Presiden, si emak di kampung berteriak lantang, "Oyyyy turun dari sana. Emak nggak mau kau jadi presiden. Emak mau engkau jadi anak berbakti. Emak mau engkau menjadi guru sekolah dasar seperti bapakmu."
"Nggak mau mak. Aku masih mau jadi manusia bebas. Bebas dari rutinitas kerja yang mengerangkeng. Coba emak pikirkan kalau aku jadi Guru di pegunungan. Sebulan sekali baru bisa posting tulisan di dunia maya. Apalagi kalau ditakdirkan jadi Presiden. hihihi...nggak bisa tidur nyenyak."
Wah, tak terasa beberapa paragraf aku tulis. Tahukah engkau apa yang aku rasakan sekarang?
Wuih..., rasa kesal itu pergi entah kemana. Pening di kepala karena kebanyakan ide dan gagasan reda seketika. Menulis memang obat kesal yang ampuh. Tapi, karena aku punya etika blogger yang mengikat; siapa dan apa yang aku kesali tidak akan diposting di kompasiana. Terlalu banyak soal yang kukesali hari ini. Termasuk kesal karena aku tak bisa membaginya di social blog network ini.
Aku baru sadar jasad dan jiwa dicipta untuk merangkai aktus. Itulah kenapa Hanah Arendt pernah nulis, manusia mulia adalah individu yang dapat mengaktifkan jiwa dan jasad. Ia berteriak, "Vita Activa", hidup adalah rangkaian aktus yang menghendaki vitalitas mewujudkan semangat, karya, dan cipta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H