Mohon tunggu...
Sukrisno Santoso
Sukrisno Santoso Mohon Tunggu... wiraswasta -

Guru Bahasa Indonesia di SMPIT Mutiara Insan Sukoharjo. Menyukai buku, kopi, dan puisi. Menulis "Catatan Kecil" di www.sukrisnosantoso.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Cara Mengikis Plagiarisme Sejak Dini

22 Juni 2017   13:17 Diperbarui: 22 Juni 2017   21:26 659
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: getty image

Pada saat pelaksanaan Ujian Sekolah untuk siswa kelas IX, para siswa kelas VII dan VIII diliburkan. Hampir semua guru disibukkan oleh kegiatan US (menjadi panitia ataupun pengawas) serta ruang kelas yang tersedia digunakan sebagai ruang tes.

Berbarengan dengan libur US tersebut, kalender menunjukkan dua angka berwarna merah: hari libur nasional. Ditambah libur hari Minggu, lengkap sudah libur yang cukup panjang bagi para siswa kelas VII dan VIII.

Untuk mengisi liburan tersebut, para siswa diharapkan juga belajar di rumah. Untuk merangsang para siswa agar mau belajar, sekolah mengeluarkan kebijakan agar setiap guru memberikan pekerjaan rumah. Jika dalam satu hari siswa mengerjakan pekerjaan rumah satu mata pelajaran --sekitar 30 menit---dalam masa liburan, pekerjaan rumah semua mata pelajaran akan selesai.

Dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia, saya memberikan lembar soal yang berisi tiga pertanyaan esai untuk siswa kelas VII dan satu pertanyaan esai untuk siswa kelas VIII. Tidak banyak memang. Tapi, soal-soal tersebut berkategori HOTS (Higher Order Thinking Skills). HOTS adalah kemampuan berpikir yang tidak sekadar mengingat (recall), menyatakan kembali (restate), atau merujuk tanpa melakukan pengolahan (recite). Dimensi soal HOTS adalah menganalisis, mengevaluasi, atau mencipta.

Salah satu pertanyaan pada lembar soal kelas VII menghendaki siswa untuk membuat puisi dengan batasan tertentu. Soal membuat puisi biasanya juga keluar saat Ulangan Akhir Semester. Oleh karena itu, tugas ini sekaligus berfungsi sebagai latihan.

Sumber gambar: kmention.com
Sumber gambar: kmention.com
Selesai masa liburan dan para siswa mengumpulkan tugas mereka, saya mengecek satu per satu lembar soal yang sudah mereka kerjakan. Pada soal membuat puisi, saya sempat berkerut. Saya mengenal sebagian kata-kata pada puisi hasil pekerjaan siswa. Saya pun mencarinya melalui internet dengan kata-kata kunci tersebut. Dan hasilnya, puisi siswa tersebut sebagian besar (atau malah seluruhnya mengambil dari internet).

Saya pun mengecek satu pe satu puisi yang dituliskan oleh siswa dengan cara mengetikkan beberapa kata-kata pada puisi tersebut dan melakukan searching pada internet. Hasilnya membuat saya mengelus dada. Lima puluh persen lebih karya puisi siswa diambil dari internet. 

Puisi-puisi yang tidak saya temukan di internet, berarti kemungkinan besar memang karya siswa sendiri. Namun untuk memastikan, saya bertanya langsung kepada mereka --satu per satu saat mengambil hasil pekerjaan mereka di depan sehingga siswa yang lain tidak mendengar pertanyaan saya ataupun jawaban siswa tersebut. 

"Apakah ini puisi buatan kamu sendiri?" tanya saya.

"Iya. Pak!" jawab sebagian mereka. Nilai yang sangat baik pun saya goreskan di lembar jawaban mereka.

"Mengambil dari buku, Pak!" jawab sebagian yang lain. Saya menghargai sangat kejujuran mereka.

"Iya, tidak apa-apa. Tapi, karena mengambil dari buku, nilainya tidak bisa maksimal, ya," kata saya. "Kalau buatan sendiri, nilainya pasti bagus."

Dengan demikian, setidaknya tiga perempat siswa mengambil dari internet atau buku untuk tugas menulis puisi mereka.

Saya cukup maklum dengan tindakan mereka. Mereka belumlah besar/dewasa. Mereka baru kelas VII SMP, belum lama lulus dari SD. Perkara mengambil karya orang lain ini belum mereka pikirkan masak-masak konsekuensinya. Mungkin pula mereka berpikir saya tidak akan mengecek karya puisi mereka. Padahal, saya membaca dan mengecek satu per satu puisi-puisi mereka, kemudian saya tulisakan komentar terhadapnya. Jika bagus, akan saya beri komentar yang bagus. Jika terbukti puisi tersebut hasil karya orang lain, akan saya tulis nasihat agar tidak mengambil dari internet atau buku. 

Dengan kejadian itu, saya pun berkesempatan untuk menjelaskan betapa berharganya orisinalitas dan betapa buruknya tindakan mengambil karya orang lain dan mengakuinya sebagai karya sendiri.

Dalam memberi nilai terhadap karya puisi tersebut, saya jelaskan bahwa karya sendiri --apapun hasilnya---adalah lebih baik daripada mengambil karya orang lain. Saya tekankan bahwa, puisi buatan sendiri akan mendapat nilai yang lebih tinggi daripada puisi yang sebagian atau seluruhnya mengambil dari karya orang lain meskipun puisi hasil karya sendiri terlihat biasa-biasa saja, bahkan terkesan tidak bagus. Saya tak ragu-ragu memberi nilai yang sangat baik untuk puisi-puisi hasil karya sendiri.

"Bahasa kasarnya begini, anak-anak," kata saya, "sejelek apapun puisi kalian, kalau itu buatan sendiri, pasti akan Pak Guru beri nilai yang bagus. Sebaliknya, sebagus apapun puisi itu, jika hasil mengambil dari internet atau buku, nilainya tidak akan bagus."

Tak lupa, saya sampaikan bahwa perbuatan mengambil karya orang lain itu tidak baik. Membuat karya sendiri merupakan latihan agar keterampilan menulis bisa berkembang.

"Nanti ketika UAS kalau ada soal membuat puisi biar kalian bisa mengerjakannya." Saya memberikan penekanan mengapa membuat karya sendiri itu penting. 

"Saat kalian kuliah nanti, kemampuan menulis juga sangat diperlukan. Untuk menyusu skripsi kalian tidak bisa mengambil tulisan orang lain. Pasti akan ketahuan. Ada teknologi yang bisa mengecek berapa persen tulisan kita sama dengan tulisan orang lain. Dan jika ada yang ketahuan skripsinya sebagian besar copy-paste dari milik orang lain, sanksi paling ringan disuruh mengulangi menyusun skripsi dari awal."

Saya benar-benar menekankan agar para siswa mau menulis atau mengerjakan soal sendiri dan bangga dengan hasilnya. Akhirnya, pada kesempatan yang lain, saya memberi tugas kembali untuk menulis puisi sebagai pengganti puisi-puisi hasil copy-paste sebelumnya. 

Pada Ulangan Akhir Semester, soal membuat puisi memang keluar. Saya percaya bahwa para siswa akan bisa menulisnya dengan baik. Saat mengoreksi hasil UAS, saya puas dengan jawaban siswa. Pada soal menulis puisi, hampir semuanya menuliskannya dengan baik. Tak segan saya memberi nilai maksimal pada puisi-puisi tersebut. 

*Oleh: Sukrisno Santoso. Guru Bahasa Indonesia di SMPIT Mutiara Insan Sukoharjo. Menyukai buku, kopi, dan puisi. Menulis "Catatan Kecil" di www.sukrisnosantoso.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun