Kabar baik bagi pecinta film Hollywood di tanah air. Kerinduan mereka pada aksi Harry Potter atau Sam Witwicky akan terobati pekan depan. Ini berkat keberhasilan PT Omega Film lepas dari jerat blokir Ditjen Bea Cukai. Omega kini kembali mendapat izin impor atas film-film Hollywood. Selesai kah masalahnya? Tampaknya belum.
Kisruh film impor ini sudah membuka banyak borok di dunia bisnis bioskop tanah air. Berawal dari dugaan penyelewengan pajak oleh importir film lalu permasalahan pun kembali menyentil tuduhan klasik dugaan monopoli oleh Grup 21 Cineplex. Tulisan Ilham Bintang di laman online Cek dan Ricek secara vulgar menelanjangi praktik kotor Grup 21. Bos tabloid gosip itu menulis bahwa skandal film impor sepenuhnya merupakan dampak dari kegiatan monopoli Grup 21.
Benarkah tuduhan ini? Baiknya mari kita bicarakan kisah perjalanan bioskop di negara kita.
Konon bioskop pertama di Indonesia sudah berdiri di Indonesia sejak tahun 1900 di daerah Tanah Abang, Jakarta. Bioskop Indonesia sempat berjaya hingga awal dekade 90-an. Era ini kemudian harus runtuh akibat transformasi media elektronik dengan kehadiran televisi secara masif. Pamor bioskop semakin tenggelam seiring menjamurnya televisi serta kehadiran TV-TV swasta baru.
Kebangkitan perfilman tanah air baru terasa saat dua film nasional, Petualangan Sherina dan Ada Apa dengan Cinta berhasil menarik perhatian penonton. Fenomena ini segera direspon oleh Sudwikatmono (alm.), seorang pengusaha nasional yang juga merupakan adik sepupu mantan presiden Suharto. Bersama Benny Suherman, ia menukangi pendirian Grup 21. Namun belakangan Sudwikatmono menarik diri dari grup ini. Grup 21 kini dikuasai oleh Benny Suherman dan Harris Lesmana.
Untuk menggerakkan roda bisnisnya, Grup 21 mendirikan PT Nusantara Sejahtera Raya yang kini telah merajai jaringan bioskop nasional. PT Nusantara Sejahtera Raya inilah yang menguasai bioskop-bioskop bertitel Bioskop 21, Cinema XXI, dan The Premiere.
Selain itu, untuk menguasai rantai distribusi film, Grup 21 membentuk sedikitnya tiga perusahaan yaitu Camila Internusa yang dipimpin Harris Lesmana sendiri, PT Satrya Perkasa Esthetika Film, dan PT Amero Mitra Film. Dua nama yang pertama menguasai jalur distribusi film-film Motion Picture Association of America/MPAA sedangkan Amero khusus mengimpor film non MPAA.
MPAA merupakan asosiasi yang terdiri dari enam produsen utama film-film Hollywood yaitu Warner Bros, Paramount, 20th Century Fox, Sony, Universal, dan Disney. Jadi jika ada film-film Amerika yang sekarang masih diputar di bioskop 21 berarti film tersebut bukan keluaran keenam studio ini.
Dari fakta di atas, bukan rahasia lagi jika Grup 21 disebutkan sudah menguasai jaringan bioskop nasional. Sampai sekarang, Grup 21 sudah memiliki 130 bioskop dari total 178 bioskop yang ada di Indonesia. Pesaingnya praktis hanya Blitzmegaplex yang hingga kini “hanya” memiliki 7 bioskop di seluruh Indonesia.
Melihat jumlah bioskop serta penguasaaan jaringan distribusinya, secara kasat mata terlihat adanya monopoli yang dilakukan Grup 21. Pada 2009, Blitzmegaplex sebenarnya pernah menggugat Grup 21 terkait monopoli distribusi film nasional ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Namun gugatan itu dinyatakan tidak terbukti. Aneh.
Mengapa aneh? Indonesia sudah memiliki perangkat Undang-undang larangan monopoli. Pasal 17 Undang-undang No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menegaskan bahwa satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha dilarang menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Kalau dicermati, satu ayat ini saja tampaknya sudah cukup untuk menjelaskan kesalahan Grup 21.
Bagaimana kisruh ini akhirnya menyeruak ke permukaan? Ini bermula dari hasil pemeriksaan Ditjen Bea Cukai yang menemukan ketidakpatuhan pembayaran bea oleh importir milik Grup 21.
Perusahaan distribusi film milik Grup 21 sebenarnya sudah dikenai blokir oleh Ditjen Bea dan Cukai. Dua yang disebut sebelumnya, Camila Internusa dan PT Satrya Perkasa Esthetika Film, dari hasil pemeriksaan, diketahui tidak melaporkan pajak/bea sesuai aturan. Disebutkan bea dan pajak yang terutang adalah 30 Miliar. Dengan denda 1000% maka kedua perusahaan itu harus membayar 330 miliar ke kas negara. Izin impor mereka diblokir, mereka tidak diperkenankan mengimpor film sebelum melunasi kewajibannya.
Merespon blokir itu, Grup 21 membentuk perusahaan baru, PT Omega Film, pada Januari 2011. Perusahaan ini dikesankan berasal dari luar G,rup 21 agar dapat mengimpor film tanpa dibebani kewajiban membayar tunggakan bea masuk perusahaan milik Grup 21 sebelumnya. Kemenkeu mengetahui praktik ini dan turut memblokir Omega. Anehnya berkat dukungan Jero Wacik, blokir Omega kemudian dicabut. Omega kembali diizinkan mengimpor film MPAA. So here we are, Harry Potter and Optimus Prime comin soon…..
Praktik culas Grup 21 ini diulas kembali oleh Ilham Bintang. Salah satu tulisannya bisa dibaca di link berikut ini, http://cekricek.co.id/masih-tentang-skandal-film-impor-bagian-2/ .
Tapi perlu kita catat, banyak aroma persaingan bisnis dalam kasus ini. Tulisan Ilham Bintang menurut saya bagus dan logis dalam beberapa hal. Hanya saja perlu juga kita ketahui apa motif ia menulis masalah ini. Sekedar informasi, ada satu cerita yang sangat menarik dari majalah Tempo. Jadi, saat muncul wacana penghentian distribusi film Hollywood ke Indonesia, konon Raam Punjabi melalui PT Parkit Film miliknya mulai menyiapkan rencana menjadi pemasok alternatif film-film Amerika. Ia diam-diam menggandeng Ilham Bintang. Konsep kerja samanya, Raam yang mencari film dan Ilham Bintang yang akan melakukan pemasarannya. Rencana ini bukan isapan jempol karena hingga akhir Februari kemarin saja katanya sudah didapatkan 17 judul film dari studio independen di Amerika yang siap dipasarkan.
Nah lhoooo….
Sumber: wikipedia, kontan, kompas, detik, tempo, dan tentu saja google, hehehe…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H