'No man is an island' itulah pepatah populer untuk mengungkapkan ketergantunganku terhadap orang lain. Â Namun kenyataan menunjukkan masih sering aku tidak mau atau melupakan makna ketergantungan itu.
Pernahkah aku bersyukur atas peran siapa eksistensiku. Pastilah orangtuaku, pertama tentu ibu dan selanjutnya tentu bidan atau dokter atau siapa pun yang membantu persalinan ibu.
Keberadaanku hingga saat ini atas peran orang lain. Apa jadinya jika aku tidak dilahirkan? Apa jadinya jika telah lahir namun kemudian aku dibunuh, entah oleh siapa pun? Aku dan kehidupanku saat ini tetap ada karena aku masih dikehendaki. Aku masih diterima oleh yang lain.
Jika aku tidak dibantu orang lain dalam latihan berbicara mungkin tidak akan bisa banyak bicara. Kosa kataku terbatas atau malahan hanya bisa menirukan suara binatang atau suara-suara lain di sekelilingku.
Apa jadinya seandainya sejak bayi aku dibiarkan di hutan belantara, terlantar dan akhirnya ditemukan oleh seekor monyet besar seperti 'ibu' Tarzan dalam cerita fiksi? Aku hanya akan memiliki peradaban layaknya seekor monyet.
Seandainya tidak ada para penemu kemajuan, apa jadinya kehidupanku? Aku hanya  makan bahan-bahan mentah, karena tidak ada yang menemukan menu makanan. Aku hanya berpakaian daun-daunan karena tak ada kain tercipta. Aku hanya tinggal di atas pohon atau di dalam gua, karena tak ada para penemu bentuk rumah.
Aku akan hidup di zaman primitif dan bahkan liar sekedar survive, tak ada bedanya dengan binatang dan tumbuhan. Tak ada bedanya manusia dengan ciptaan yang lain.
Dalam kondisi ini pun aku sangat tergantung dengan seluruh ciptaan. Tergantung pada tumbuhan atau binatang yang aku makan tergantung pada lingkungan dimana aku tinggal. Cuaca yang mengkondisikan.
Namun inilah manusia yang dikaruniai akal budi, pikiran dan kehendak bebas. Keinginan untuk hidup lebih nyaman melahirkan inovasi-inovasi. Aku membutuhkan aku aku yang lain alias kamu kamu dan kamu serta seluruh ciptaan yang ada.
Ketergantungan adalah sebuah keniscayaan. Aku baru layak  serta bermakna menjadi manusia manakala bersama dengan manusia yang lain. Inilah aku yang senantiasa tidak mungkin mampu memenuhi diri sendiri.
(sebuah renungan tentang kehidupan)
***
Solo, Minggu, 23 September 2018
'salam damai penuh cinta'
Suko Waspodo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H