Mohon tunggu...
Suko Waspodo
Suko Waspodo Mohon Tunggu... profesional -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

amrih mulya dalem gusti

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Karya Tulisan sebagai Media Kritik dan Politik

26 Agustus 2018   18:06 Diperbarui: 26 Agustus 2018   21:27 614
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: dictio community

Karya tulisan memang media yang efektif untuk politik. Jauh sebelum media audio visual ditemukan, propaganda politik selain disampaikan lewat pamflet atau poster, juga banyak disampaikan lewat media karya tulisan. Kita bisa mengambil contoh mulai dari yang tidak terkesan politik "Habis Gelap Terbitlah Terang" tulisan R.A. Kartini, "Max Havelaar" karya Multatuli hingga "Di Bawah Bendera Revolusi" serta buku lainnya karya Bung Karno yang kuat nuansa politiknya.

Kemudian di media tulisan sastra juga banyak sekali buku-buku yang bernuansa politik yang kental. Contohnya  novel "Siti Nurbaya" karya Marah Rusli dan "Salah Asuhan" karya Abdul Muis adalah karya yang menampilkan kritik yang tajam terhadap adat istiadat yang kolot. Tentu saja yang paling fenomenal adalah karya-karya Pramoedya Ananta Toer, sebut saja contohnya "Bumi Manusia", "Panggil Aku Kartini Saja", "Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer" dan masih banyak lagi. Pramoedya merupakan sastrawan politik yang sangat penting.

Selanjutnya tentu saja karya tulisan berbentuk puisi. Karya puisi sangat efektif untuk menyampaikan kritik atau pesan-pesan politik. Chairil Anwar menciptakan puisi bernuansa politik pada jamannya, misalnya "Aku", "Kepada Kawan", "Persetujuan dengan Bung Karno" dan sebagainya. Si Burung Merak, nama beken WS Rendra juga mempunyai banyak karya puisi kritik politik, 3 contoh puisinyanya yang populer adalah "Sajak Orang Kepanasan", "Orang-Orang Miskin"  dan "Sajak Sebatang Lisong". Di era Orde Baru juga ada seorang penulis puisi yang sangat kritis, meskipun mungkin belum dianggap satrawan, yakni Wiji Thukul. Karya puisi kritiknya yang dianggap keras antara lain, "Puisi untuk Adik", Di Bawah Selimut Kedamaian Palsu"  dan "Peringatan".

Karya tulisan memang kadang dianggap berbahaya pada zamannya, "Max Havelaar" kita tahu  menjadi buku yang sangat dilarang pada zaman penjajahan Belanda, demikian pula "Habis Gelap Terbitlah Terang". Buku-buku tulisan Bung Karno dan Pramoedya juga tak luput menjadi momok bagi rezim Orde Baru yang otoriter dan anti kritik karena dianggap bisa membangkitkan semangat perlawanan rakyat kepada penguasa waktu itu, sehingga dilarang terbit lagi dan beredar bahkan ada ancaman hukuman bagi yang menyimpannya.

Wiji Thukul juga menjadi korban kekejaman rezim Orde Baru akibat puisi-puisi kritisnya. Karya-karyanya tak boleh beredar serta dibaca dan bahkan dia sendiri  sejak reformasi 1998 sampai sekarang hilang tak tentu rimbanya. Ada yang menduga Wiji Thukul sudah dibunuh oleh penguasa keji waktu itu.

Karya tulisan fiksi maupun non fiksi tentu tak bisa lepas dari realitas kehidupan. Karya fiksi memang dianggap paling efektif untuk menyampaikan pesan kritik atau politik. Tokoh-tokohnya yang meskipun fiktif bisa diidentikkan dengan tokoh-tokoh nyata di dalam masyarakat, politisi atau penguasa.

Tulisan kritik dalam bentuk karya fiksi memang lebih banyak dipilih karena dianggap lebih bebas dari aturan penulisan ilmiah layaknya karya non-fiksi. Tidak harus melibatkan penelitian dan pengumpulan secara ilmiah. Namun demikian bukan berarti lalu karya fiksi bermuatan kritik lalu boleh ngawur, mengumbar kritik tanpa berdasarkan fakta. Sebagai contoh karya-karya Pramoedya atau Wiji Thukul meskipun itu fiksi tetapi pasti berdasarkan pengalaman nyata atau pengamatan terhadap realitas kehidupan sehari-hari. Kalau tidak menyentuh realitas kehidupan pastilah tidak akan menarik pembacanya.

Di era kebebasan berekspresi dan kemajuan media informasi saat ini, sesungguhnya sangat memungkinkan bagi kita untuk menggunakan karya tulisan sebagai sarana menyampaikan pandangan politik atau kritik. Media sosial yang berkembang pesat merupakan arena yang efektif untuk hal-hal tersebut. Namun kadang hanya digunakan dalam bentuk-bentuk ekspresi sederhana di postingan Facebook atau Twitter, padahal sebenarnya kita bisa menggunakan media blog rame-rame, seperti Kompasiana, atau blog pribadi untuk menulis dalam bentuk karya non fiksi atau fiksi yang lebih serius dan terkesan lebih formal.

Tatkala media mainstream begitu sulit untuk ditembus, mengapa tidak kita gunakan blog rame-rame atau blog pribadi serta media sosial sebagai sarana kita menyampaikan kritik dan pandangan politik kita. Sebagai citizen journalist atau jurnalis warga juga merupakan aktifitas yang efektif dan bermanfaat. Banyak teman-teman kita yang bermula hanya sebagai netizen yang aktif sekarang telah menjadi jurnalis media mainstream. Selamat berkreasi dalam tulisan kritis di media sosial. Merdeka!

***

Solo, Minggu, 26 Agustus 2018

'salam kritis penuh cinta'

Suko Waspodo

suka idea

antologi puisi suko

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun