Pada umumnya kita memahami tentang kesadaran moral yang menunjukkan bahwa kita hendaknya jangan merugikan siapa saja. Jadi bahwa sikap yang dituntut dari kita sebagai dasar dalam hubungan dengan siapa saja adalah sikap yang positif dan baik.Â
Kita harus  mengusahakan akibat-akibat baik sebanyak mungkin dan mengusahakan untuk sedapat mungkin  mencegah akibat-akibat buruk dari tindakan kita bagi siapa saja yang terkena olehnya. Hal ini hanya mungkin terjadi apabila kita bersedia bersikap baik terhadap orang lain, kecuali ada alasan-alasan khusus.
Namun, apakah prinsip sikap baik adalah satu-satunya prinsip moral dasar? Banyak kasus dan peristiwa menunjukkan bahwa sering terjadi dengan alasan demi sikap baik kemudian keadilan dilanggar atau diabaikan. Sebuah proyek jalan tol harus segera diselesaikan dengan alasan demi kelancaran transportasi untuk kepentingan masyarakat banyak namun di sisi lain sebagian warga yang terkena penggusuran akibat proyek itu tidak mendapat ganti rugi yang layak.Â
Seseorang atau sekelompok kecil masyarakat terganggu atas kebisingan malahan dihukum dengan alasan pelecehan karena kebisingan itu untuk kepentingan orang banyak. Dengan pembenaran demi sikap baik terhadap mayoritas lalu keadilan terhadap minoritas diabaikan.
Sesungguhnya sikap baik tidak sama dengan keadilan. Untuk memahami hal ini kita bisa mengambil contoh sebagai berikut: demi memberikan makanan kepada seorang ibu gelandangan yang menggendong anaknya yang menangis kelaparan, apakah saya boleh mengambil sekaleng susu dari sebuah mini market tanpa membayar, dengan pertimbangan bahwa kerugian bagi mini market itu amat kecil (dan adanya pencurian bahkan sudah termasuk dalam kalkulasi untung rugi} sedangkan bagi ibu itu sekaleng susu dapat berarti banyak.Â
Tetapi kecuali kalau sama sekali tidak ada jalan lain untuk menjamin bahwa anak ibu itu dapat makan, kiranya kita harus mengatakan bahwa dengan segala maksud baik itu kita tetap tidak boleh mencuri.
Hal yang sama dapat juga dirumuskan dengan lebih teoritis: Prinsip kebaikan hanya menegaskan agar kita bersikap baik terhadap siapa saja. Namun kemampuan manusia untuk bersikap baik secara hakiki terbatas. Itu tidak hanya berlaku bagi benda-benda yang dibutuhkan orang; uang yang telah diberikan kepada seorang pengemis tidak dapat dibelanjakan bagi anak-anaknya sendiri; melainkan juga dalam hal perhatian dan cinta kasih, kemampuan untuk memberikan hati kita juga terbatas.Â
Maka secara logis dibutuhkan prinsip tambahan yang menentukan bagaimana kebaikan yang merupakan barang langka itu harus dibagi. Prinsip itu prinsip keadilan.
Apa yang dimaksud dengan keadilan? Dalam hal ini kita tidak dapat memasuki diskusi falsafi tentang keadilan yang sangat intensif. Kita juga tidak perlu memerincikan keadilan. Perincian seperti itu lebih tepat dilakukan dalam rangka etika-etika khusus, jadi berhubungan dengan bidang yang sedang dibahas. Misalnya filsafat sosial bicara tentang keadilan sosial, etika ekonomi tentang upah yang adil, etika profesi tentang keadilan dalam penilaian orang dan sebagainya.
Di sini kita dapat (dan sebenarnya harus) mengandaikan bahwa semua orang sudah tahu apa itu adil. Hanya orang yang yang sudah tahu apa itu keadilan, dapat belajar tentang keadilan. Hal itu kelihatan kontradiktif. Â
Tetapi kiranya jelas bahwa orang yang sama sekali tidak dapat memahami apa yang dimaksud dengan keadilan, percuma kita dekati agar ia bertindak lebih adil. Kita hanya dapat mempersoalkan apa yang adil dalam bidang tertentu, misalnya dalam penilaian hasil ujian, apabila kita sebelumnya sudah tahu apa itu adil.