Akan diterapkannya pelarangan penugasan bagi siswa-siswi  sekolah dalam bentuk PR oleh Dinas Pendidikan Kota Blitar sungguh merupakan gagasan yang tidak mendidik dan bodoh. Mana pembuktiannya bahwa pekerjaan rumah (PR) hanya mengganggu pendidikan karakter? Ini sungguh analisis yang cethek dan cupet alias asal-asalan.
Pengalaman sebagai pengajar lebih dari 35 tahun, memberi pembuktian bahwa PR berbentuk mandiri atau tugas kelompok sungguh bermanfaat. Siswa-siswi terlatih bertanggungjawab untuk menyelesaikan masalah. Keberhasilan dalam mengerjakan tugas serta memperoleh 'reward' nilai sungguh membanggakan bagi mereka. PR yang semakin sulit justru menantang siswa-siswi untuk semakin kreatif. Menantang kebebasan mereka untuk berekspresi secara total.
Memang PR membebani, tetapi justru disitulah letak manfaatnya. Persoalan nyata kehidupan sungguh tiada mudah oleh sebab itu dengan PR yang terasa membebani  sesungguhnya melatih generasi muda untuk terbiasa menghadapi banyak persoalan.  Dalam hal ini memang dituntut kreativitas guru dalam mengemas PR-nya.
Pekerjaan rumah atau tugas yang menuntut siswa-siswi  berinteraksi dengan orang lain akan membentuk sikap sosial dan tenggang-rasa. Contoh sederhana misalnya mereka ditugasi untuk memperoleh data tentang pendapatan tukang becak atau tukang ojek yang ada di kampung dimana mereka tinggal. Memperoleh informasi secara langsung tehnik pembuatan genteng yang dilakukan oleh pengrajin genteng di daerah tempat tinggal siswa-siswi juga bisa menjadi PR yang sangat berguna dan berbobot pendidikan karakternua.  Tentu masih banyak contoh lain yang bisa dipilih sebagai PR bagi siswa-siswi.
Apabila yang dipersoalkan adalah PR dalam bentuk penyelesaian soal dalam buku LKS yang notabene hanya berbentuk pilihan ganda, maka ini memang seharusnya dihapus saja. Buku LKS sesungguhnya hanya pemborosan dan tidak mendidik, kecuali LKS yang dibuat oleh guru yang bersangkutan yang sungguh memahami kebutuhan siswa-siswinya. LKS dalam bentuk pilihan ganda dengan  jawaban yang sudah diarahkan sesungguhnya tidak mendidik penalaran siswa-siswi. Hanya menghasilkan robot-robot untuk taat pada kunci jawaban yang disediakan.
Demikianlah, sebaiknya rencana penerapan pelarangan PR segera ditinjau kembali pelaksanaannya atau dibatalkan. Jangan malah dikondisikan untuk diterapkan secara nasional. PR yang berkualitas dan dipersiapkan secara kritis serta  kreatif justru sungguh memperkuat pendidikan karakter.
Semoga sumbang saran kritis ini bisa menjadi pertimbangan bagi para peserta didik dalam meraih pendidikan yang berkualitas. Â Menyiapkan generasi masa depan yang berkarakter dan berkualitas merupakan tanggung jawab kita bersama. Merdeka !!!
Salam damai penuh cinta.
***
Solo, Kamis, 19 Juli 2018
Suko Waspodo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H