Di puncak kekuasaan yang megah, seorang presiden menjelma sebagai penguasa. Dengan pidato berbunga dan janji manis, dia menari di atas mimpi rakyat yang polos.
Namun di belakang tirai politik yang tebal, intrik dan ambisi menari di dalam benaknya. Kekuasaan, seperti setan bernama godaan, merayunya untuk melupakan janji-janjinya.
Rakyat yang memandang dengan mata harap, menanti keadilan, kesejahteraan, dan perdamaian. Namun di antara sorot mata yang tajam, tersembunyi dendam dan niat tersembunyi.
Akhir tragis terkuak di balik panggung, sebuah pemerintahan yang runtuh tanpa suara. Prestasi dipertanyakan, integritas hancur, seiring rakyat menangis dalam kesedihan.
Lautan protes membanjiri jalanan, suara-suara kecewa bersatu dalam jeritan. Presiden yang dulu dianggap sebagai harapan, kini dihempaskan oleh arus amarah.
Di akhir tragedi ini, catatan hitam terukir, di sejarah bangsa yang penuh dengan impian. Sebuah pelajaran pahit untuk generasi mendatang, bahwa kekuasaan sejati adalah untuk rakyat, bukan untuk diri sendiri.
Tetapi di tengah kehancuran dan kepahitan, harapan tetap hidup, membara di hati rakyat. Mereka yang percaya pada kesejatian reformasi, akan bangkit dan membentuk kisah baru.
Sebab keadilan tidak mati, ia hanya tertidur dalam kegelapan sesaat. Dan di setiap akhir tragis, ada peluang bagi bangkitnya kebenaran.
***
Solo, Jumat, 12 Januari 2024. 12:17 pm
Suko Waspodo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H