Analisis Situasi
Joko Widodo kembali memenangkan kursi nomor satu di Indonesia usai penyelenggaraan pilpres 2019, didampingi KH. Ma’ruf Amin sebagai Wakil Presiden.
Pada 22 Oktober 2019, dalam pidatonya usai dilantik sebagai presiden RI di periode kedua, Joko Widodo mencetuskan ide mengenai RUU Omnimbus Law atau yang sering dikenal sebagai RUU Sapu Jagat.
Berikut kutipan pidato Presiden Joko Widodo usai dilantik sebagai presiden Republik Indonesia 2019-2024:
Ketiga, segala bentuk kendala regulasi harus kita sederhanakan, harus kita potong, harus kita pangkas. Pemerintah akan mengajak DPR untuk menerbitkan 2 undang-undang besar. Pertama, UU Cipta Lapangan Kerja. Kedua, UU Pemberdayaan UMKM.
Masing-masing UU tersebut akan menjadi Omnibus law, yaitu satu UU yang sekaligus merevisi beberapa UU, bahkan puluhan UU. Puluhan UU yang menghambat penciptaan lapangan kerja langsung direvisi sekaligus. Puluhan UU yang menghambat pengembangan UMKM juga akan langsung direvisi.
Media massa sebagai media pemberi informasi mulai menyoroti isu Omnibus Law, khususnya pada bidang ketenagakerjaan yang disebut sebagai Omnibus Law Cipta Kerja. Berdasarkan pantauan pemberitaan, polemik Omnibus Law Cipta Kerja telah menemui konflik sejak awal.
Melansir pemberitaan BBC News, Omnibus Law RUU Cipta Kerja: Hal-hal yang perlu Anda ketahui mengenai perampingan aturan (19/2/20), ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira mengungkapkan bahwa terdapat banyak pasal di kluster ketenagakerjaan yang kontraproduktif dan tidak mencerminkan hubungan industrial yang baik antar pengusaha dan pekerja.Â
Pendapat serupa datang dari Ketua Departemen Komunikasi dan Media Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Kahar S. Cahyono. Ia mengungkapkan ada tiga prinsip yang tidak terlihat dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja, yaitu: kepastian kerja atau job security, kepastian pendapatan atau salary security, dan jaminan sosial yang layak atau social security.
Pendapat kontradiktif datang dari Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi Sukamdani yang menganggap bahwa UU Ketenagakerjaan memang sudah waktunya untuk diperbaharui demi mengakomodasi perkembangan kondisi lapangan kerja.
Konflik mengenai RUU Omnibus Law Cipta Kerja terus mengalir sepanjang Februari hingga Oktober, bahkan gelombang pandemi Covid-19 pun tak mampu meredam konflik ini.
Berbagai elemen masyarakat saling beradu argumentasi menilai poin-poin yang ada di dalam RUU merugikan kalangan buruh dan menguntungkan kalangan pengusaha, alhasil pemerintah dianggap lebih berpihak pada pengusaha.
Di kalangan mahasiswa diskusi terus diperdalam mengenai pasal-pasal yang merugikan buruh dan juga masyarakat luas.Â
Kajian pemikiran bermuara pada anggapan bahwa pemerintah yang menjadi pemangku kebijakan justru menjelma menjadi pemerintahan yang menegakkan nila-nilai kapitalisme bahkan terdapat anggapan bahwa pemerintahan saat ini telah mencederai amanat demokrasi.
Konflik antara tiga elemen masyarakat (akademisi, organisasi buruh, dan pengusaha) tidak berhenti pada adu argumentasi. Puncak konflik terjadi usai DPR RI mengesahkan RUU Omnibus Law Cipta Kerja menjadi UU Omnibus Law Cipta Kerja pada 5 Oktober 2020.
Demonstrasi besar-besaran terjadi di ibu kota maupun daerah-daerah. Masyarakat dari kalangan buruh dan mahasiswa menilai bahwa pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Kerja terkesan terburu-buru dan menutup pintu masukan aspirasi dari kalangan buruh.
Pandangan Mazhab Positivisme
Dalam artikel ilmiah berjudul Ketimpangan Sebagai Penyebab Konflik: Kajian Atas Teori Sosial Kontemporer (Zuldin, 2019) menyebutkan bahwa mazhab positivis didasarkan pada pemikiran dua tokoh, yaitu Ralph Dahrendorf dan Lewis Coser. Mazhab ini memiliki fokus analisa pada dinamika dalam struktur sosial.
Sederhananya, mazhab positivis memandang bahwa tidak ada masyarakat yang tidak terlepas dari konflik, terlebih masyarakat membentuk struktur. Dalam pandangan Marxis, hal ini disebut kelas sosial.
Mazhab positivis memandang bahwa adanya konflik menunjukkan masyarakat dapat dipersatukan melalui kooptasi atau pemaksaan diterimanya aturan baru untuk menggantikan aturan lama, atau secara eksplisit kita dapat menyebutnya sebagai upaya penundukan.
Pemetaan Konflik
Dalam konflik UU Omnibus Law Cipta Kerja melibatkan dua pihak yang menjadi pihak-pihak inti yang bertikai, yaitu pemerintah dan buruh. Namun, di balik dua pihak inti yang saling bertikai terdapat subkelompok yang turut mengambil peran sebagai pendukung masing-masing pihak yang saling bertikai.
Dua kelompok yang saling bertikai adalah pemerintah dan rakyat. Subkelompok yang berada di pihak pemerintah sebagai pemegang kendali kuasa dalam memutuskan kebijakan adalah presiden, DPR RI, pengusaha, dan sebagian akademisi. Sementara subkelompok yang berada di pihak rakyat adalah mahasiswa, kelompok tani, LSM, dan sebagian akademisi.
Konflik yang terjadi pada dasarnya disebabkan karena perbedaan posisi, kepentingan, dan kebutuhan antara pihak-pihak yang bertikai. Pemerintahan saat ini memandang pentingnya mempertahankan eksistensi di kancah internasional dengan turut serta dalam gelombang industrialisasi.Â
Meskipun pada dasarnya, Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi kemandirian yang besar karena kekayaan atas sumber daya alam baik di darat maupun di laut, namun sepertinya pemerintah enggan memaksimalkan pemberdayaan sumber-sumber alam untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat Indonesia.
Konteks kapitalisme telah menghiasi wajah industrialisasi, terutama kegiatan industri yang berasal dan modal asing.
Tercetusnya Omnibus Law Cipta Kerja memang pada dasarnya untuk menyesuaikan regulasi dengan keadaan dunia yang semakin bergantung pada kapitalisme yang menjelma dalam diri pengusaha-pengusaha.
Keberadaan kapitalisme yang menjelma dalam diri pengusaha-pengusaha ini makin mempertegas garis perbedaan kelas layaknya konsep Marxis. Pemerintah mengejar untung besar dengan cara instan, alhasil pintu penanaman modal asing diusahakan untuk terbuka selebar-lebarnya. Namun, tentu ada persyaratan yang diajukan para pemilik modal kepada pemerintah.
Sederhananya, pemerintah memiliki kebutuhan untuk menambah devisa negara, untuk itu pemerintah menggunakan posisinya sebagai pengendali kekuasaan dan pemangku kebijakan untuk membuat regulasi yang dapat membuka seluas-luasnya pintu masuk perusahaan modal asing.
Apa yang menjadi kepentingan pemerintah dengan membuka pintu masuk bagi perusahaan modal asing?
Pemerintah berdalih bahwa dengan adanya perusahaan modal asing yang masuk ke Indonesia akan menyejahterakan rakyat karena memperluas terbukanya lapangan pekerjaan sehingga dapat mengurangi angka pengangguran dan angka kemiskinan.
Sederhananya, pemerintah memiliki kepentingan untuk menyelenggarakan kehidupan masyarakat yang sejahtera dengan cara instan.
Namun, hal ini mungkin akan sedikit bertentangan dengan konteks pemikiran para kapitalis yang menjelma dalam wujud para pemodal asing. Mereka memiliki prinsip untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dengan modal sekecil-kecilnya. Itu adalah prinsip mereka, dan kepentingan mereka.
Kebutuhan para pemodal asing ini ternyata bertentangan dengan kebutuhan masyarakat Indonesia. Pemodal asing cenderung membutuhkan negara yang memiliki upah minimum rendah dan memiliki regulasi yang sederhana sehingga perusahaan mereka dapat mengeksplorasi SDA dan SDM dengan mudah.
Posisi para pemodal asing cukup strategis, mengingat bahwa di masa ekonomi hari ini negara-negara bergantung pada industrialisasi dan penanaman modal asing. Maka pemerintahan suatu negara akan berusaha sedemikian rupa untuk berlomba-lomba menarik investor asing agar tertarik menanamkan modal di negaranya.
Hal yang bersifat kontradiktif justru terlihat dari posisi, kepentingan, dan kebutuhan rakyat. Rakyat memiliki posisi sebagai bagian masyarakat yang menerima dampak dari setiap regulasi yang ditetapkan pemerintah. Tidak terlepas apakah itu dampak positif atau dampak negatif, rakyat menempati posisi yang terkena dampak.
Ini adalah realitas yang harus diterima, meskipun sistem pemerintahan yang diterapkan adalah demokrasi tetapi sering kali itu hanya menjadi teori. Kedaulatan rakyat seolah hanya terletak pada saat di bilik suara. Nilai demokrasi itu pun bisa saja hilang sebelum di bilik suara, yaitu saat serangan fajar terjadi.
Lalu bagaimana kebutuhan rakyat? Rakyat membutuhkan hal yang sederhana saja, kesejahteraan, kesehatan, dan pendidikan bagi anak-anak mereka. Itu saja. Bagi kelompok buruh, kesejahteraan ada pada upah yang seimbang dengan tenaga yang mereka keluarkan saat bekerja.Â
Kesehatan terletak saat perusahaan memberi jaminan kesehatan dan keselamatan bekerja, dan terjaminnya pendidikan anak-anak mereka terletak pada kejelasan masa kerja mereka yang berdampak pada perencanaan dana pendidikan anak-anak mereka.
Tiga aktor dalam konflik Omnibus Law Cipta Kerja menunjukan pada tiga konteks posisi, kepentingan dan kebutuhan yang berbeda. Kendalinya ada pada pemerintah.
Saat regulasi pemerintah dinilai memihak tanpa menunjukkan keseimbangan antara kepentingan pemodal asing dengan kepentingan rakyat, maka konflik pun akan terjadi.
Hubungan antara pemodal, pemerintah dan rakyat (khususnya kalangan buruh) merupakan suatu hubungan yang disebut hubungan industrial. Dr. Cosman Batubara, sosok mantan Menteri Tenaga Kerja pada era Presiden Soeharto menuliskan bahwa setiap pelaku dalam hubungan industrial selalu berusaha mempertahankan kepentingannya.Â
Ini menyebabkan konflik dalam hubungan industrial atau yang disebut oleh Karl Marx sebagai konflik antar kelas proletar dengan kelas borjuis. Ini juga yang terjadi dalam konflik UU Omnibus Law Cipta Kerja.
Karena para pemodal asing, pemerintah dan rakyat (khususnya kelompok buruh) berusaha mempertahankan kepentingannya, maka yang terjadi adalah pemodal asing akan menuntut kebutuhannya terpenuhi seperti upah murah dan kemudahan memperoleh izin mengeksplorasi SDA.
Pemerintah tetap pada kepentingannya yaitu menarik investor asing untuk menanamkan modal, maka tidak heran jika kemudian praktik kooptasi (pemaksaan diterimanya aturan baru untuk menggantikan aturan lama) dilakukan oleh pemerintah.
Pemerintah akan menjadi keras kepala dan tetap melakukan pengesahan terhadap RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Sementara itu rakyat dari kelompok buruh mempertahankan kepentingannya untuk mendapatkan kepastian masa kerja, kepastian jaminan kesehatan dan keselamatan kerja dan kepastian kesejahteraan.
Karena sikap yang mempertahankan kepentingan masing-masing inilah tercipta persepsi-persepsi di antara pihak-pihak yang bertikai. Rakyat baik dari kelompok buruh, petani maupun mahasiswa memandang pemerintah telah mencederai amanat demokrasi dan berpihak pada kapitalis.Â
Sementara pemerintah menganggap perlawanan masyarakat terhadap UU Omnimbus Law tidak memiliki dasar dan ditunggangi kelompok kepentingan politis (oposisi pemerintah).
Melihat berbagai pemberitaan konflik dalam perkara UU Omnibus Law Cipta Kerja kini berada di tahap eskalasi menuju de-eskalasi. Meskipun demikian, konflik ini belum mencapai de-eskalasi.
Demonstrasi yang terjadi pasca pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Kerja memang telah mereda, namun kini dilanjutkan dengan demonstrasi memperingati satu tahun masa jabatan Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Salah satu poin yang masih dituntut adalah penolakan UU Omnibus Law Cipta Kerja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H