Mohon tunggu...
Sukmasih
Sukmasih Mohon Tunggu... Lainnya - Akun Resmi

Menulis berbagai hal dari sudut pandang kajian ilmu komunikasi. Belajar di Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Determinan Politik Luar Negeri Indonesia di Masa Pandemi dan Sentimen Laut China Selatan

17 Oktober 2020   12:01 Diperbarui: 20 Oktober 2020   01:14 12417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: biro pers setpres / diolah pribadi untuk kompasiana

Konflik antara Amerika Serikat dengan Republik Rakyat Tiongkok (China) di kawasan Laut China Selatan memaksa beberapa negara yang berada di sekitar Laut China Selatan segera mengambil sikap dan mengeluarkan kebijakan luar negeri dalam menanggapi sentimen yang terjadi. 

Indonesia sebagai salah satu negara yang berada di kawasan konflik Laut China Selatan tidak luput dari penentuan arah kebijakan luar negeri untuk menanggapi sentimen Amerika Serikat dengan Republik Rakyat Tiongkok (China). 

Namun, perlu menjadi catatan penting, bahwa Indonesia tengah menghadapi pandemi Covid-19 yang secara langsung akan berdampak pada pengambilan keputusan dalam menentukan arah kebijakan politik luar negeri.

Sejak akhir tahun 2019 hingga saat ini, dunia tengah menghadapi berbagai sentimen global. Mulai dari perang dagang Amerika Serikat dengan Republik Rakyat Tiongkok, konflik di Laut China Selatan hingga krisis dalam berbagai sektor kehidupan akibat pandemi Covid-19.

Belakangan, konflik di kawasan Laut China Selatan dan pandemi Covid-19 menjadi dua hal yang paling menentukan arah kebijakan politik luar negeri Indonesia. 

Bukan tanpa alasan, hal ini disebabkan adanya ketergantungan antarnegara satu dengan yang lain sehingga memaksa setiap negara untuk mengambil keputusan dalam menentukan arah kebijakan politik luar negeri.

Dalam tulisan ini, penulis akan mencoba menjabarkan berbagai faktor determinan yang memengaruhi kebijakan politik luar negeri Indonesia selama masa pandemi dan di tengah sentimen Laut China Selatan.

A. Pandemi Covid-19
Covid-19 asal Kota Wuhan telah menjadi pandemi dunia. Virus ini telah menjadi latar belakang terjadinya krisis di berbagai sektor kehidupan manusia, mulai dari krisis kesehatan, krisis ekonomi, krisis psikologis hingga krisis kepercayaan publik. 

Dilansir dari laman www.covid19.go.id hingga Kamis, 8 Oktober 2020 terdapat 320.564 kasus positif Covid-19 di Indonesia dengan korban meninggal sebanyak 11.580 jiwa.

Sementara berdasarkan update data 8 Oktober 2020 worldometers.info melaporkan bahwa secara global terdapat 36.432.442 kasus positif Covid-19 dengan jumlah korban kematian mencapai 1.061.173.

Sementara itu keadaan ekonomi dunia semakin memburuk. Menurut laporan CNBC Indonesia pada 17 September 2020, menuliskan 45 negara yang masuk ke dalam daftar negara yang mengalami resesi.

Ke-45 negara tersebut adalah Afrika Selatan, Albania, Angola, Arab Saudi, Argentina, Austria, Bahrain, Barbados, Belanda, Belgia,  Belize, Brasil, Ekuador, Filipina, Finlandia, Guyana Khatulistiwa, Hong Kong, Inggris, Iran, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, Latvia, Lebanon, Lituania, Makau, Meksiko, Mongolia, Palestina, Peru, Portugal, Republik Ceska, Singapura, Slowakia, Spanyol,  Sudan, Swiss, Thailand, Tunisia, Ukraina, Venezuela, Yunani dan Selandia Baru.

Kehadiran obat dan vaksin untuk Covid-19 menjadi asa bagi seluruh umat manusia. Rasanya, sangat minim kemungkinan untuk keluar dari situasi krisis tanpa adanya obat atau vaksin Covid-19. Oleh karena itu, negara-negara di dunia berusaha keras untuk menemukan vaksin Covid-19.

1.  Vaksin dan Negara Polisi Dunia
Terdapat beberapa negara yang berhasil membuat formula vaksin Covid-19, diantaranya Inggris berhasil dengan produk eksperimental tim Universitas Oxford, yang disebut “ChAdOx1 nCoV-19”.

Kandidat vaksin Corona Covid-19 yang dikembangkan oleh perusahaan obat asal China juga menunjukkan hasil, Sinovac Biotech mengembangkan vaksin bernama CoronaVac. Rusia turut menyusul dengan Vaksin Gamaleya. Amerika Serikat juga sukses dengan vaksin yang dikembangkan bioteknologi Moderna.

Terdapat empat negara yang gencar mengembangkan vaksin, Inggris, Rusia, Amerika Serikat, dan China. Perlu dicatat, bahwa Inggris dan Amerika Serikat adalah negara yang memiliki ambisi untuk menjadi polisi dunia. 

Inggris pernah menjadi negara polisi dunia, imperialisme yang Inggris lakukan merupakan bukti kuat bahwa Inggris mencoba mengklaim kekuasaan tertinggi atas negara-negara di dunia.

Kemudian dilanjutkan dengan Amerika Serikat yang mengusai ekonomi dunia dengan kekuatan dollar-nya. Sebelum menguasai sistem ekonomi dunia, sejarah mencatat bahwa Amerika turut melakukan penjajahan atas negara-negara di dunia.

Rusia sebagai negara yang sempat dikuasai hegemoni pemikiran Marxisme-Leninisme turut menjadi bagian dari negara dengan ambisi menjadi polisi dunia. Lalu bagaimana dengan China?

Dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir, China mulai menantang Amerika Serikat dalam perang dagang yang sengit. Nilai mata uang Yuan terus menantang Dollar Amerika.

Dalam tataran politik dan kekuasaan dunia kontemporer hari ini, menguasai ekonomi dunia adalah awal untuk menjadi polisi dunia. Lalu, apa hubungan pembahasan kekuasaan negara polisi dunia dengan penyediaan vaksin Covid-19?

Vaksin menjadi kebutuhan setiap negara untuk mengatasi perluasan penyebaran Covid-19. Negara manapun yang berhasil menemukan vaksin Covid-19, maka akan menjadikan pengadaan vaksin sebagai komoditas baru.

Komersialisasi vaksin pun menjadi jalan keluar untuk menciptakan kestabilan ekonomi bagi negara yang berhasil menjual vaksin di tengah keterpurukan ekonomi global.

Keputusan suatu negara untuk membeli vaksin dari negara lain dapat masuk dalam tataran pembahasan keputusan politik luar negeri.

Miriam Budhiardjo dalam buku Dasar-Dasar Ilmu Politik menjelaskan pengertian politik sebagai usaha menggapai kehidupan yang baik. Saat pengertian ini dimasukkan ke dalam konteks hubungan politik luar negeri dan keputusan pembelian vaksin, maka dapat dipahami bahwa pembelian vaksin sebagai usaha untuk memulihkan kondisi kesehatan akibat pandemi Covid-19 merupakan suatu keputusan yang bersifat politis.

Hubungan antar negara yang berperan sebagai penjual vaksin dan pembeli vaksin menjadi suatu hubungan politik luar negeri untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Pertanyaannya, bagaimana keputusan Indonesia dalam menjalin politik luar negeri dalam konteks pemenuhan kebutuhan vaksin Covid-19?

Indonesia telah mengambil keputusan untuk membeli vaksin dari Republik Rakyat Tiongkok (China). Apa yang menjadi latar belakang keputusan ini?

Keputusan kebijakan politik luar negeri identik dengan beberapa faktor determinan. Sebagai catatan, faktor determinan adalah sesuatu yang menjadi penentu terjadinya sesuatu .

2.  Faktor Determinan Keputusan Pembelian Vaksin

a.  Vital Interest (Kepentingan Mendesak)
Dalam kondisi krisis kesehatan ditengah masa pandemi Covid-19, kebutuhan vaksin menjadi hal paling mendesak. Hal ini yang menjadi dasar bagi pemerintah Indonesia untuk segera mengamankan stok vaksin asal China untuk Indonesia.

b.  Peranan Lingkungan Strategis
Faktor determinan yang kedua ini menunjukkan hal-hal yang mendorong Indonesia untuk memilih China diantara Amerika, Inggris dan Rusia. Jika memantau pemberitaan yang ada, Indonesia telah menjalin hubungan kerja sama dengan China sejak lama. 

Berdasarkan laporan kontan.co.id pada 13 April 2020, dikabarkan bahwa China merupakan mitra dagang terbesar di Indonesia bahkan menjadi salah satu investor terbesar di Indonesia. Di bidang pariwisata, turis asal China telah menyumbangkan  kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia.

Kontan.co.id mengabarkan bahwa kerja sama yang terjalin antara China dan Indonesia telah terjadi selama 70 tahun. Ini artinya, China telah menjadi bagian strategis dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Hal ini yang mungkin menjadi bahan pertimbangan pemerintah Indonesia untuk menjalin hubungan politik luar negeri dengan China melalui pembelian vaksin Covid-19. Sederhananya, Indonesia tidak ingin merusak hubungan baik dengan China dan kehilangan investor.

Perlu menjadi catatan tambahan, China telah menjadi negara raksasa ekonomi baru sejak tahun 2010. China mulai menguasai ekonomi dunia bahkan menantang hegemoni negeri Paman Sam. Artinya, Indonesia telah membaca situasi dan kondisi lingkungan global.

China memiliki pengaruh kuat dalam ekonomi bahkan dalam konteks penanaman modal asing, China telah menjadi pemasok utama. Dengan adanya pembelian vaksin Covid-19 asal China, maka diharapkan akan ada hubungan baik antara China dan Indonesia di masa yang akan datang.

B. Konflik Laut China Selatan
Konflik di kawasan Laut China Selatan merupakan konflik klasik yang tetap ada hingga kini. Hal yang mendasari konflik dikawasan ini adalah klaim China atas kekayaan Laut China Selatan. 

Dari sudut pandang penulis, terdapat poin yang lebih bernilai untuk menjadi dasar klaim China atas kawasan Laut China Selatan. Lokasi yang strategis, Laut China Selatan merupakan wilayah dengan kepulauan yang kaya penuh akan kekayaan alam. Dengan menguasai Laut China Selatan, pada dasarnya China sedang berusaha untuk membangun kekuasaan di kawasan Asia.

Hal ini yang memicu kemarahan negeri Paman Sam. Konflik antara Amerika Serikat dengan China beberapa tahun terakhir sering meletup-letup. Bahkan ketegangan antara keduanya bukan hanya terjadi di pasar dagang internasional, kini ketegangan antara kedua negara tersebut sampai di Laut China Selatan. Adu kekuatan berbasis militer tengah berlangsung.

Indonesia merupakan salah satu wilayah yang berada dalam kawasan Laut China Selatan. Hal ini membuat pemerintah Indonesia untuk segera mengambil keputusan politik luar negeri untuk menanggapi ketegangan dua negara yang memiliki ambisi menguasai dunia. 

Mengutip Sindonews.com pada Kamis, 8 Oktober 2020 diberitakan bahwa Indonesia secara mengejutkan melontarkan peringatan keras kepada China terkait krisis di Laut China Selatan. Peringatan ini disampaikan Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Lestari Priansari Marsudi yang berjanji akan selalu membela kepentingan nasional Indonesia.

Apa faktor determinan yang melatarbelakangi keputusan pemerintah Indonesia untuk memberi peringatan keras kepada China terkait konflik Laut China Selatan?

Peringatan ini tentunya dapat dikatakan sebagai keputusan politik luar negeri Indonesia dalam menanggapi sentimen di Laut China Selatan.

1.  Faktor Determinan Peringatan Kemenlu terhadap China

a.  Core Value (Nilai Inti)
Core Value berkaitan langsung dengan visi politik luar negeri Indonesia. Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa asas politik luar negeri Indonesia adalah Bebas-Aktif.

Artinya Indonesia terlepas dari keberpihakan antara blok-blok yang berkepentingan dalam tujuan untuk menguasai dunia. Aktif, memiliki makna bahwa politik luar negeri Indonesia bersifat aktif dalam menciptakan harmoni dan perdamaian. Hal ini bahkan tertuang dalam pembukaan UUD 1945 (menolak segala bentuk penjajahan dan mendorong perdamaian dunia).

Note: Artikel ini telah dipublikasikan di website pribadi, Sukmasih | PR & WRITER

*Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
*Mahasiswa Program Pertukaran Mahasiswa Nusantara (Permata-Sakti 2020), Program Studi Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sulawesi Barat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun