Mohon tunggu...
Sukma Senja
Sukma Senja Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Pencari senja yang tak pernah diam.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Maksa Banget Sih Setarakan Rokok dengan Narkotika

13 April 2023   08:41 Diperbarui: 13 April 2023   08:42 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selain itu apabila RUU ini diundangkan maka akan ada tumpang tindih hukum dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkoba dan Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.

Penjelasan di atas menunjukkan betapa fatalnya ketentuan pasal 154 RUU Kesehatan. Niat awal omnibus law untuk menjadikan peraturan perundang-undangan agar menjadi lebih sederhana dan tidak tumpang tindih jelas tidak kelihatan di dalam RUU ini.

Harus ada kajian lebih mendalam terkait hal ini, jangan sampai DPR dan Pemerintah terkesan sangat serius untuk membunuh petani tembakau di Indonesia, setelah cukai rokok dinaikkan berkali-kali lipat, sekarang seolah-olah menyetarakan petani tembakau dengan petani koka dan mariyuana.

Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana menilai penyetaraan tembakau, yang merupakan produk legal, dengan narkoba yang jelas ilegal, hanya akan berujung untuk mematikan Industri Hasil Tembakau yang selama ini telah berkontribusi besar kepada negara. "Dampaknya terhadap Industri Hasil Tembakau ini pasti mati. Orang akan dilarang dan ditangkap polisi. Pemerintah harus bijak dalam membuat aturan" ujar Hikmahanto, Selasa (11/4/2023).

Hikmahanto menambahkan aturan soal tembakau telah diatur secara komprehensif di regulasi yang berlaku saat ini, khususnya Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 (PP 109/2012). Menurutnya, Pemerintah cukup mengacu pada aturan yang sudah ada saat ini.

Upaya mensejajarkan tembakau dengan produk ilegal, seperti narkoba, justru akan memberikan peluang masuknya produk tembakau dari luar secara diam-diam. Hal ini karena masih banyak masyarakat Indonesia yang merokok, sehingga ketika tembakau dalam negeri dipersulit karena disejajarkan dengan narkoba, maka penyelundupan tembakau ilegal tidak terelakkan. Hal ini secara praktis akan mengancam pendapatan negara dari cukai hasil tembakau.

Tidak hanya terkait tembakau, RUU Kesehatan juga dinilai memiliki beberapa kontroversi terkait profesi kedokteran. Pertama Pasal 296 Ayat 2 menyebutkan, setiap jenis tenaga kesehatan (nakes) hanya bisa membentuk satu organisasi profesi, sedangkan Pasal 184 ayat (1) mengelompokkan nakes ke dalam 12 jenis, jenis nakes ini dibagi lagi atas beberapa kelompok sehingga jumlah akhirnya 48 kelompok. Lalu mana yang benar satu organisasi profesi untuk setiap jenis nakes atau untuk setiap kelompok nakes? Opsi manapun yang dipilih pasti akan memecah organisasi profesi yang sudah ada.

Kedua, Kementerian Kesehatan menjadi lembaga yang super power karena dapat menentukan kebijakan hulu ke hilir. Pasal 235 menyebutkan, standar pendidikan kesehatan disusun oleh Menteri Kesehatan, peran organisasi profesi praktis hilang. Padahal, dalam UU No 29/2004, standar pendidikan ditentukan bersama oleh asosiasi institusi pendidikan, kolegium, asosiasi rumah sakit pendidikan, Kemendikbud, dan organisasi profesi. Menteri juga dapat menentukan standar kompetensi berdasarkan Pasal 197 ayat (3) RUU Kesehatan dimana seharusnya kompetensi adalah domain teknis dan profesional yang ranahnya ada pada organisasi profesi. Di negara-negara lain, wewenang penyelenggaraan pendidikan berkelanjutan dilakukan organisasi profesi atau provider; bukan pemerintah.

Kemudian pada Pasal 239 RUU ini, Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) bertanggung jawab pada Menteri Kesehatan. Padahal saat ini KKI adalah badan independen, dan bertanggung jawab langsung ke Presiden. Penempatan menteri sebagai atasan KKI membuat lembaga penting ini jadi kurang independen dan posisinya melemah.

Penyusunan RUU Kesehatan perlu mendapatkan perhatian serius dari pemerintah dan DPR karena menyangkut harkat hidup orang banyak. Jangan sampai terburu-buru sehingga pembahasan tidak melibatkan partisipasi publik yang layak. Karena jika kontroversi-kontroversi di atas tidak diselesaikan, maka akan jadi kontra produktif ketika saat baru disahkan langsung diajukan untuk judicial review ke dan bukan tidak mungkin umur UU Kesehatan menjadi pendek karena dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun