Dalam  sebuah kesempatan saya  berdiskusi  mengenai Organisasi Pekerja Sosial Profesional, kemudian dia bertanya "lho, profesional nya dimana?", pertanyaan mengagetkan bagi saya karena melihat jabatan sang penanya, dan saya menjawab, umumnya lulusan pekerja sosial akan semangat menjawab  "kami kuliah menempuh pendidikan dibekali pengetahuan, keterampilan dan memiliki kode etik". Di kesempatan lain saya di undang di sebuah acara, datang dua orang dari lembaga pelayanan meminta penempatan pekerja sosial untuk mengisi dan mengganti pekerja sosial yang sebelumnya tercantum di struktur kepengurusan dikarenakan tidak akfif dan sulit berkoordinasi.
Maksud cerita ini saya ingin menyampaikan beberapa dinamika pekerja sosial didaerah. Menjelang kongres organisasi profesi IPSPI awal September 2019 di Bandung, jika tidak ada halangan wadah pekerja sosial Indonesia ini akan memilih pemimpin baru dan kepengurusan periode 2019-2022. Kader-kader terbaik pekerja sosial akan berkompetensi secara sehat, namun sayang sampai saat ini calon-calon pemimpin pekerja sosial belum ada yang mendeklarasikan diri apalagi memunculkan visi dan misi tiga tahun kedepan.
Semakin berkembangnya peradaban manusia, IPSPI dituntut mengembangkan peran strategisnya, tantangan  pekerja sosial dalam pembangunan kesejahteraan sosial di zaman ini semakin bertambah, masalah klasik seperti pengakuan pekerja sosial dan permasalahan sosial  yang semakin kompleks membutuhkan kompetensi dan konsentrasi pekerja sosial.  "Martabat" pekerja sosial Indonesia harus di bangun oleh IPSPI karena seperti kita ketahui bersama bagaimanapun pekerja sosial berbeda dengan TKS (tenaga kesejahteraan sosial) dan relawan sosial. Menurut saya martabat pekerja sosial harus dibangun dengan meningkatkan kapasitas, menguprage  keahlian dan keterampilan praktik pelayanan.
Dengan kapasitas ilmu yang dimiliki, saya yakin pekerja sosial akan percaya diri tampil sejajar dengan profesi lainya, tidak hanya mampu menyelesaikan persoalan masyarakat, juga akan berdampak pada pemahaman semua orang bahwa praktik pekerja sosial berbeda dengan TKS dan relawan sosial. Pekerja sosial terutama di daerah harus memiliki daya saing, meningkatkan kompetensi praktik, dengan jalan ini Profesi pekerja sosial tidak akan tertinggal dan menjadi olok-olok pilar-pilar sosial lainya.
Semua tantangan tersebut harus mampu dibawa menjelang kongres IPSPI, bukan saja memilih pemimpin baru periode selanjuytnya namun IPSPI harus bisa membangun sistem pengembangan kapasitas atau kompetensi Pekerja sosial, tentu pembangunan sistem ini lahir berawal dari organisasi profesi yang dinamis dan sehat. Figur pemimpin selanjutnya harus memiliki visi jauh kedepan, pempimpin yang bisa membawa profesi pekerja sosial "bermartabat" Â dan mengembangkan dan meningkatkan kemampuan praktik pelayanan. Sehingga kedepan tidak lagi ada orang yang bertanya, profesional dari mana?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H