Mohon tunggu...
Rai Sukmaning
Rai Sukmaning Mohon Tunggu... Administrasi - Perekayasa

Tinggal di Bali.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen] Cekcok

9 Januari 2017   01:07 Diperbarui: 11 Januari 2017   19:28 778
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku sama sekali tak ingat apa saja yang dibicarakan oleh Ali Topan kemarin malam. Rasanya dia bicara soal kisah cintanya yang kandas atau semacamnya. Tapi itu tak penting lagi buatku. Lagi pula, aku sudah cukup mendengar teorinya soal bagaimana menghadapi perempuan. Maksudku, dia selalu datang dengan kisah sedih. Jadi, buat apa? Tapi hari ini, saat aku duduk sendirian di Kafe Teduh, menunggu seseorang sambil menonton TV yang menyiarkan berita tentang cekcok Indonesia dan Australia, aku teringat pada satu hari di bulan Desember sepuluh tahun yang lalu. Saat itu, aku mendorong adikku yang masih berusia empat tahun hingga jatuh tersungkur di tanah—biasalah, gara-gara rebutan mainan. Dalam gerakan lambat, aku lihat adikku terjun bebas membentur sudut tangga dan satu—atau dua—giginya patah. Itu membuat ibuku marah besar. Dia muncul dari pintu dapur, setengah berlari, dan wajahnya tampak semerah gincu. Dia pungut adikku yang tangisannya pilu, menggendongnya, serta membisikkan kata-kata penghibur sebelum akhirnya membanjurkan segelas teh ke sekujur mukaku. Seketika aku turut meledak dalam tangis. Tangisanku, yang nyaring dan tak putus-putus, tumpang tindih dengan tangisan adikku, menghasilkan aransemen yang mengesalkan, seperti dua paduan suara sumbang yang menyanyikan lagu berbeda di saat bersamaan. Dan cukup jelas bahwa ibuku tidak begitu menyukai paduan suara. Dia menjewer telingaku hingga pedas dan aku dibuat menjerit olehnya. Dunia menjadi benar-benar muram: kubangan air mata yang kotor menghalangi segala pandanganku. Akhirnya aku memutuskan berlari menjauhi ibuku yang saat itu begitu menyeramkan wajahnya. Aku berlari dan berlari. Entah ke arah mana, persetan, yang aku tahu, saat itu aku mesti berlari, sekencang mungkin. Hingga tiba-tiba aku menemukan satu tempat persembunyian yang sempurna. Satu celah kecil, tidak lebih dari setengah meter di belakang rumah tetanggaku. Aku menyempil di sana seperti sisa daging di sela-sela gigi. Tak lama kemudian, tangisanku reda. Tapi sakit sisa jeweran ibuku terasa berkali lipat perihnya. Saat itu, jujur saja, pertama kalinya aku ingin mati. Aku pikir hidup ini tidak adil. Dan pikiran itu muncul begitu saja: aku mau kabur dari rumah, berdiri di tengah jalan, dan membiarkan truk pengangkut pasir melindasku. Berjam-jam aku bersembunyi di sana, manginkubasi ideku. Aku berdiri bisu sambil terus berharap ibuku akan tersiksa oleh rasa khawatirnya atas hilangnya diriku. Namun kian lama waktu terasa kian lambat, sementara perutku mulai keroncongan. Ketika aku pikir hidupku benar-benar akan berakhir, aku lihat ibuku muncul sambil menggendong adikku. Langit sudah mulai gelap waktu itu. Dia menatapku sendu dan berkata, “Ayo pulang, ibu masak perkedel jagung.” Untuk membalasnya, aku mengusap air mataku yang sudah kering sejak tadi. Tentu saja, gerakan teatrikal semacam itu aku perlukan untuk menunjukkan betapa sedih dan menyesalnya aku atas tindakanku. Dan entah kenapa, aku rasa ibuku tahu soal itu dan dia juga tahu bagaimana menyikapinya. Dia mengulurkan tangan padaku dan aku menyambutnya. Kami makan malam bersama. Aku sudah melupakan rencana bunuh diriku dan perkedelnya sungguh-sungguh terasa lezat. Adikku tak lagi menangis. Dia bahkan sudah berani mengejekku. Katanya, “Cengeng deh, sudah gede masih nangis.” Aku tertawa dibuatnya. Aku pun menoyor kepalanya, sedikit saja, dan itu membuatnya kembali menangis. Wajah ibu pun turut kembali merah. Tapi aku tahu, besok paginya dia akan memasak perkedel lagi, atau mungkin telur mata sapi. Meski aku tak begitu yakin soal itu.

 

Denpasar, 8 Januari 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun