<1>
“Ini sia-sia,” cetus Hanta. “Kita duduk disini, berdua. Kita makan Oreo. Kita menunggu sesuatu yang tak jelas dan kamu selalu bersikeras seolah-olah semua ini ada gunanya.”
“Memang berguna,” sahut Lumanihi.
“Apanya? Lihat, kita sudah seperti orang yang sedang menunggu Godot, atau menunggu pesan dari Kaisar, atau sepasang pungguk yang sedang belajar hukum Newton dan berharap NASA akan mengirim mereka ke bulan.” Hanta menggelengkan kepala secara dramatis. “Ini benar-benar mamalukan.” Kemudian, “Aku pulang saja kalau begini terus,” cetus Hanta, hendak berdiri.
“Oh, jangan,” buru-buru Lumanihi mencegahnya bangkit, “jangan pergi dulu, kumohon.”
“Ini benar-benar tolol, kamu tahu!” “Demi Tuhan, paling tidak temani aku lima menit lagi.”
Jika bukan karena Lumanihi adalah teman baiknya sejak kecil, ia tak akan sudi membuang-buang waktunya dan menjadi sejenis kambing congek di kafe tersebut. Lebih dari tiga jam mereka duduk disana dan Hanta sudah menghisap rokok terakhirnya satu jam yang lalu. Sebetulnya Hanta tak ingin mendengar alasan apa pun lagi dari Lumanihi, namun ia juga tak sanggup mengabaikan begitu saja sahabatnya.
Apa yang sebetulnya Lumanihi tunggu adalah satu hal yang selalu mengganggu pikiran Hanta. Setiap minggu ia dipaksa menemani Lumanihi, tapi Lumanihi tak pernah dengan terbuka mengatakan apa tujuannya, atau paling tidak, kenapa harus Hanta yang selalu menemaninya. Setiap kali Hanta mempertanyakan masalah tersebut, dapat dipastikan Lumanihi akan segera mengalihkan pembicaraan, menggantinya dengan topik lain yang tak kalah menarik, bisa tentang bola, tentang situs porno, atau bahkan politik, jika terpaksa. Dan biasanya itu cukup berhasil. Hanta akan lupa dan mengulanginya seminggu kemudian. Namun tidak untuk hari itu.
Ketika akhirnya Lumanihi memicingkan mata ke satu arah dan menunjukkan tanda-tanda bahwa ia telah menemukan apa yang dicarinya, ia berseru pada Hanta, “Itu dia yang kita tunggu-tunggu.” Hanta buru-buru mengangkat wajahnya dari layar ponsel dan menoleh ke arah jari Lumanihi menuding. “Yang mana?” tanya Hanta, merasakan gairah kembali muncul dalam dirinya.
“Yang itu,” sahut Lumanihi. “Itulah cintaku.”
Seorang perempuan baru saja keluar dari toko swalayan sambil menenteng tas belanjaan di tangan kanannya. Ia tampak terburu-buru, dengan langkah kaki pendek namun cepat, berjalan menuju parkiran yang berada tidak jauh dari kafe tempat mereka menunggu. Tidak ada yang mencolok darinya kecuali kaos SNSD yang ketat membentuk badan, dan riasan tipis di wajahnya.