Mohon tunggu...
Rai Sukmaning
Rai Sukmaning Mohon Tunggu... Administrasi - Perekayasa

Tinggal di Bali.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Semua Orang Akan Senang Menangis Disana

4 Juli 2015   22:25 Diperbarui: 4 Juli 2015   22:25 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di jalan menanjak yang kedua sisinya diapit pepohonan Pinus, Gede dan Lutfi melihat beberapa pemuda sedang memberi makan segerombol monyet. Mereka berhenti dan mengamati. Dari gelagatnya, pemuda-pemuda itu sudah tahu kelihaian monyet-monyet itu. Dengan sengaja mereka menyembunyikan bungkus kacang di tangan kiri dan menjulurkan hanya beberapa butir saja dengan tangan kanan. Sayangnya, para monyet juga telah mempelajari trik semacam itu. Beberapa langkah dari mereka seorang kakek duduk memperhatikan. Dia mengepit sebuah payung berwarna putih.

Setelah melihat seekor monyet berhasil merampas bungkusan kacang dari seorang pemuda berambut cepak, mereka melanjutkan perjalanan, melewati jalanan naik turun yang berkelok menuju danau Tamblingan. Beberapa kilo meter kemudian, dari balik semak pepohonan, danau itu mulai muncul. Danau yang dikelilingi hutan dan tepiannya dipenuhi perahu-perahu; tidur nyenyak jauh di bawah. Dari dalam mobil, danau itu terlihat seperti sebuah cermin raksasa. Memantulkan segala sesuatu yang ada disekitarnya. Hanya saja dengan nuansa agak samar. Ketika kaca mobil diturunkan, angin yang bertiup dari barat numpang lewat membawa aroma danau.

“Aku kira monyet-monyet tadi binatang liar,” kata Gede pada Lutfi.

“Begitulah,” kata Lutfi. Dia sedang menyetir dan benaknya dipenuhi gagasan tentang jaket bulu.

“Bagaimana bisa dengan tenang mereka memberi monyet-monyet itu makan. Apa itu tak berlebihan?”

“Kurasa tidak,” sahut Lutfi. “Semua itu menyenangkan.”

“Benarkah?”

“Percayalah.”

“Ya, kenapa tidak?!” ujar Gede. “Setidaknya sebelum gigi atau cakar mereka menancap di kulitmu.”

“Seharusnya tadi kau mencobanya.”

“Tak akan.”

“Kau kekanak-kanakan,” kata Lutfi kemudian.

Tepat di belakang mereka, satu sedan Mercedez putih melaju tak sabaran. Mobil itu memepet mereka terus-menerus. Sedikit saja jalanan di depannya lurus, mobil itu akan langsung mengklakson bertubi-tubi serta mengedipkan lampu jauh; minta ruang untuk mendahului. Namun, terus gagal. Sebab, belokan selalu keburu muncul. Agak jauh di belakangnya sebuah truk pengangkut pasir terlihat tersengal-sengal meratapi beban di baknya.

Gede mendengus pelan. Matanya memandang jauh ke barat. “Hey, kenapa tidak kita lupakan saja monyet-monyet itu,” ujarnya. “Bukankah kita ke Tamblingan untuk merayakan kelulusanmu? Kau telah menjadi sarjana.”

Lutfi tersenyum kecut. Ujung matanya melirik kaca spion tengah. Dari sana dia bisa melihat Mercedez putih itu. Mobil itu berkilau seperti lampu neon dan membuatnya agak silau. Ketika kemudian dia mengalihkan pandangannya ke depan, dia merasa seolah-olah dari arah berlawanan lewat sebuah Mercedez dengan warna serupa.

“Aku tak ingin merayakannya,” kata Lutfi agak lama kemudian.

“Tentu saja kau ingin.”

“Tidak,” kata Lutfi sambil lalu.

“Jangan berpura-pura.”

“Andai saja,” sergah Lutfi. “Setahuku kau yang begitu ngebet merayakannya.”

“Aku?” kata Gede sedikit mengangkat bahunya. “Ayolah!”

“Kau memang tipikal orang yang ingin merayakan segala hal.”

“Bagaimana mungkin cuma aku?” sahut Gede. Dia mengubah posisi duduknya sehingga menghadap ke Lutfi. “Lalu kau kemanakan bapak dan ibumu? Mereka juga ingin kau merayakannya.”

Lutfi berlagak tuli. Wajahnya agak memerah. “Meski begitu, aku tetap tak mau,” katanya.

“Kau selalu bilang tak mau,” kata Gede. “Tapi akhirnya kau lulus juga, ‘kan?”

“Kau tahu kenapa itu terjadi dan kau seharusnya mengerti,” pungkas Lutfi.

Angin bertiup agak kencang. Suara kendaraan yang sesekali lewat terdengar seperti desing nyamuk atau lalat. Dari saku celana, Gede mengeluarkan sebungkus rokok Djarum. Dia menyulut sebatang rokok dan menghisapnya dalam-dalam hingga baranya meneteskan darah. Dia menghembuskan asapnya dalam satu tiupan yang malas dan lemas. Bau tembakau meruap menyesaki mobil.

Di dekat sebuah warung yang mereka lewati, Lutfi melihat seekor anjing hitam ditendangi oleh dua orang pemuda. Pemuda pertama rambutnya pendek rapi dengan celana panjang yang terlihat kedodoran. Sementara yang satunya mengenakan baju berwarna merah cerah dan menggenggam balok kayu. Dua pemuda itu mengingatkannya pada anjing yang dulu dipeliharanya bersama Gede. Anjing yang karena saking nakalnya terkadang terpaksa mereka pukuli. Suatu siang anjing itu lepas dan lari ke jalan. Mereka tak berusaha mengejarnya. Sorenya anjing itu kembali dengan menyeret tubuhnya sendiri. Kaki belakangnya remuk. Terlindas. Lutfi sedih melihat anjingnya. Lebih sedih lagi karena anjingnya tak mati saat itu juga. Sebab seandainya itu yang terjadi, anjingnya tak perlu mengalami kesusahan tiap kali musim kawin. Setelah kecelakaan itu anjingnya selalu terlihat murung.

Di depan mereka tikungan yang agak tajam menunggu. Lutfi mengurangi kecepatannya. Sesekali dia melihat ke belakang dari kaca spion. Setelah dua jam menyetir dia merasakan punggungnya mulai sakit. Lalu dia berusaha menegakkan tubuhnya untuk melemaskan otot. Ketika mereka hampir melewati tikungan itu, Lutfi melihat sesuatu tergeletak di depan mereka. Dia menatap lurus melewati kaca matanya. “Apa itu?” katanya pada diri sendiri. Sesaat kemudian, seperti mendapat satu tinju di bibir mendadak Lutfi berteriak histeris, “Lihat! Lihat!” Guncangan mobil dan suara benturan yang lemah mengikuti kemudian. Gede meremas sabuk pengaman dengan erat dan menggigit rokoknya kuat-kuat.

Teriakan Lutfi yang terdengar seperti teriakan orang yang hampir ditabrak shinkansen mengejutkan Gede. “Ada apa?” tanyanya.

“Ya, Tuhan,” gumamnya. Mulut Lutfi terus berdecak-decak heran dari balik kemudi.

Tanpa menoleh, dengan tangan kiri Lutfi menunjuk ke belakang. Patahan ranting pohon tergeletak di tengah jalan. Ranting itu sebagian besar berada di lajur berlawanan. Hanya ujungnya yang masuk ke lajur mereka.

“Memangnya kenapa?”

“Kau tak lihat? Ranting itu cukup besar. Kalau dilindas mobil mungkin saja hanya bikin sedikit guncangan dan syok. Tapi beda halnya dengan pengendara motor. Ranting itu bisa saja bikin mereka terpeleset dan jatuh. Orang-orang bisa patah tulang. Bahkan mati. Kenapa tak ada orang yang berusaha menyingkirkannya.”

“Ya, ya,” jawab Gede tenang. “Tapi, mungkin ranting itu baru saja patah dan jatuh.”

Sepintas Lutfi menatapnya dengan tatapan yang aneh. Tapi tak mengatakan apa pun. Dari jok belakang, Gede mengambil sebotol air mineral dan menenggaknya dengan rakus. Dia menawari Lutfi, tapi ditolaknya. Mereka tak bicara apapun setelah itu. Untuk menepis kebosanan, Lutfi lalu menyetel radio dan berhenti di salah satu saluran yang memutar Hard Sun yang dinyanyikan Eddie Vedder. Gede terlihat tak begitu suka, tapi kali ini dia memilih diam. Kebisuan mereka baru berakhir ketika Gede mengumumkan rencananya.

“Bagaimana kalau nanti kita menyewa jukung dan mendayung hingga ke tengah danau?” usul Gede dengan gempita.

“Buat apa?”

“Dari sana kita bisa berteriak sepuasnya tanpa peduli apa kata orang.”

“Kuharap begitu,” ujarnya tak begitu tertarik.

“Kuharap begitu,” sahut Gede menirukan kata-kata Lutfi dengan nada mengejek. “Kau lebih baik bilang bahwa hal itu menarik dan mengasyikkan kalau tak mau aku mengacak-acak rambutmu.”

“Ya,” kata Lutfi, “hal itu menarik dan mengasyikkan.”

“Nah, begitulah seharusnya,” kata Gede. “Disana kau bisa bernyanyi sepuasnya.”

“That’s a shot!” kata Lutfi terdengar dipaksakan.

“Ya,” kata Gede, “menarik, ‘kan?”

“Dan aku bebas menyanyi meski dengan suara secempreng panci bocor.”

“Tentu,” sahut Gede tetap bersemangat.

“Aku juga ingin menangis disana,” gumam Lutfi. Sebelum kawannya mengatakan apa pun, dia segera menambahkan, “Ya, semua orang akan senang menangis disana, ‘kan?”

Gede tak menjawab. Lutfi mematikan radio dan melempar badannya ke belakang dan bersandar malas. Mobil melaju pelan.

“Seandainya saja kita ditemani beberapa botol Bir Bintang,” celetuk Lutfi penuh arti.

Gede menatap botol air mineral yang isinya tinggal setengah. Lalu, “Kenapa bukan kopi hangat?”

“Aku tak sedang mengantuk, De.”

“Kamu tak mesti mengantuk untuk minum kopi,” kata Gede penuh kemenangan.

Untuk sesaat mulut mereka sama-sama terkatup. Kabut putih yang tipis mulai melingkupi sekeliling. Udara Tamblingan menjamu mereka dengan hidangan kesejukan yang meriah. Gede menuliskan “kopi” di kaca depan mobil yang mengembun dan memamerkan wajah gembira yang aneh. Sementara Lutfi, yang menyadari apa yang dimaksud Gede, memintanya segera membuang rokok dan menyalakan AC untuk menghilangkan embun. Mobil mereka berbalik arah.

“Apa kau tahu kedai kopi yang enak di sekitar sini?” tanya Lutfi kemudian.

 

Denpasar, 20-25 Juni 2015

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun