Mohon tunggu...
Rai Sukmaning
Rai Sukmaning Mohon Tunggu... Administrasi - Perekayasa

Tinggal di Bali.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sama Sekali Tak Tercium Aroma Bunga maupun Setanggi

3 Juli 2015   00:24 Diperbarui: 3 Juli 2015   00:24 402
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Ya, aku baik-baik saja,” kuulangi kata-kataku dengan cepat dan ketus.

“Apa?” tanyanya lagi. Tak kujawab. “Orang aneh,” dia menukas.

Oh, Nona yang manis, izinkalah hambamu ini istirahat barang sebentar saja. Ya, sebentar saja. Kalau sudah cukup tenaga aku akan melompat-lompat seperti kuda sirkus, berlari kian kemari, menumpahkan kekesalan. Tunggu sebentar lagi.

Kesal dengan perempuan ini, akhirnya aku memutuskan diam. Aku lempar pandang ke seantero sudut ruangan. Serba putih. Sungguh membosankan. Tempat ini terlihat seperti penjara yang siap melemahkan tiap otot dan syaraf narapidana di dalamnya. Bahkan bunga diatas meja adalah mawar putih. Meski secara keseluruhan, ruangan ini tampak begitu bagus. Seharusnya, untuk seorang mahasiswa yang hidup dari pekerjaan paruh waktu, aku hanya bisa dirawat di ruangan kelas tiga atau dua. Sedangkan ini pasti ruang kelas satu. Ruangan yang terlalu berlebihan buatku. Ada TV, pendingin ruangan, tempat duduk untuk penjenguk, kulkas, dan benda-benda kecil lain yang kesemuanya tak ada di kamar flatku. Hanya kasur yang sama-sama ada, namun tak seempuk ini. Luas ruangan ini bahkan lebih dari dua kali luas kamar flatku. Syukurlah aku sakit, pikirku.

Namun pikiran itu buru-buru aku buang. Masalahnya, bagaimana aku akan membayar semua ini? Uang tabunganku pasti tak cukup. Aku pun tak yakin bos di tempat kerjaku mau membayarnya. Untuk satu gelas yang pecah saja aku mesti ganti rugi, tidak mungkin dia mau membayar tagihan rumah sakitku. Setelah pertimbangan serba singkat tersebut, akhirnya aku memutuskan untuk menarik kembali syukur atas sakitku ini dan menggantinya dengan rasa cemas.

“Kali ini aku serius, Nona. Jangan mempermainkanku lagi. Siapa yang membawaku kesini? Aku mesti berterimakasih padanya.”

Perempuan itu memandangku dengan matanya yang jernih. Namun ia tak menjawab. Dia berpaling pada lantai, seolah diriku ini gembel yang memang wajar diabaikan. Jari tangannya bergerak tak keruan. Sebentar aku merasa dia tengah berusaha berada di tempat lain. Ada apa dengan perempuan ini? Apakah ada pertanyaanku yang salah?

“Siapa yang mem-ba-wa-ku ke-si-ni, Nona?” tanyaku mengejar. Dia bergeming.

Entah kenapa aku malah merasa bersalah, dan mulai berpikir untuk memperbaiki keadaan. Aku mulai menjelaskan bahwa yang ingin kutahu hanya penjelasan singkat tentang siapa yang membawaku kemari, dan bagaimana. Mungkin aku terdengar menuntut dan karena itu aku minta maaf. Semua itu kulakukan memang dengan sedikit terpaksa, tapi tidak berarti aku sama sekali takkan mengatakannya. Meski sedikit tergesa-gesa aku telah mengatakannya dan menunjukkan bahwa aku lelaki yang cukup baik. Aku tersenyum padanya dan kembali bertanya, “Siapakah nama orang itu, Nona?” Namun, yang kudengar hanya komposisi 4’33”. Aku mengulanginya sekali lagi. Kali ini dengan suara lebih lembut. Dia tetap bergeming.

Pertama kali aku bertemu perempuan seperti ini. Tepatnya untuk pertama kali ketika aku masuk rumah sakit dalam keadaan tak sadarkan diri, dan ketika siuman mendapati perempuan seperti ini. Tak ada yang salah dengan pertanyaanku. Tidak juga kasar ataupun menyinggung. Tapi lihat hasilnya, dia cuma bergeming. Seolah aku telah mengungkit masa lalunya yang kelam dan mengobrak-abrik kenangan indahnya.

Aku mencoba mengerti jalan pikirannya. Hidup ini memang menyebalkan, Nona. Takdir telah membuatmu berada di ruangan ini bersama seorang bajingan yang tak kau kenal. Memaksamu meratapi pertanyaan-pertanyaanku yang terdengar kasar dan interogatif. Tapi aku tak mau terjebak dan aku bukan seorang Komisaris Polisi ataupun sebangsanya. Tenang saja, kalau Nona akhirnya memuncak dan merasa benar-benar terganggu, tidak akan melanggar hukum jika Nona menampar seorang sakit di ranjang sakitnya. Tentu saja aku tak berharap dia sungguh-sungguh melakukannya. Kalaupun itu benar-benar terjadi aku takkan bisa menghindar dengan kondisiku saat ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun