Istriku bergegas tanpa menjawab. Kompor masih menyala. Sekejap kemudian suara tangisan hilang.
“Yah, beginilah rumah tangga…” dia menyebut namaku, “saat menikah kelak, kamu akan mengerti.”
Untuk sejenak kerongkonganku terasa dijejali pasir gurun. Kata-kata yang selama ini hinggap di kepalaku seakan disedot habis oleh pasir hisap. Kagok. Gugup. Aneh jika perasaan semacam itu muncul dibenak seorang suami. Tapi begitulah kenyataannya.
Aku tak melihat wajah istriku. Tapi, dalam bayanganku, sekarang dia telah berubah jadi Dewi Durga. Aku mesti memperbaiki keadaan, pikirku. Lalu, dengan tergesa-gesa kususun kata-kata yang jadinya seperti ini:
“Sindiranmu terdengar menyakitkan, Sayang. Aku rasa tak tepat dikeluarkan saat jam makan. Apa kamu sudah bosan memasak untukku?”
“Tentu saja tidak. Tak ada alasan aku bosan,” jawabnya begitu sabar. “Apakah aku kehilangan kecepatan?”
“Hampir, Sayang. Sudah hampir setengah jam,” jawabku.
“O, kalau begitu akan kumasakkan telur mata sapi untukmu.”
Kali ini kata-katanya terdengar lamat-lamat, terlingkupi suara telur dimasak. Bau margarin, telur, dan garam meruap menggenjot seantero ruangan. Aku jadi mual. Di depan meja makan, gelas yang telah kosong ragu-ragu untuk kuisi kembali.
(Renon, 9-10 Juni 2015)