Ibuku selalu menasehatiku untuk mencari istri lebih muda. Paling tidak beda lima tahun. Itu ideal, katanya. Aku selalu menjawab, watak tak bisa diukur usia. Lalu, dia pun mulai bercerita bagaimana pernikahannya yang kandas dengan ayahku. Ayahku disebutnya “macan tanpa belang,” kekanak-kanakan, dan orang yang menguasai 1001 cara bertindak ceroboh. Aku menaruh simpati pada ibuku. Tapi aku agak kesal, kenapa dia selalu merasa bajunya akan pas untuk setiap orang. Bahwa aku bukan ayahku, sudah jelas.
“Mungkin kita perlu menyewa pengasuh anak,” kataku membuka obrolan.
Istriku yang daritadi sibuk menyiapkan makanan pengganti telur dadar laknat, dengan cepat menjawab, “Kurasa itu tak perlu.”
“Tentu perlu,” aku diam sesaat. “Perlu sekali. Aku tak ingin melihat istriku menopause di usia dua puluh tujuh.”
“Kamu terlalu menganggap remeh istrimu,” katanya santai.
“Tidak, Sayang. Sama sekali tidak,” kataku. “Lalu?” dia balik bertanya.
“Aku hanya ingin kamu punya waktu istirahat lebih. Aku perhatikan akhir-akhir ini wajahmu pucat. Kamu kurang tidur,” jawabku.
“Bagaimana dengan ide menambah jam untuk tiap hari? Tiga puluh jam dalam sehari mungkin akan cukup untukmu,” celetuknya.
Aku menatap wajah istriku lekat-lekat. Sesimpul senyum yang mengesalkan mencuat dari bibirnya.
“Aku rasa sindiran halusmu itu bisa kamu simpan dulu sekarang,” kataku kesal.
Dari arah kamar terdengar suara tangisan. “Kamu dengar itu?”