Mohon tunggu...
Rai Sukmaning
Rai Sukmaning Mohon Tunggu... Administrasi - Perekayasa

Tinggal di Bali.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Telur Mata Sapi

29 Juni 2015   16:39 Diperbarui: 29 Juni 2015   16:39 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dia menangkap gelagatku, lalu dengan sigap menyingkirkan sepiring telur dadar dari meja makan. Tanpa menoleh, dia membawa makanan laknat itu menjauh.

Lantas dia berkata, “Maafkan aku sayang.” Aku bertanya, “Ada apa denganmu?”

“Ada apa apanya maksudmu?”

“Telur dadar itu.”

“Maafkan aku. Aku lupa kamu alergi telur,” katanya. “Kenapa bisa?” aku mengejar.

“Tentu saja bisa,” jawabnya sabar. “Waktu terus berjalan.”

Aku diam. Sepertinya istriku juga.

Sebelumnya, istriku tak pernah lupa aku alergi pada telur. Sebab, itu semacam titik lemah diriku—aku bisa enek hanya dengan mencium baunya—dan dia peduli akan hal itu. Walau begitu, aku rasa wajar saja. Mengurus anak bisa mengurangi daya ingat, pikirku.

Dua minggu lalu, istriku menunjukkan buku resep masakan Jepang yang baru dibelinya. Buku itu berjudul: Resep Lengkap Masakan Rumahan ala Jepang. Katanya, dia membeli buku itu hanya untuk bacaan di waktu senggang. Aku pikir, itu bagus untuknya. Namun, apa enaknya membaca buku resep tanpa mempraktikkannya. Jadi, aku bertanya apakah dia akan mencoba resep-resep di buku itu. Dia berkata, “Tidak, itu tak perlu. Aku tak punya cukup mulut untuk memakannya.” Karena merasa tersinggung, aku membanting koran di tanganku, lalu menghilang ke dalam kamar. Saat itu, aku merasa malu pada diriku sendiri.

Dulu, istriku adalah seorang juru masak. Dia begitu berbakat. Di usia muda dia sudah bekerja di sebuah restoran mewah di Ubud. Setelah kami menikah dia terpaksa pulang pergi Ubud-Denpasar setiap harinya. Lima bulan lalu, ketika anak kami lahir, dia memutuskan berhenti. Dia ingin fokus mengurus anak dan menolak saranku untuk menyewa pengasuh anak. Aku setuju saja. Demi anak. Aku hanya sedikit khawatir, sebab memasak bukan cuma pekerjaan, tapi kegemarannya. Dia bilang, tak apa-apa. Aku bertanya dalam hati, apa aku benar-benar telah mengenal perempuan ini?

Kami pacaran lima tahun lebih. Menikah di usia sama-sama dua puluh tiga. Meski kami seumuran, aku selalu merasa dia lebih dewasa dariku. Pernah di satu acara keluarga, setengah mabuk aku berseloroh, “Aku takkan pernah menikah seumur hidupku. Bahkan sampai dunia kiamat.” Melihat raut kecewa—bercampur malu—di wajah sanak keluargaku dia cepat-cepat menimpali, “Pria kecil disana,” menunjukku, “mengatakan takkan pernah menikah seumur hidupnya. Dia yakin bahwa aku ini istrinya, bahkan jauh sebelum dia lahir ke dunia.” Tak kusangka, setelah itu, keluargaku dengan polos menyanjungku sebagai pria romantis. Mengatakan bahwa aku ini pria Bali dengan jiwa seorang Perancis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun