Mohon tunggu...
Lulu Sukma Wardani
Lulu Sukma Wardani Mohon Tunggu... Ilmuwan - A Student

Tentang kehidupan, dari sudut pandang Psikologi

Selanjutnya

Tutup

Money

Move on, secepat itu?

26 April 2017   21:49 Diperbarui: 16 November 2018   09:24 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kecewa itu sesuatu yang lumrah dirasakan semua orang, jika harapan tidak sesuai dengan kenyataan. Tapi intensitas kekecewaan itu berbeda, tergantung bagaimana kita memaknai stimulus yang membuat kita kecewa dan seberapa besar harapan itu diberikan.

Suatu ketika aku dikecewakan oleh seseorang. Tidak habis pikir, apa yang membuatnya setega itu. Orang yang selama ini ku percaya, mudah sekali menyakiti dan mengecewakanku seperti membalikkan telapak tangan. Masihkah beralasan takdir? Mau kembali lagi pada masa aliran jabariyah? yang harus pasrah dan terpaksa menerima takdir Tuhan? Adilkah? Tentu sakit rasanya, sangat sakit. 

Entah, tak bisa diceritakan rasa sakit itu, hanya bisa dirasakan. Namun ujungnya juga berdampak pada aktivitasku. Apalagi orang yang mengecewakan kita adalah orang yang sangat dekat dengan kita. Akhirnya, rasa kecewanya sangat dalam. Benar-benar tidak dapat diterima, membayangkan kepercayaan yang selama ini telah aku berikan lalu dikhianati. Apakah tidak ada ruang sedikitpun untuk memikirkan kondisiku? Apakah seegois itu? Sama sekali tidak memikirkan bagaimana perasaanku? Ahh!

Kita memang seharusnya berharap sewajarnya terhadap sesuatu, tidak pesimis juga tidak berlebihan. Tetapi akan ada intensi berlebihan kalau ada stimulus yang memperkuat harapan kita. Misalnya dalam bentuk janji yang diberikan seseorang.Ya, harapan itu bisa berlebihan karena adanya sebuah janji, tetapi bisa diminimalisir jika persepsi terhadap janji itu disederhanakan. Sayangnya tidak padaku saat itu, aku menerima janji itu dengan kepercayaan yang besar.

Saat kondisi ini datang, aku menghubungkannya dengan teori yang pernahku pelajari di kelas. Jika kita merasakan emosi (entah itu marah, stress, kecewa, atau bahkan senang)  yang berlebihan, system saraf simpatik kita sedang aktif. Detak jantung menjadi berdetak lebih cepat, pupil menjadi lebih lebar, aliran ludah terhambat, dan lain sebagainya. Lalu untuk meredakan emosi ini—kondisi keseimbangan harus tetap terjaga—yang harus diaktifkan adalah sistem saraf parasimpatiknya. Saraf para simpatik ini memiliki fungsi yang berlawanan dengan fungsi sistem saraf simpatik. Dalam hal ini, lakukanlah relaksasi.

So, inilah yang aku terapkan, emosi yang aku rasakan adalah sudah barang tentu, sangat kecewa. Sesaat aku diam, menghela nafas panjang, lalu mengeluarkannya dengan rileks sambil mengucapkan istighfar. Yang perlu kita lakukan dalam kondisi ini adalah mengeluarkan luapan emosi yang terpendam dengan cara katarsis, aku menceritakan apa yang aku rasakan ini kepada seseorang yang ku percaya, seseorang yang aku yakini bisa memberikanku support. Yah, memang harus dikeluarkan, jangan dipendam atau bahkan dipelihara. Meskipun sakitnya hanya bisa dirasakan sendiri, setidaknya apa yang dirasakan itu dapat terbuang semua.

Sekarang, aku tinggal memilih. Bangkit, atau diam. Tetapi, diam hanya akan membuatku merasakan sakit yang lama.

Hanya ada satu cara agar kondisi ini tidak memaksa kita untuk terus diam dalam kondisi jatuh, yaitu berdamai dengan perasaanku sendiri. Pertama, mintalah hati untuk mau menerima kondisi ini. Unconditional positive regard, kata Carl Rogers—menerima kondisi ini tanpa syarat, ikhlas. Sadari, dan rasakan semua yang sedang terjadi. 

Keluarkan semua emosi marah, sedih, atas kecewa itu. Rasakan sedalam-dalamnya, habiskan. Dan ucapkan kata-kata yang bisa membuat kita tenang, misalnya zikir. Ucapkan sambil dirasakan. Seketika aku mendapatkan insight di sini, tentang siapa aku, apa tujuan hidupku, dan betapa banyak nikmat yang selama ini aku dapatkan lalu hanya karena satu harapan tidak tercapai kenapa harus menjadi jatuh.

Bukankah ini adalah ujian? Yang menentukan kita bisa lolos ke level berikutnya atau tidak, dan grade kita akan menjadi lebih tinggi lagi? Setelah kita bisa menyelesaikannya dengan baik, bukankah kekuatan kita akan semakin bertambah? Kita dipersiapkan agar lebih mampu menghadapi ujian-ujian selanjutnya. Yang lalu biarlah berlalu, aku akan menjadikannya sebagai pelajaran yang berharga. Pengalaman ini akan menjadikanku lebih baik lagi dari sebelumnya, terutama lebih dewasa dan bijaksana.

Tidak hanya sampai di sini. Setelah aku menyadari dan menerima kondisi itu dengan sepenuh hati, selanjutnya adalah memaafkan. Kalau aku belum mau memaafkan, artinya aku masih berfokus pada perasaan sakit yang aku rasakan. Memaafkan bukan hanya untuk kebaikan dia yang telah membuatku kecewa, tetapi lebih pada ketentraman dan kedamaian dalam diriku sendiri. Bukankah Allah Maha Pemaaf? Bukankah Allah begitu setia kepadaku? Walaupun aku sering mengecewakan-Nya? Lalu ketika aku kecewa kepada orang, apa hak ku untuk membencinya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun