Mohon tunggu...
Sukma Hari Purwoko
Sukma Hari Purwoko Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Politik, Basketball Fans. Salam Budaya Literasi !

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pertautan Kinerja Pembangunan Ekonomi dan Kinerja Demokrasi

16 Agustus 2013   16:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:14 420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

“Salah satu alasan utama mengapa Rawls gagal melihat sisi produktif keadilan dapat ditemukan dalam pemahamannya tentang bagaimana orang-orang tertentu memproduksi lebih banyak dibandingkan orang lain. Bagi Rawls, bisa lebih banyak menghasilkan hanya karena mereka lebih diberkahi dengan asset-aset alamiah (Bakat dan Kemampuan).

Dan distribusi asset-aset alamiah ini sangat dipengaruhi oleh kontingensi-kontingensi sosial, yang menurut Rawls “sangat arbitrer dari sudut pandang moral”. Dan karena semua itu sangat arbitrer, hal ini berarti bahwa kontingensi-kontingensi sosial tersebut tidak relevan secara moral. Karena itu kemampuan sebagian orang untuk memproduksi lebih banyak juga harus dilihat sebagai tidak relevan secara moral. Dan garis pemikiran ini, tidak mengejutkan jika posisi awal Rawls secara sadar mengabaikan asal-usul distribusi dan sejarah produksi”

Bagi saya, tafsir keadilan sudah sedemikian jelas melalui teori hak atas keadilan yang digagas oleh seorang Nozick. Lalu, apakah kita masih akan terus berdebat tentang konsep keadilan, seperti yang sering kita lakukan selama ini? Keadilan sosial dan ekonomi memiliki perbedaan yang sangat mendasar yang terkadang memang sedikit susah kita bedakan.

Konsep Negara Minimal ini menggambarkan adanya modernisasi diseluruh sendi-sendi kehidupan Negara, baik aspek ekonomi, politik, dan sosial. Pasar bebas yang semakin tidak terbendung menuntut Negara untuk berperan sekecil-kecilnya dalam kegiatan ekonomi masyarakat, dimana tingkat perekonomian tersebut akan berpengaruh pada bagaimana bejalannya proses demokratisasi dan kualitas demokrasi itu sendiri.

2. State Buliding (Memperkuat Negara)

Liberalisasi ekonomi bukan hanya membutuhkan deregulasi dan debirokratisasi, namun juga pemerintahan yang kuat, otoritatif sehingga mampu menciptakan stabilitas Negara. Syarat yang sama juga berlaku untuk demokratisasi. Tanpa pemerintahan yang kuat dan stabil, transisi dari rejim  otoritarian di berbagai Negara justru bermuara pada kondisi-kondisi “failed-state” (Agus Sudibyo, 2008).

Dalam konteks inilah, Francis Fukuyama (2004) mengajukan gagasan “memperkuat negara”. Gagasan yang sepintas lalu berseberangan dengan gagasan liberalisasi dan demokratisasi sebagaimana didukung  Fukuyama sebelumnya. Liberalisasi ekonomi mensyaratkan reduksi derajat campur-tangan negara dalam urusan-urusan ekonomi, sementara demokratisasi bertendensi mengurangi intervensi negara pada urusan-urusan publik. Namun jika dicermati lebih seksama, gagasan “memperkuat negara” justru bersifat komplementer terhadap gagasan liberalisasi dan demokratisasi .

3. Lingkup dan Kapasitas Negara

(Saiful Munjani, 2006) memandang bahwa Fukuyama menyoroti fungsi Negara dari kekuatan yang bisa dibangun, keefektifannya, bukan dari lingkup atau cakupannya. Lingkup artinya wilayah-wilayah yang harus diurusi Negara.  Dari persoalan yang sangat mendasar seperti keamanan dan ketertiban, mengatur monopoli dan lain sebagainya. Sementara mengenai kekuatan Negara, hal ini ditekankan pada fungsi-fungsi elementer Negara yang ada . Rizal Malarangeng (2008) memberikan pengantar yang sangat bagus dimana tidak ada lagi perdebatan filosofis. Pada pemikiran ‘kanan’ ada tradisi pola berpikir Hobbes yang menekankan Negara dibandingkan otonomi individu dan dari pemikiran ‘kiri’ yang menekankan kepada otonomi individu.

Agus Sudibyo (2008) menyatakan Fukuyama membedakan antara lingkup dan kapasitas negara. Dan yang dibayangkan bukanlah gerak pembalikan sejarah menuju statisme Negara, melainkan sistem pemerintahan dengan lingkup otoritas negara yang terbatas, namun dengan kapasitas penyelenggaraan  pemerintahan yang kuat dan stabil. Gagasan “memperkuat negara” lebih berurusan dengan upaya peningkatan kapasitas lembaga-lembaga publik,  kecakapan administratif para pegawai, serta akuntabilitas dan transparansi birokrasi pemerintahan. Tanpa bermaksud melahirkan lembaga-lembaga negara sebagai super body dengan lingkup otoritas yang sangat luas dan sulit dikontrol publik. Fukuyama berbicara tentang proses penguatan negara sekaligus perampingan negara. Namun dalam praktik di lapangan, memang muncul kerancuan antara gerak penguatan negara dan gerak perampingan negara itu.  Proses perampingan negara di berbagai kawasan yang baru lepas dari rejim otoritarian berlangsung secara ekstrim sehingga bukan sekedar lingkup fungsi negara yang semakin menyempit, namun juga pelemahan kapasitas negara secara berlebihan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun