Liberalisasi ekonomi menjadi wacana utama internasional semenjak beberapa dekade silam. Ditandai dengan momentum dua Negara besar yang mengalami keruntuhan atas konstruksi ideologi dan system ekonomi yaitu Negara Cina dan Uni Soviet, system ekonomi liberal tampil sebagai satu system ekonomi tunggal yang mutlak wajib dianut oleh seluruh Negara.
Melalui liberalisasi ekonomi, masyarakat dunia diberi ruang untuk bisa mewujudkan segala bentuk dari ekspresi aktivitas ekonomi. Bermacam iming-iming yang dijanjikan oleh sistem ekonomi liberal adalah kesejahteraan sosial, pemerataan ekonomi masyarakat, sampai pada peningkatan angka harapan hidup masyarakat suatu Negara. Namun lantaran berbedanya kapabilitas sumber daya alam dan sumber daya manusia di masing-masing Negara menjadikan system ekonomi liberal mengalami berbagai macam bentuk terjemahan yang disesuaikan dengan internal di masing-masing Negara. Oleh karena itu dalam penerapannya, system ekonomi liberal tidak menjelma menjadi satu system ekonomi yang matang dan sempurna secara keseluruhan, melainkan membutuhkan banyak koreksi agar terjadi sinkronisasi antara tataran teori dan tataran praksis .
Membahas mengenai system ekonomi pasar bebas, Indonesia adalah salah satu Negara yang turut berpartisipasi aktif dalam euforia liberalisasi ekonomi dunia. Tingginya gap atau kesenjangan sosial di Indonesia secara terus menerus mendapatkan perhatian serius agar mendapatkan evaluasi menuju perbaikan ekonomi. Dalam pidato Profesor Boediono yang beretemakan ekonomi-politik, pada 24 Februari 2007 saat pengukuhan Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM atas dirinya, disampaikan bahwa dalam kasus Indonesia kini terdapat fakta bahwa pembangunan ekonomi memiliki pertautan yang erat dengan jalannya proses demokratisasi. Studi empiris 1950-1990 Zakaria (2003) menunjukkan, batas kritis bagi demokrasi adalah pendapatan per kapita 6.600 dollar AS berdasarkan purchasing power parity (PPP). Karena pendapatan per kapita PPP Indonesia baru sekitar 4.000 dollar AS, maka diperlukan sekitar Sembilan tahun untuk mencapai ‘zona aman’ .
Mengingat proses demokratisasi yang dimulai Indonesia semenjak zaman kemerdekaan hingga kini dengan berbagai macam bentuk demokrasi yang dicoba secara silih berganti, mulai dari demokrasi terpimpin hingga demokrasi keterwakilan, menjadikan Indonesia tak pernah berhenti mencari formulasi yang tepat guna mewujudkan pembangunan ekonomi yang apik. Disamping tingginya dinamika internasional diseluruh aspek kehidupan seperti politik, sosial, dan ekonomi, permasalahan internal Negara juga menunjukkan tantangan tersendiri bagi bangsa Indonesia. Maka dari itu, bangsa Indonesia memilih jalan yang dianggapnya tepat untuk mewujudkan cita-cita pancasila yaitu melalui digulirkannya era reformasi. Alhasil hingga kini, reformasi masih tak kunjung menobatkan dirinya sebagai jawaban dari semua kegelisahan rakyat Indonesia, terutama dalam hal pembangunan ekonomi. Terbukti, angka kemiskinan dan belum terentasnya angka pengangguran secara maksimal masih menghinggapi sekaligus menjadi problem besar yang dihadapi bangsa Indonesia dewasa ini.
1. Konsep Negara Minimal Robert Nozick Sebagai Jawaban Terhadap Tuntutan Liberalisasi Ekonomi
Berangkat dari skeptisme terhadap makna keadilan, ulasan ini berusaha untuk memberikan tafsir tentang keadilan dari berbagai perspektif. Dan, sebelum beranjak jauh untuk membahas “Negara Minimal” Nozick, kita perlu mengetahui berbagai pemahaman tentang konsep keadilan dari berbagai sudut pandang.
Ada keadilan distributif milik John Rawls, teori hak atas keadilan versi Nozick, dan banyak lagi yang lainnya. Meskipun masih banyak lagi konsep-konsep keadilan, namun, tulisan ini akan concern mengulas perspektif keadilan versi Robert Nozick dan John Rawls, sebagaimana Nozick melancarkan kritiknya terhadap Theory of Justice karya Rawls melalui teori hak atas keadilan (Entitlement Theory of Justice).
Anarchy, State, And Utopia karya Nozick merupakan manifesto kritik Nozick terhadap Rawls. Keadilan distributive dinilai tidak melihat bagaimana kemunculan keadilan itu muncul. Keadilan distributif tidak melihat ‘apa dan siapa yang akhirnya memiliki’ namun cenderung melihat ‘bagaimana keadilan itu di distribusikan’. Dari perhatian yang menunjukkan perbedaan makna keduanya, jika kita jeli, kita bisa mengamati bahwa peran lembaga bernama Negara memainkan posisi yang sangat penting.
Negara, sebagai organisasi yang dilegitimasi masyarakat, menjadi tumpuan dimana keadilan itu bisa didapatkan. Dengan asumsi bahwa Negara adalah organisasi yang dibayar untuk melindungi hak-hak dasar individu, maka dari itu Nozick menggagas bentuk ideal Negara yang ‘Minimal’ atau yang lebih dikenal dengan istilah ‘Minimal State’.
Tidak terelakkan bahwa Minimal State dihadirkan tidak lebih dari sekadar sebagai pelindung hak-hak dasar, dan, Minimal State, menginginkan intervensi Negara yang harus direduksi semaksimal mungkin. Kemudian, jika kita kerucutkan dalam aspek ekonomi, pasar dan perdaganagn bebas merupakan satu-satunya jalan untuk bisa mewujudkan Minimal State. Dengan kata lain, asumsi penulis tentang konsep keadilan Nozick, adanya pasar dan perdagangan bebas mampu menjelaskan asal-muasal dari ‘keadilan’. Menurut Nozick, konsep keadilan harus dipahami secara historis, bukan ahistoris seperti Theory of Justice milik John Rawls.
Nozick melontarkan kritiknya terhadap keadilan distributif karena konsep keadilan ini dicurigai pada perampasan hak kepemilikan individu. Misalnya, pengenaan pajak penghasilan. Pajak penghasilan, sebagaimana diyakini sebagai bentuk keadilan distributive Rawls, merupakan pajak yang dibebankan pada penghasilan seseorang (Wikipedia.org). Dengan kata lain, bagi Nozick, Rawls telah gagal berlaku adil pada mereka yang memproduksi sesuatu. Seperti yang ditulis oleh Celli (2008) dalam ‘Dari Langit’;