Hallo kompasianer dan teman-teman semua dari Sabang sampai Merauke. Selamat membuka mata di hari yang indah ini. Nikmati semua proses yang sedang loading, nanti juga ada momentum succesfull/uploaded. Kali ini saya hanya akan membagikan benak pikiran yang tadi sempat terlewat dalam otak. Yakni tentang konsep seperti judul di atas.
Sering kali kita terjebak dengan pemahaman konsep istilah atau retorika "apa adanya" dan "ada apanya". Saat kita mendengar bahasa "apa adanya", seakan-akan kita harus tampil seadanya tanpa ada yang harus diperbaiki karena yaaa apa adanya. Sehingga tidak sedikit orang-orang memahami bahasa tersebut dengan kesan yang tidak maju, tampil seadanya, berusaha seadanya tanpa ada usaha, apa pun seadanya, tidak ada yang dilebih-lebihkan yang berakibat pada malasnya berusaha atau tampil lebih baik.
Atau mungkin, kita juga sering dikatakan orang lain, kamu "ada apanya"?. Yang terkesan hanyalah rasa direndahkan atau diragukan dalam suatu hal atau beberapa aspek yang ada pada diri kita. Sehingga berdampak pada melemahnya mental dan kepercayaan diri masing-masing.
Lalu apakah semua itu benar?
Jika ditinjau dari fakta sosial yaaa benar juga, sering kali teman-teman mungkin merasakan hal seperti itu. Baik itu sebagai pelaku atau pun korban. Pelaku yakni orang yang mengatakannya pada orang lain. Korban yakni orang yang dilontari bahasa seperti itu. Kita sering kali menjadi pelaku apa korban nih? Wkwk.
Namun, apakah ada yang harus benahi dari kedua konsep bahasa tersebut?
Jelas, mesti ada yang dibenahi dari kedua konsep bahasa tersebut. Berikut pandangan penjelasanku tentang hal tersebut, yang pada dasarnya kedua konsep bahasa tersebut memiliki persamaan ditinjau dari manfaatnya untuk self-improvement (perbaikan/pengembangan diri) dan juga memiliki perbedaan yang signifikan ditinjau dari subjek-objeknya. Oleh karena itu, kedua konsep bahasa tersebut bisa menjadi prinsip hidup yang mesti tertanam pada diri kita masing-masing.
1. "Apa Adanya"
Bahasa ini seharusnya diterapkan pada diri kita sebagai prinsip untuk senantiasa jujur. Jujur pada diri sendiri dan orang lain dari segi sikap, kemampuan akademik/non-akademik, dan penampilan gaya hidup yang disesuaikan dengan keadaan ekonomi kita khususnya.Â
Karena dengan jujur apa adanyalah kita dapat hidup merdeka tanpa harus menjadikan penilaian orang lain sebagai acuan utama. Namun, penilaian orang lain itu bisa menjadi bahan evaluasi untuk lebih baik.
Contoh sederhana dan realitanya, sering kali kita tidak jujur pada diri dalam hal penampilan. Berpenampilan bagus dan menarik itu memang indah, tapi mesti disesuaikan dengan keadaan kita sendiri. Baik itu dari segi sikap, kemampuan, dan ekonomi utamanya.
Memaksakan kehendak untuk mengikuti semua penilaian orang lain adalah perbuatan yang menyia-nyiakan diri sendiri. Apalagi sampai menyusahkan orang tua sendiri untuk memenuhi semuanya. Sangat miris rasanya yaaa. Kita hidup itu untuk diri sendiri atau memenuhi semua penilai orang lain? yang nyatanya orang lain pun sering kali sebenarnya tidak begitu peduli dan memberikan manfaat pada diri kita sendiri.
Berusaha untuk lebih baik tentu bukan hal yang buruk. Namun, yaaa seperti tadi yang menjadikan konsep "apa adanya"Â itu terkesan negatif adalah adanya unsur memaksakan kehendak sedangkan keadaan belum mendukung. Bahkan sampai menyusahkan orang lain, orang tua khususnya.
Tetapi konsep ini pun jangan diartikan dengan pola pikir yang picik pula. Seakan-akan kita tidak perlu usaha untuk menjadi lebih baik, sudah saja seperti ini apa adanya. Tidak! Tentu bukan seperti itu yang dimaksud.
Intinya konsep "apa adanya" harus dipahami sebagai berikut.
- Berusaha untuk senantiasa jujur  Â
- Jujur pada keadaan diri sendiri (sikap, kemampuan, dan keadaan)
- Tidak memaksakan kehendak
- Berusaha untuk menjadi lebih baik
2. "Ada Apanya"
Nah, adapun konsep ini sering kali mungkin kita menjadi korban wkwkw. Apalagi berkaitan dengan hubungn asmara di masa remaja menuju dewasa. Konsep ini sejatinya tidak memberikan kesan merendahkan jika dilontarkan oleh hati diri sendiri. Coba deh kita kalau bercermin sambil ngobrol sama bayangan kita sendiri. Lalu tanyakan, kamu ada apanya?. Kebayangkan apa kira-kira yang dihasilkan.
Ya, tiada lain yang dihasilkan adalah rasa untuk mengevaluasi diri kita sendiri. Yang dalam bahasa sosialnya kita mengenal istilah intropeksi diri. Intropeksi diri, apa kekurangan yang bisa dan harus diperbaiki secepat mungkin atau apa kekurangan kita yang harus diimbangi dengan kelebihan kita.
Namun, tentu saja konsep ini menjadi terkesan negatif jika keluar dari mulut orang lain. Bisa sangat nyelekit mungkin. Tapi tak mengapa! Sebenarnya jika kita berhati lapang dan berpikir luas kata-kata "ada apanya" tersebut akan menjadi motivasi untuk berusaha lebik baik kedepannya. Sehingga kita bisa membuktikan bahwa kita adalah orang hebat, bukan seorang yang lemah dan pengecut.
Intinya konsep "ada apanya" harus dipahami sebagai berikut.
- Media intropeksi diri
- Jangan dilontarkan kecuali pada diri sendiri
- Berusaha untuk menjadi lebih baik
Berikut tulisan saya tentang dua konsep bahasa yang sering kali kita salah memahami karena baper dan kalah mental duluan wkwkw. Kesimpulannya teruslah berusaha menjadi lebih baik tanpa merugikan orang lain dan teruslah percaya diri walaupun perjuangan kita belum dihargai. Tetap enjoy dan nikmati alur kehidupan. Jangan lupa bersyukur.Â
Hiduplah ada apanya dan teruslah berkembang dengan senantiasa bertanya "aku ada apanya"?
Sekian dan terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H