Mohon tunggu...
Sukito Wibowo
Sukito Wibowo Mohon Tunggu... -

pemulung yang kerja serabutan, terkadang jadi tukang kumpul beling dan barang bekas, di lain waktu jadi tukang kumpul info dari media maupun sesama pemulung.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kekerasan dalam Demokrasi Prematur

26 Juni 2012   03:46 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:31 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_184632" align="alignnone" width="548" caption="gambar ilustrasi (dok.pribadi)"][/caption]

Ironis sekaligus menyedihkan. Di tengah hiruk pikuk kegembiraan pelantikan gubernur dan wakil gubernur Aceh kemarin, ada kesedihan dan wajah-wajah ketakutan  (juga marah) yang mewarnai perjalanan demokrasi di bumi syariah yang terbilang masih sangat prematur. Ada mantan gubernur yang dipukuli massa (massa yang mungkin memilih sang mantan dahulu), ada kader Partai lokal terbesar yang menjadi sasaran penembakan oleh OTK (lagi-lagi) dan ada rumah salah seorang mantan petinggi GAM yang dilempar granat. Kekerasan dalam kehidupan politik Aceh menggambarkan betapa kerdilnya sifat dan prilaku masyarakat dalam merespon dan bereaksi dari berbagai provokasi yang bersifat temporer dan sporadis.

Senang tidak senang, ini adalah wajah kita sekarang, masyarakat yang dahulu kala terkenal ramah, akrab, murah senyum dan hangat kini berganti menjadi wajah-wajah bengis, kejam, penuh kebencian dan kecurigaan serta apatis. Gambaran ini mungkin bentuk dari perubahan zaman sekaligus kelelahan yang sangat kronis atas tekanan hidup yang begitu menghimpit sehingga menjadikan kita pribadi-pribadi yang marah dan pendendam. Pribadi-pribadi ini bisa marah tanpa alasan hanya karena sekedar "teriakan" seseorang untuk pukul...bakar...bunuh...dan sebagainya.

Sebagaimana hal yang terjadi kemarin di depan gedung wakil rakyat Aceh, sebuah lembaga terhormat, wakil rakyat Aceh, seorang mantan gubernur yang harus menjadi korban amuk massa salah satu pihak pendukung gubernur dan wakil gubernur terpilih. Syukur alhamdulillah, beliau baik-baik saja hanya luka memar dan tak ada yang serius. Pertanyaannya sekarang, sang mantan gubernur sudah kalah, ia datang untuk mengucapkan selamat kepada penerusnya, apa lagi? Irwandi, sang mantan bisa memilih untuk tidak datang, seperti Presiden Megawati yang enggan datang menghadiri pelantikan SBY sebagai suksesornya, namun kehadiran Irwandi dalam pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh yang baru patut diacungi jempol, karena hal tersebut menggambarkan kematangan dalam demokrasi, dan merupakan wujud dari kebesaran jiwanya dalam menghadapi kekalahan. Win or lose, just do the best for the people. Ini yang harusnya menjadi sikap para pemimpin dan elit dalam mengawal demokrasi di Aceh.

Waktu Barack Obama berhasil mengalahkan Hillary Clinton dalam pemilihan kandidat Partai Demokrat yang akan maju menjadi Presiden AS, sebagai pihak yang kalah, Hillary tetap menghormati dan bahkan memuji Barack Obama dan berkomitmen mendukung langkahnya menuju Presiden AS. Ini dibuktikan setelah terpilihnya Barack Obama sebagai Presiden AS ke-44, ia meminta "bantuan" Hillary sebagai Menteri Luar negerinya. Luar biasakan? sebuah tontonan demokrasi yang indah dan kebesaran jiwa. Win or lose, do the best for the people.

Memang, pasca konflik puluhan tahun, rakyat Aceh sedang menghadapi masa-masa "pancaroba" dalam kehidupan politik dan sosialnya. Berbagai tindakan intimidasi dan kekerasan kerap mewarnai perjalanan demokrasi di Aceh, dan puncaknya adalah kemarin saat pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh yang baru. Demokrasi adalah pilihan bagi rakyat Aceh, dan untuk itu perlu dikawal bersama-sama. Hukum bagaimanapun harus menjadi organ terpenting dalam demokrasi Aceh yang masih sangat prematur seperti saat ini, apabila rakyat Aceh ingin menikmati manis dan indahnya demokrasi. Jika tidak, maka kekerasan, intimidasi dan  bahkan pembunuhan yang mengorbankan jiwa-jiwa tak berdosa akan  menjadi "pengawal" perjalanan demokrasi Aceh yang penuh intrik dan dendam. Mana yang akan kita pilih?

SW

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun