Mohon tunggu...
Sukir Santoso
Sukir Santoso Mohon Tunggu... Penulis - pensiunan guru yang suka menulis

Peduli pada bidang psikologi, sosiologi, pendidikan, seni, dan budaya. Saya merasa tertarik untuk memahami manusia, bagaimana mereka belajar, serta bagaimana pengalaman budaya dan seni dapat memengaruhi mereka. Saya sangat peduli dengan kesejahteraan sosial dan keadilan, dan mencari cara untuk menerapkan pemahaman tentang psikologi, sosiologi, pendidikan, seni, dan budaya untuk membuat perubahan positif dalam dunia ini.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perlunya Memberikan Atribusi Positif pada Seseorang

7 Mei 2023   10:37 Diperbarui: 7 Mei 2023   10:40 393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

PERLUNYA MEMBERIKAN ATRIBUSI POSITIF

Oleh: Sukir Santoso

Membaca status  Face Book Pak Sentot Haryanto:

Pak Kaji kondur kapan? Sami sugeng taa..

Maaf ditelinga kok aneh Ini kalau pas pulang ke Ndeso...

Pada hal dahulu kala, kalau mendengar Sso diundang dengan sebutan "Pak Haji..." sepertinya keren....

Apakah ada kaitan dengan teori atribusi ya... Kok lali

 

Penulis terus teringat kembali Mata Kuliah Psikologi Sosial dari dosen penulis waktu  kuliah di Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, yakni Bapak Hasan Basri dan Bapak Supidjo Ronodikoro. Beliau  menyatakan bahwa dalam kehidupan sehari-hari, orang secara tidak sadar melakukan atribusi atas perilaku orang lain untuk memahami motivasi dan maksud di balik perilaku tersebut. Namun, atribusi dapat menjadi subjektif dan terkadang salah jika tidak didasarkan pada informasi yang cukup dan konteks yang tepat. Oleh karena itu, penting untuk memahami teori atribusi dan melakukan evaluasi yang kritis dalam melakukan atribusi atas perilaku orang lain.

Teori atribusi dikembangkan oleh dua psikolog sosial, yaitu Fritz Heider dan Harold Kelley pada tahun 1950-an. Heider merupakan pelopor dalam bidang psikologi sosial dan dikenal sebagai "Bapak Psikologi Atribusi". Dia mengembangkan konsep-konsep dasar dalam teori atribusi, termasuk konsep-konsep seperti "prinsip kausalitas" dan "kecenderungan untuk memberikan atribusi personal".

Berikut adalah beberapa contoh bagaimana teori atribusi dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari:

Ketika seseorang melihat temannya terlambat untuk janjian, mereka dapat memberikan atribusi internal atau eksternal. Mereka mungkin menganggap teman mereka terlambat karena memiliki kebiasaan buruk (atribusi internal) atau karena terjebak dalam kemacetan lalu lintas (atribusi eksternal).

Ketika seorang atlet mengalami kekalahan dalam pertandingan, orang lain dapat memberikan atribusi internal atau eksternal. Mereka mungkin menganggap atlet tersebut kalah karena kurang berlatih atau kurang berkonsentrasi (atribusi internal) atau karena lawannya lebih kuat atau faktor keberuntungan yang tidak terduga (atribusi eksternal).

Ketika seorang pegawai mendapatkan kenaikan gaji, rekan kerja dapat memberikan atribusi internal atau eksternal. Mereka mungkin menganggap pegawai tersebut mendapatkan kenaikan gaji karena kerja keras dan kinerja yang baik (atribusi internal) atau karena kebetulan atau favoritisme dari atasan (atribusi eksternal).

Ketika seseorang melihat seseorang lain membantu orang yang membutuhkan di jalanan, mereka dapat memberikan atribusi internal atau eksternal. Mereka mungkin menganggap orang tersebut membantu karena memiliki sifat altruistik yang tinggi (atribusi internal) atau karena faktor sosial seperti norma sosial atau pengaruh dari lingkungan sosial (atribusi eksternal).

Apa bedanya atribusi dengan prasangka?

Atribusi dan prasangka adalah dua konsep yang berbeda dalam bidang psikologi sosial. Meskipun keduanya terkait dengan cara kita memahami dan memberi makna pada orang lain, terdapat perbedaan signifikan antara atribusi dan prasangka.

Atribusi mengacu pada cara kita menjelaskan perilaku orang lain. Atribusi dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu atribusi internal dan atribusi eksternal. Atribusi internal adalah ketika kita menyalahkan perilaku orang lain pada faktor internal seperti kepribadian, sifat, atau karakteristik mereka. Sedangkan atribusi eksternal adalah ketika kita menyalahkan perilaku orang lain pada faktor eksternal seperti situasi, lingkungan, atau faktor lain yang tidak terkait dengan karakteristik pribadi orang tersebut.

Prasangka, di sisi lain, adalah pandangan atau sikap negatif yang kita miliki terhadap kelompok tertentu atau orang yang berbeda dari kelompok kita. Prasangka dapat timbul dari banyak faktor seperti pengalaman pribadi, budaya, stereotip, atau ketidakpastian dalam situasi tertentu. Prasangka dapat memengaruhi cara kita menilai dan memperlakukan orang lain, bahkan sebelum kita memiliki informasi yang cukup tentang mereka.

Perbedaan utama antara atribusi dan prasangka adalah bahwa atribusi berkaitan dengan penjelasan tentang perilaku orang lain, sementara prasangka berkaitan dengan sikap atau pandangan negatif terhadap kelompok atau individu tertentu. Meskipun keduanya dapat mempengaruhi cara kita berinteraksi dengan orang lain, prasangka lebih didasarkan pada ketidaktahuan, stereotip, atau kecenderungan untuk memandang kelompok tertentu secara negatif, sedangkan atribusi lebih didasarkan pada analisis rasional dan penerimaan informasi untuk menjelaskan perilaku orang lain.

Fungsi utama teori atribusi adalah untuk membantu kita memahami perilaku seseorang dengan memberikan penjelasan tentang faktor-faktor apa yang memengaruhi perilaku tersebut. Dalam psikologi sosial, atribusi dianggap sebagai proses kognitif yang mendasar dalam memahami diri sendiri dan orang lain. Dengan memahami teori atribusi, kita dapat mengenali dan memahami motivasi di balik perilaku orang lain, dan membuat keputusan yang lebih tepat dalam interaksi sosial.

 

Teori Atribusi dapat membantu kita dalam beberapa hal:

Membantu kita menentukan faktor apa yang memengaruhi perilaku seseorang. Dalam melakukan atribusi, kita mencoba untuk menentukan apakah perilaku seseorang disebabkan oleh faktor internal seperti kepribadian atau faktor eksternal seperti situasi atau lingkungan. Dengan memahami faktor apa yang memengaruhi perilaku seseorang, kita dapat memahami dan merespons perilaku tersebut dengan cara yang tepat.

Membantu kita memahami persepsi dan penilaian orang lain tentang diri kita sendiri. Teori atribusi juga membantu kita memahami bagaimana orang lain menilai dan memberikan atribusi atas perilaku kita. Dalam memahami bagaimana orang lain melihat kita, kita dapat memperbaiki perilaku kita atau membuat tindakan yang tepat untuk meningkatkan hubungan sosial dengan orang lain.

Membantu kita memahami perilaku kita sendiri. Selain memahami perilaku orang lain, teori atribusi juga membantu kita memahami perilaku kita sendiri dan bagaimana kita memandang diri kita sendiri. Dalam melakukan atribusi, kita dapat mengevaluasi dan memperbaiki perilaku kita sendiri berdasarkan faktor-faktor yang memengaruhinya.

Membantu kita mengatasi kesalahan atribusi. Dalam melakukan atribusi, kita dapat melakukan kesalahan dalam menentukan faktor apa yang memengaruhi perilaku seseorang. Dengan memahami teori atribusi, kita dapat mengenali kesalahan atribusi dan memperbaiki cara kita memberikan atribusi atas perilaku orang lain.

Dengan memahami teori atribusi dan bagaimana cara kita memberikan atribusi atas perilaku orang lain, kita dapat memahami dan merespons perilaku orang lain dengan cara yang lebih baik. Hal ini dapat meningkatkan hubungan sosial kita dengan orang lain dan membantu kita membangun interaksi yang lebih positif dan efektif.

Berarti atribusi yang benar atau positip, adalah bagaimana kita menjelaskan perilaku orang lain. Mengapa dia kok begini dan kenapa dia begitu, apakah terlebih dulu sudah memiliki cukup informasi tentang orang itu. Jadi sudah semacam kenal betul dengannya. Misal sudah mengetahui ciri sifat orangnya, atau memahami kebiasaan dirinya, entah yang dianggap oleh kita itu kebiasaan baik atau buruk, atau dapat terjadi spontan begitu saja karena ada pemahaman dalam diri kita sendiri, bahwa jika ada perilaku seseorang  begini atau begitu, maka itu karena dia bla bla bla (dengan menjelaskan dinamikanya.)

Bila prasangka, hal itu  berangkat dari kekurang pemahaman diri kita tentang orang lain yang kita persepsi itu dan kemudian segera memberikan stempel padanya. Atau berdasarkan pengalaman interaksi kita di masa sebelum dengan "orang sejenis" dengannya.

Atribusi spontan memang bisa terjadi tanpa disadari, tetapi kita dapat melanjutkan proses atribusi tersebut dengan lebih cermat dan teliti, untuk memahami lebih dalam faktor-faktor apa yang memengaruhi perilaku orang tersebut.

Jika atribusi spontan, kita cenderung negatif terhadap seseorang, misalnya kita menganggap bahwa seseorang terlambat datang karena dia malas atau tidak memperhatikan waktu, maka kita harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam prasangka negatif terhadap orang tersebut. Sebagai gantinya, kita perlu mencoba untuk menggali lebih dalam mengenai faktor-faktor apa yang memengaruhi keterlambatan orang tersebut, seperti apakah ada masalah di rumah atau di tempat kerja, atau apakah ada kendala dalam perjalanannya.

Dengan demikian, kita dapat mencegah terjadinya kesalahan atribusi dan prasangka negatif yang tidak adil terhadap orang lain. Sebagai manusia, kita tidak dapat menghindari melakukan atribusi, tetapi kita dapat memperbaiki cara kita melakukan atribusi dan mengambil keputusan yang lebih bijak dan adil terhadap orang lain. Ya betuul sekali. Atribusi spontan memang bisa terjadi tanpa disadari, tetapi kita dapat melanjutkan proses atribusi tersebut dengan lebih cermat dan teliti, untuk memahami lebih dalam faktor-faktor apa yang memengaruhi perilaku orang tersebut.

Taruh kata, kita itu tidak atau kurang kenal dengan seseorang  yang kita lihat sedang berperilaku, Namun karena dalam diri kita itu cenderung memiliki sikap dan cara pandang positif terhadap orang lain, tentu dalam memberi atribusi, bahkan prasangka sekalipun, semestinya akan lebih positif atau fair atau setara (equal).

KISAH PYGMALION

Kita jadi ingat mitologi Yunani tentang sosok Pygmalion yang memiliki sikap dan cara pandang positif. Bagaimana dalam mempersepsi dan kemudian menghakimi orang lain secara lebih positif.

Mari kita sedikit menyimpang dari atribusi untuk mengenal tokoh Pygmalion.

Kisah Pygmalion adalah sebuah cerita dari mitologi Yunani kuno yang menceritakan tentang seorang pematung yang sangat jenius dan mahir bernama Pygmalion. Pygmalion adalah seorang pria yang sangat kesepian dan tidak tertarik pada wanita di sekitarnya, karena ia merasa bahwa mereka tidak sebanding dengan keindahan patung yang telah ia ciptakan.

Pygmalion menghabiskan banyak waktu dan usahanya untuk membuat sebuah patung yang sangat indah dan sempurna, yang ia namai Galatea. Pygmalion sangat jatuh cinta pada patungnya dan merasa bahwa patung tersebut sangat hidup, meskipun sebenarnya hanya terbuat dari marmer.

Setiap harinya, Pygmalion berbicara pada patungnya dengan penuh cinta dan kasih sayang, berharap bahwa patung tersebut akan menjadi nyata dan hidup seperti manusia. Namun sayangnya, permohonannya tidak pernah terkabul, sehingga ia terus hidup sendirian dan kesepian.

Suatu hari, Pygmalion pergi ke kuil Aphrodite, dewi kecantikan dan cinta, untuk memohon bantuan. Ia meminta dewi Aphrodite untuk memberikan kehidupan pada patung Galatea, agar ia dapat menjadi nyata dan hidup seperti manusia.

Dewi Aphrodite merasa tergerak oleh permohonan Pygmalion, dan merespon doa tersebut dengan memberikan kehidupan pada patung Galatea. Ketika Pygmalion kembali ke rumah dan melihat patungnya, ia sangat terkejut dan takjub karena Galatea sudah menjadi manusia yang cantik dan sempurna.

Pygmalion dan Galatea jatuh cinta satu sama lain, dan akhirnya mereka menikah dan hidup bahagia selama bertahun-tahun. Kisah Pygmalion dan Galatea menjadi legenda dan dijadikan sebagai simbol keajaiban cinta dan kekuatan seni.

Atribusi Positif

Satu contoh dari kisah Pygmalion tentang atribusi positif. Suatu hari ada orang yang hendak membeli patung karyanya  dengan menawar-nawar dengan telaten akan harganya. Teman-teman Pygmalion memberikan atribusi negatif dengan menyebut, "betapa kikirnya orang ini", namun Pygmalion berbeda dengan teman-temannya, dan bilang, "barangkali ia sedang membutuhkan uang lebih untuk keperluan yang lain"

Sikap positif terhadap orang lain dapat membantu kita melakukan atribusi yang lebih positif dan adil. Bahkan ketika kita tidak begitu mengenal seseorang, sikap dan pandangan positif kita terhadap manusia pada umumnya dapat membantu kita dalam memberikan atribusi yang lebih positif dan fair pada orang tersebut.

Pygmalion memang merupakan sosok yang memiliki sikap dan pandangan positif terhadap manusia. Dia memandang patungnya sebagai sesuatu yang indah dan memiliki potensi untuk menjadi lebih, dan akhirnya patung tersebut berubah menjadi manusia yang cantik dan menjadi istrinya. Sikap Pygmalion dalam memandang patungnya sebagai sesuatu yang indah dan memiliki potensi yang besar dapat dijadikan contoh dalam cara kita memandang dan memberikan atribusi pada orang lain.

Contoh tentang atribusi kepada pembeli patung karya Pygmalion yang disebutkan juga menunjukkan bagaimana sikap positif dapat membantu kita memberikan atribusi yang lebih baik pada orang lain. Dalam contoh tersebut, Pygmalion tidak memandang orang tersebut sebagai kikir, melainkan memahami bahwa mungkin saja orang tersebut sedang membutuhkan uang untuk keperluan lain. Dengan begitu, Pygmalion tidak terjebak dalam prasangka negatif dan mampu memberikan atribusi yang lebih positif dan adil pada orang tersebut.

Atribusi negatif

Lain kisah, ketika pelawak Marwoto Kawer mengatakan bahwa anaknya, Ariyo, baru saja diwisuda doktor di School Of Biological Sciences The University Adelaide Australia. Dan Ariyo sah sandang gelar Ph.D. Masyarakat menganggap itu hanya banyolan saja, karena masyarakat sudah membentuk pada persepsi mereka bahwa Marwoto sebagai tukang mbanyol. Padahal dia mengatakan sebenarnya, bukan sedang melawak. Maka itulah pentingnya memberikan atribusi positif kepada seseorang.

Penutup

Sebagai penutup perlu ditekankan di sini bahwa memberikan atribusi positif kepada seseorang memiliki banyak dampak positif. 

Atribusi positif dapat meningkatkan hubungan antar individu karena orang merasa dihargai dan dihormati oleh orang lain. Atribusi positif dapat membantu seseorang untuk merasa lebih percaya diri karena mereka merasa diakui dan dihargai oleh orang lain. Memberikan atribusi positif kepada seseorang juga dapat membantu mengurangi prasangka negatif yang mungkin kita miliki tentang mereka.  Atribusi positif dapat mendorong seseorang untuk berkembang secara positif dan meningkatkan kinerja mereka, karena mereka merasa didukung dan dihargai. Dan last but not least atribusi positif dapat meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan karena membuat orang merasa lebih positif dan bahagia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun