Mohon tunggu...
Sukir Santoso
Sukir Santoso Mohon Tunggu... Penulis - pensiunan guru yang suka menulis

Peduli pada bidang psikologi, sosiologi, pendidikan, seni, dan budaya. Saya merasa tertarik untuk memahami manusia, bagaimana mereka belajar, serta bagaimana pengalaman budaya dan seni dapat memengaruhi mereka. Saya sangat peduli dengan kesejahteraan sosial dan keadilan, dan mencari cara untuk menerapkan pemahaman tentang psikologi, sosiologi, pendidikan, seni, dan budaya untuk membuat perubahan positif dalam dunia ini.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Brigadir Jenderal Anumerta Slamet Riyadi

16 Agustus 2021   11:34 Diperbarui: 16 Agustus 2021   18:03 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

BRIGADIR JENDERAL ANUMERTA SLAMET RIYADI

Sukir Santoso

Slamet Riyadi Lahir 26 Juli 1927 di Solo Jawa Tengah. Ayahnya, Raden Ngabehi Prawiropralebdo, seorang abdi dalem kasunanan Surakarta. Ibunya Soetati, seorang penjual buah. Nama asli dari Slamet Riyadi adalah Soekamto. Karena waktu kecil sering sakit-sakitan maka oleh kedua orang tuanya diganti namanya dengan Samet Riyadi.

Setelah merampungkan pendidikannya di Hollandsch-Inlandsce-School (HIS), ia melanjutkan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Setelah lulus dari MULO melanjutkan lagi ke Sekolah Pelayaran Tinggi. Kemudian ia menjadi navigator kapal kayu yang berlayar antar pulau.

Kisah heroiknya dimulai di zaman penjajahan Jepang Ketika ia berhasil membawa lari sebuah kapal Jepang sehingga ia menjadi buronan polisi Jepang, Kenpetai. Meskipun para Kenpetai mengejarnya tetapi  ia tidak pernah tertangkap.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan, Slamet Riyadi berhasil menyusun kekuatan perjuangan setingkat batalyon terdiri dari pemuda bekas PETA dan Heiho. Dan pasukan ini yang mempelopori perjuangan untuk merebut kekuasan politik dan militer Jepang di kota Solo.

Pada awalnya penyerahan kedaulatan di Solo berlangsung secara damai. Watanabe mewakili pemerintah Jepang  menyerahkan kekuasaannya kepada Indonesia. Mereka dengan sukarela menyerahkan senjatanya kepada para pejuang. Tetapi seorang kapten Jepang yang bernama Sato menolak untuk menyerahkan gudang senjata yang berada di bawah kekuasaannya. Ia tidak mau menyerahkan senjata-senjata di gudang kecuali ada perintah dari Tenno Heika.

Pada tanggal 13 Otober 1945 bersama Mr. BPH. Sumodiningrat ketua KNID, Slamet Riyadi mengerahkan batalyonnya menyerbu markas Jepang dikuti para pemuda pejuang. Dalam pertempuran yang berlangsung singkat itu akhirnya Kapten Sato  menyerah.

Karena keberhasilan dalam penyerbuan ini Slamet Riyadi, pemerintah memberikan pangkat Mayor dan mengangkatnya menjadi Komandan Batalyon II TKR.

Pada November hingga Desember 1945 di bawah komando Panglima TKR Kolonel Sudirman, Mayor Slamet Riyadi memimpin batalyonnya berperang melawan Belanda di Ambarawa dan Semarang, bersama pasukan Mayor Soemarto dari magelang, Batalyon 10 dari Yogyakarta yang dipimpin Mayor Soeharto, Batalyon 8 yang dipimpin oleh Mayor Sardjono, pasukan dari Resimen  Purwokerto   yang dipimpin letnan kolonel  Isdiman.

Pada Agresi Militer I pada tahun 1947, Slamet Riyadi melakukan kampanye perang gerilya untuk melawan Belanda di beberapa daerah di Jawa Tengah termasuk Ambarawa dan Semarang. Saat itu ia membawahi resimen 26.

Ketika Belanda melancarkan Agresi Militer II di Yogyakarta sebagai ibu kota negara, Slamet Riyadi berhasil mengusir Belanda di Surakarta dalam pertempuran yang berlangsung dari tanggal 7 hingga 10 Agustus 1945.

Pada 10 Juli 1950 kolonel yang masih berusia 23 tahun itu ditugaskan sebagai bagian dari Operasi Senopati untuk membasmi pemberontakan RMS di Maluku.

Untuk merebut kota Ambon Kolonel Slamet Riyadi membagi pasukannya menjadi dua bagian. Bagian pasukan yang dipimpinya sendiri menyerang dari arah pantai timur, sedang yang sebagian lainnya menyerang dari pantai utara. Dengan mudah Slamet Riyadi berhasil mengambil alih pantai timur dan mendaratkan banyak tentara infanteri dan kendaraan lapis baja.

Pada tanggal 3 November 1050, pasukan Kolonel Slamet Riyadi Bersama pasukan Kolonel Kawilarang  ditugaskan untuk merebut benteng Victoria di kota Ambon. Setelah berhasil melewati hutan bakau dan berkali-kali mendapatkan berondongan senapan dari para pemberontak akhirnya dapat mencapai benteng Victoria pada tanggal  4 November tahun 1950. Kemudian terjadilah pertempuran sengit dengan tentara pemberontak.

Ketika Kolonel Slamet Riyadi menaiki tank menuju markas RMS tembakan senapan mesin menghujaninya. Berondongan tembakan itu menembus baju anti-peluru dan perutnya. Karena luka-lukanya, ia dilarikan ke rumah sakit kapal di perairan Tulehu. Dokter tak berhasil mengobati luka-lukanya dan Kolonel Slamet Riyadi gugur.

Dengan gugurnya Kolonel Slamet Riyadi pemerintah memberikan kenaikan pangkat menjadi Brigadir Jenderal Anumerta.

Dan pada 9 November 2007, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahi Rijadi gelar Pahlawan Nasional Indonesia, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 66 Tahun 2007.

Dirangkum dari berbagai Sumber.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun