“ Besok mau ke kantor pusat ya Pak ?” tanyaku pada Pak Ichtiar, teman sekantorku pada pertengahan bulan April 2005, 9 tahun yang lalu.
“ Mau nitip ?”
Aku cuma dapat tersenyum kecut. Malu. Ternyata Pak Ichtiar sudah tahu maksud pertanyaanku. Tapi aku tak mau menyia-nyiakan kesempatan yang bagus ini. Karena menurutku kesempatan emas tidak akan datang dua kali. Sukses hanya diraih oleh mereka yang sudah menyiapkannya. Siapa cepat, dia dapat. Terserah orang mau bilang apa. Apalagi yang mau ikut ujian sepertiku ini bejibun. Beberapa ratus orang yang dipilih, tapi yang ngantri seluruh pegawai se Indonesia Raya.
Segera kuambil berkas yang tersimpan di laci meja. Seamplop besar. Bakalan lama kalau berkas ini kuposkan. Kalau kutitipkan ke Pak Ichtiar, ada kepastian berkasku sampai di tangan orang yang tepat mengurusinya.
“ Nitip ini ya Pak.” Amplop coklat itu pun berpindah tangan ke Pak Ichtiar, yang besok akan berangkat ke ibukota metropolitan, tempat kantor pusat instansiku berada. Mulutku langsung komat-kamit. Mudah-mudahan berkasku nyampai, do’aku dalam hati.
***
Sebetulnya dengan menitipkan berkas ke Pak Ichtiar, aku termasuk orang yang mencari resiko. Pas hamil, kok malah mau ikut Ujian Penyesuaian Kenakaian Pangkat (UPKP) V. Semua orang tahu,soal-soal ujian di UPKP V, yang dahulu bernama Diklat Penyesuaian Ijazah (DPI) III ini sangat sulit, standar nilainya juga tinggi. Lulus ujian ini, bagaikan benang keluar dari jarum jahit yang lubangnya sangat kecil. Susyah sekali.
Tapi bagiku, tak ada salahnya mencoba. Dan Alhamdulillah, gerak cepatku nitip berkas ke Pak Ichtiar berbuah manis. Beberapa bulan kemudian, saat usiaku 31 tahun ( nggak ada hubungannya ), dan usia kehamilanku sudah 7 bulan aku dipanggil untuk mengikuti diklat UPKP V di Balai Diklat Keuangan (BDK ) Malang. Senang ? Tentu saja. Sempat merasa masygul dan tersenyum kecut (lagi) ketika sopir kantor yang mengantar untuk mengambil modul Diklat mengatakan bahwa UPKP V hanyalah sebuah formalitas. Bisa atau tidak saat mengerjakan ujian, tetap saja lulus.
Bulan Juni, bersama teman-teman dari kantor lain, ada yang dari Direktorat Jenderal Anggaran, Bea Cukai dan kantor lainnya, kuikuti kelas tutorial dengan sebaik-baiknya. Saat mau mengikuti diklat ini sebelumnya aku sempat berkonsultasi ke dokter kandungan langgananku, bolehkah aku mengikuti diklat dan ujian yang akan melelahkan ini. “ Ikuti saja,” jawab singkat Pak dokter favoritku. Aku merasa perlu untuk menanyakan hal seperti ini. Karena di awal kehamilan, aku sempat mengalami vlek dan bed rest selama seminggu. Aku ingin kehamilan dan UPKP V ku nanti bisa sukses bersamaan. Apalagi saat kulihat jadwal diklat yang diberikan. Karena pertemuan tutorial sangat terbatas, sementara materi yang harus dipelajari banyak, mau tidak mau diklat akan berlangsung hingga menjelang Maghrib.
Gerak lebih cepat = high risk = high return
Hari-hari pertama diklat,( sepertinya) aku pernah membawa bantal untuk mengganjal pantat dan punggungku. Tapi hari-hari berikutnya, aku nggak bawa lagi. Malu diliatin teman-teman seruangan dan takut mendapat perlakuan khusus. Berbekal vitamin dari dokter dan berusaha tak terlalu capek, aku mengikuti diklat dengan sukses. Padahal saat itu ruang kelasku ada di lantai 2 lhoo..
Selesai diklat, masih ada waktu tenang untuk mempersiapkan ujian. Kulahap habis soal-soal ujian tahun-tahun sebelumnya. Meski otak tua ini sebetulnya sudah agak tumpul untuk berlatih contoh soal-soal TPA, Psikotes dan bahasa Inggris yang susahnya minta ampun, kupaksakan juga mataku untuk membaca habis latihan soal-soalnya. Dengan bersandaran bantal yang agak tinggi di kursi ruang tamu, aku berusaha belajar keras. Karena aku tahu betul sifat asliku saat sekolah atau kuliah dulu. Aku sering menyesal kalau tahu setelah ujian ternyata soal-soal yang kukerjakan ternyata banyak salahnya. Aku ingin belajar tenananku sebelum ujian, bukan setelahnya. Karena sesal dahaulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna.
Kebiasaanku yang sering mencocok-cocokkan soal dan jawaban dengan teman, atau mencari jawaban di buku setelah ujian, kuhilangkan. Aku berusaha keras langsung belajar dengan materi ujian berikutnya. Meski sempat minder dengan kecerdasan peserta lainnya yang lebih muda dan pintar, aku sangat senang ketika diumumkan bahwa aku lulus UPKP V. Tak perlu mengulang. Dan nilaiku ternyata memenuhi standar nilai yang telah ditetapkan oleh panitia ujian. Ya iyalah, kan itu syaratnya lulus !
Inginnya sih setelah lulus ujian, aku ingin berleha-leha sejenak. Apalagi saat itu gedung kantor juga sedang direnovasi. Ajakan untuk malas bergerak ditambah perut yang semakin membuncit, seakan menari-nari di pelupuk mata. Oh ya, sebelum lupa, kelebihan bagi pegawai yang lulus UPKP V adalah bisa naik pangkat dengan cepat ke Pangkat Penata Muda atau III a. Apalagi periode kenaikan pangkatku adalah per April. Jadi waktu itu aku berfikir naik pangkatnya nanti saja April tahun 2006. Masih lama.
Waktu itu sekedar iseng, aku tanya ke bagian Kepegawaian Kantor Pusat, apa saja syarat-syarat untuk naik pangkat penyesuaian ijiazah dan telah lulus UPKP V. Waktu itu aku juga cerita, karena periode naik pangkatku bulan April, aku juga ingin mengajukan permohonan naik pangkat bulan April tahun 2006 saja. Jawaban dari pegawai Kantor Pusat ternyata di luar dugaanku.
“ Usulkan sekarang saja, Mbak. Periode Oktober ini. “
Dheg. Lha persyaratanku belum lengkap semua tuh, piye jal ? Tapi tak mau menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan, dengan gerak cepat (lagi) kumanfaatkan kesempatan yang ada saat itu. Kucari teman yang kukenal di BPPK Pusat. Bukannya bermaksud memanfaatkan teman yaa... Tapi tahu sendiri kan, jalur birokrasi dan turunnya ijazah sebagai bukti telah lulus UPKP V itu ? Biasanya sih lama sekali sampai di tangan yang bersangkutan.
Kucari nomor telepon BPPK Pusat, kutanyakan berapakah waktu yang diperlukan untuk menunggu turunnya ijazah UPKP. Dan ternyata inilah manfaatnya punya banyak teman. Saat menelepon itu, ternyata yang menerima dan menjawab telepon adalah temanku saat kuliah di kelas Pembantu Akuntan (PA) tahun 1999 lalu. Namanya Pak Zakaria. Alhamdulillah, selama kuliah hubunganku dengannya dan istrinya lumayan baik. Maka dengan basa-basi sedikit, kuuturakan maksuduku sekalian minta tolong, bisakah ijazah UPKPku dipercepat dan difaxkan lebih dulu. Bersyukur sekali, Pak Zakaria mau membantuku. Selang beberapa minggu kemudian, fax-fax an ijazah bisa kuterima dengan baik.
Saat itu aku memang tak terlalu memikirkan ijazah aslinya, toh untuk kenaikan pangkat, yang diperlukan adalah legalisir ijazahnya. Dari fax masih terlihat sangat jelas kok ijazah dan nilai UPKP V ku.
“Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang kemudian.”
Meski rasanya ngos-ngosan, karena harus bergerak secepat kilat, tapi aku senang sekali melakukan kegiatan sehubungan dengan kenaikan pangkatku kali ini. Maklum saja, awalnya pangkatku kan II c dan dengan usulan kenaikan pangkat kali ini, berarti aku bisa langsung naik pangkat ke golongan III a. Banyak Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang mendambakan naik pangkat dengan cara seperti ini. Karena itu berarti aku akan hemat waktu 6 tahun, tanpa perlu merasakan berada di jenjang pangkat II d dulu. Lebih bahagia lagi ketika aku cuti melahirkan anak keduaku, per 1 Oktober 2005, usulan kenaikan pangkatku sudah beres dan aku langsung bisa naik pangkat ke III a.
Belakangan aku tahu, beberapa tahun berikutnya, diklat UPKP V ini tak selalu diadakan. Empat tahun setelah aku diklat, diklat ini ditiadakan. Baru bulan Desember tahun 2014 ini, UPKP V diadakan lagi. Sungguh, aku sangat bersyukur sekali. Andai aku tak bergerak cepat, aku tak tahu bagaimana perjalanan pangkat dan kedinasanku. Sekarang aku sedang menikmati hasil jerih payahku dengan sebaik-baiknya. Caranya yaitu dengan terus memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat. Karena aku tahu, aku hanyalah seorang abdi negara dan abdi masyarakat, dan dari uang mereka lah aku digaji.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H