Sepersikian tahun kita selalu berada dalam ruang yang sama. Mengisi waktu senggang bersama. Belajar bersama. Bermain bersama. Dan kemanapun kita selalu bersama. Mulanya kita hanya teman biasa dan kemudian beranjak menjadi sahabat. Tapi pada kenyataannya segala sesuatu itu tak diciptakan sejalan dengan pikiran. Disinilah kita dituntut untuk memaknai kata ego yang sesungguhnya. Aku tahu disinilah aku pihak yang paling salah. Bagaimanapun tidak. Bisa-bisanya aku mencintai sahabat terdekatku. Rencana indah dan harapan-harapan yang telah kita rencanakan ketika kita berbincang pada senja harus dihancurkan begitu saja karena ego ku. Tidak semudah itu, sangat menyakitkan. Lantas aku bisa apa?. Setelah semuanya menjadi cinta. Haruskah aku pergi atau bertahan disini. Jika aku pergi sama saja seperti membuang uang padahal kita membutuhkan. Namun jika aku bertahan sama saja aku membiarkan daun jatuh berguguran. Entahlah, jalan mana yang harus aku pilih. Prihal aku bahagia atau tidak, tak usah dipermasalahkan. Nyatanya tak ada yang tahu dan mau tahu prihal hatiku. Begitupun dengan engkau.
Aku takut, aku tak piawai prihal menyembuyikan rasa ku pada mu. Tawa yang begitu hambar. Senyum yang sedikit memudar. Guratan emosi yang semakin jelas. Aku takut semua akan terlihat jelas apa adanya. Aku yang sekarang, yang entah kau sebut apa yang pantas. Teman, kawan, atau lawan. Yang entah sejauh apa aku mengerti tentang cerita mu. Aku bingung ketika saat ini aku berada dipersimpangan. Pertahanan egoku atau diam dan membisu. Aku mengerti sebagai seorang sahabat kau ingin dipahami perihal apa saja yang menyangkut dirimu. Tapi apa kau lupa? Aku juga punya hati. Tak bisakah kau mengerti. Bahwa aku juga ingin dipahami seperti halnya aku memahami dirimu. Kenapa harus selalu aku. Kenapa tidak dengan kau. Kenapa kau yang ingin selalu dimengerti dan akuyang hanya memberi. Nyatanya mencintai mu sebesar ini tak cukup mempertahankan kita. Mungkin lebih pantas semua ku simpan dalam diam. Prihal aku bahagia atau tidak itu bukan urusan mu. Karena kau tak mengerti hati. Kau juga tak mendengar betapa sakitnya hati yang semakin menjalar. Aku sudah mencapai titik jenuhku. Sepertinya aku harus menyudahi cerita. Daripda lebih sakit nanti akhirnya. Lebih baik dicukupkan bukan. Tanpa ku sadari cinta yang begitu besar ini harus ku tinggalkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H