Mohon tunggu...
Maskatno Giri
Maskatno Giri Mohon Tunggu... Guru - 🌄©Mas Guru B.INGGRIS SMA,The Alumnus of English P PS UNS SURAKARTA

🌄Sukatno Wonogiri, known as Maskatno Giri, the alumnus of English P PS UNS Surakarta, the owner of sukatnowonogiribelajar.blogspot.com: a learning blog for his students

Selanjutnya

Tutup

Diary

Hari-hari Tanpa Hujan dalam Kenangan

4 September 2021   17:30 Diperbarui: 6 September 2021   13:47 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kenangan di hari -hari tanpa hujan. Kegiatan  favoritku saat itu  adalah berteduh di bawah pohon  trembesi sambil memungut buahnya yang jatuh. Setelah melalui perjuangan saling adu cepat dengan sesame kawan bermain,  terkumpulah  beberapa gepok buah trembesi. 

Perlu bersabar selama beberapa hari, buah trembesi yang lengket perlu dijemur dan dikuliti.  Biji trembesi alias godril  dijemur lagi, setelah kering godril digoreng menggunakan kuali gerabah. 

Setelah pecah kulit godril kita makan bareng-bareng menuju tempat nongkrong di bawah trembesi. Sesekali kita dihibur oleh  suara dan bau kentut efek dari makan godril. Itulah kenangan indah dan asyik saat  hari-hari tanpa hujan.

Dari masa kecil sampai remaja  kuhabiskan di salah satu desa tandus   wilayah Baturetno Wonogiri. Bagiku kehidupan di desa tandus membawa kesan dan pesan yang sangat dalam.   Saat musim kemarau, di desa  saya terlihat kering kerontang. 

Tanah keras menganga, tumbuhan meranggas tanpa hiasan daun sedikitpun, banyak ditemui pohon ketela Cuma  sedikit daun di pucuknya. Namun di ujung desa kami  bisa temui ada dua pohon trembesi besar bisa bertahan hidup dengan daun rimbun dan buah lebat.

Terasa sekali perbedaannya bila dibanding musim penghujan. Kalau musim penghujan, jalan jalan desa sulit dilewati dengan nyaman. Tanah lempung hitam terasa seperti lem kayu menempel kuat di kaki, alas kaki dan roda sepeda. 

Doa dan harapan semoga kemarau cepat berakhir.  Dampak kemarau panjang, untuk memenuhi kebutuhan makan susah. Bisa makan nasi putih atau nasi beras merupakan keistimewaan. 

Kami tidak punya dana kalau sering makan nasi putih atau nasi beras. Kalau punya kakak atau ortu yang merantau  kebutuhan makan tidak begitu masalah, kiriman uang tidak banyak pun menjadi sangat bernilai untuk pemenuhan kebutuhan pangan. Bagi yang keluarganya  di desa saja biasanya hari demi hari  hanya mampu  makan nasi tiwul .

Musim penghujan  sangat kami rindukan. Kerinduan sepertinya akan segera  menjadi kenyataan. Bila sudah ada tanda-tanda pergantian musim. Hembusan angin dingin,  gumpalan awan tipis menghiasai langit. Ini pertanda musim penghujan sudah dekat. Baru akan menyambut musim penghujan saja, warga desa sudah menyambutnya dengan suka cita. 

Mereka sudah  membalikkan tanah menjadi bongkahan bongkahan , bila ini terkena  guyuran hujan sedikit saja akan   gembur dan siap untuk ditanami jagung. Pala wija tanaman favorit saat awal musim penghujan.

 Intensitas hujan semakin  meningkat bila jumlah gumpalan awan semakin pekat. Guyuran hujan yang tidak deras pun berdampak, rerumputan dan aneka ragam tumbuhan sudah bermunculan dengan tunas barunya. Genangan air Sungai kecil di dekat rumahku sudah mulai banyak dan mengalir sedikit.

Bila  curah hujan semakin besar otomatis  meningkatkan volume air sungai yang menuju waduk Gajah Mungkur Wonogiri. Berjalannya waktu volume air yang  semakin banyak berdampak air  waduk meluber. Jumlah ikan makin banyak bermunculan juga. Bila ada hujan deras, ikan-ikan  mendekat ke aliran aliran sungai kecil  dekat perkampungan . 

Warga desa  bisa menikmati ikan karena luberan air. Semakin besar dan semakin sering hujan lebat turun, maka sering juga warga desa bisa mencari ikan dengan mudah.  Terasa sekali  bahwa dampak musim penghujan berarti murah rezeki.

Kini tinggal kenangan. Hidup susah di desa tandus.  Pengalaman "larang pangan" terekam kuat di pikiran.  Saat ini saya  tinggal di Kota, karena setelah lulus SMP saya bersekolah dan kuliah di Solo, lalu menikah dan menetap di kota. Kini baru muncul pikiran kritisku. "Kenapa  banyak orang desa tidak berpikir investasi, buktinya lahan kosong tidak dikelola secara optimal. 

Kenapa dulu orang-orang tidak mampu berinovasi atau berpikir kreatif, misalnya menanam pohon yang bisa bertahan hidup walau kekurangan air seperti trembesi, mahoni, akasia, dan beringin". Saya pernah menjumpai bukan di desa saya, di bawah pohon beringin ada sumur kecil / belik yang airnya jernih. 

Maka sampai sekarang  saya masih bertanya, kenapa warga desa miskin inovasi. Padahal jika jumlah pohon-pohon yang saya sebutkan tadi berjumlah banyak bisa dimanfaatkan kayunya. Kayunya bisa dijual untuk memenuhi kebutuhan pokok.  Timbul pertanyaan juga  kenapa warga desa tidak rajin menanam pohon pisang didekat sumber air atau jamban. 

Padahal  beberapa rumah sebenarnya dilengkapi dengan sumur walau  sumur dalam. Andaikan jumlah pohon pisang diperbanyak, setidaknaya bisa barter pisang dengan beras.

Kritikan  terhadap kenangan merangsang pikiran inovatif. Inovasi bisa diterapkan mengatasi kemiskinan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun