Bila  curah hujan semakin besar otomatis  meningkatkan volume air sungai yang menuju waduk Gajah Mungkur Wonogiri. Berjalannya waktu volume air yang  semakin banyak berdampak air  waduk meluber. Jumlah ikan makin banyak bermunculan juga. Bila ada hujan deras, ikan-ikan  mendekat ke aliran aliran sungai kecil  dekat perkampungan .Â
Warga desa  bisa menikmati ikan karena luberan air. Semakin besar dan semakin sering hujan lebat turun, maka sering juga warga desa bisa mencari ikan dengan mudah.  Terasa sekali  bahwa dampak musim penghujan berarti murah rezeki.
Kini tinggal kenangan. Hidup susah di desa tandus.  Pengalaman "larang pangan" terekam kuat di pikiran.  Saat ini saya  tinggal di Kota, karena setelah lulus SMP saya bersekolah dan kuliah di Solo, lalu menikah dan menetap di kota. Kini baru muncul pikiran kritisku. "Kenapa  banyak orang desa tidak berpikir investasi, buktinya lahan kosong tidak dikelola secara optimal.Â
Kenapa dulu orang-orang tidak mampu berinovasi atau berpikir kreatif, misalnya menanam pohon yang bisa bertahan hidup walau kekurangan air seperti trembesi, mahoni, akasia, dan beringin". Saya pernah menjumpai bukan di desa saya, di bawah pohon beringin ada sumur kecil / belik yang airnya jernih.Â
Maka sampai sekarang  saya masih bertanya, kenapa warga desa miskin inovasi. Padahal jika jumlah pohon-pohon yang saya sebutkan tadi berjumlah banyak bisa dimanfaatkan kayunya. Kayunya bisa dijual untuk memenuhi kebutuhan pokok.  Timbul pertanyaan juga  kenapa warga desa tidak rajin menanam pohon pisang didekat sumber air atau jamban.Â
Padahal  beberapa rumah sebenarnya dilengkapi dengan sumur walau  sumur dalam. Andaikan jumlah pohon pisang diperbanyak, setidaknaya bisa barter pisang dengan beras.
Kritikan  terhadap kenangan merangsang pikiran inovatif. Inovasi bisa diterapkan mengatasi kemiskinan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H