Kalau saya perhatikan, beberapa tahun terakhir ini, kondisi politik di Indonesia sudah semakin jauh dari kata ideal. Setidaknya, hal ini saya melihatnya dari kegagalan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Djarot Saiful Hidayat memenangkan kontestasi Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 lalu.
Dalam hitungan survei, jelas pasangan petahana Ahok-Djarot sulit terbendung oleh lawan-lawannya. Hal ini terjadi karena memang sebagian besar warga Jakarta begitu merasakan adanya perubahan besar-besaran telah terjadi (dimulai sejak Jokowi-Ahok), yang dahulu tak pernah dijumpai di ibukota negara ini. Sehingga kemungkinannya, Ahok-Djarot bisa kembali memimpin DKI.
Namun, apa yang terjadi di luar dugaan. Ahok dan Djarot gagal kembali berkantor di Balaikota DKI. Kegagalan ini bukan dikarenakan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno adalah lawan yang tangguh. Bukan pula karena Ahok-Djarot kalah pengalaman memimpin dibandingkan Anies-Sandi. Kegagalan Ahok-Djarot lebih dikarenakan faktor lain yang begitu masif dilakukan, yaitu aksi demo berjilid, yang menyertai kasus penistaan agama yang ditujukan kepada Gubernur DKI Jakarta inkumben Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok itu.
Kasus yang menyertai Ahok tentu saja tidak sama jika dibandingkan dengan adanya 11 calon kepala daerah yang dilantik meskipun berstatus tersangka korupsi. Calon kepala daerah yang berstatus  tersangka dalam kasus korupsi, ternyata tidak selalu berdampak negatif secara elektabilitas. Kenyataannya, beberapa calon kepala daerah yang sudah berstatus tersangka, tetap memenangkan pemilihan. Inilah yang membedakannya dengan kasus Ahok, bahwa ke-11 calon kepala daerah tersebut tidak didemo secara masif sehingga masyarakat tetap berani untuk memilihnya.
Lantas, mengapa saya mengaitkannya dengan kasus yang mendera Ratna Sarumpaet? Menurut saya, apabila pihak Kepolisian tidak berhasil menyelidiki dan membuktikan bahwa apa yang terjadi pada Ratna Sarumpaet  bukanlah aksi pengeroyokan seperti yang diakuinya. Bukan tidak mungkin akan ada aksi lanjutan.
Menurut saya, aksi lanjutan yang akan dilakukan kelompok tertentu ini, tentu isinya meminta pengusutan dan penangkapan pelaku kekerasan kepada Ratna Sarumpaet untuk segera dilakukan. Polisi akan kesulitan mencari pelakunya, karena memang kejadian kekerasan itu hanya rekaan saja.
Bila itu yang terjadi, maka aksi demo bisa berlangsung panjang, bahkan bisa berjilid-jilid, melebihi aksi yang terjadi ketika publik meminta Ahok diadili secara hukum. Bisa jadi demo akan terus berlangsung hingga gelaran Pilpres 2019 nanti. Hal ini, bisa kita lihat dari postingan instagram politisi Partai Demokrat Inggrid Kansil (sudah dihapus) yang tak lain istri dari Waketum Demokrat Syarief Hasan, yang bersama artis Dorce Gamalama menunjukkan pamflet pembelaan terhadap Ratna. Dengan kata lain, sebelum kebohongan Ratna terungkap, pamflet sudah dicetak sedemikian rupa untuk aksi demo.
Mungkin menurut Anda, saya terlalu jauh jika berpikir apa yang terjadi pada Ratna Sarumpaet bisa menggoyang Pemerintahan  Jokowi.
Secara prinsip apa pun bisa terjadi. Dalam kasus Ahok, warga DKI Jakarta akhirnya seperti dibuat rasa takut yang mencekam jika memilih Ahok-Djarot. Bahkan, ada yang ditakut-takuti tidak akan disholati jika wafat, atau akan masuk neraka jika memilih Ahok, dan sebagainya. Dengan demikian, Anies-Sandi bisa terpilih secara demokratis melalui Pilkada 2017 lalu, tanpa harus melihat aksi-aksi politik yang menyertainya.
Begitu pula, aksi demo berjilid yang kemungkinan besar akan digelar apabila Polisi tidak berhasil membuka kedok Ratna Sarumpaet, atau jika Ratna tak mengakui kebohongannya di depan publik.